Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Isma Kania Dwei dan Ida Fiqriah: Dari Curug ke Ujung Dunia

18 Desember 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia melihat bintang jatuh tengah malam, tiga tahun lalu, dalam perjalanan Denpasar-Cairns, Australia. Mula-mula sebuah, lama-lama jumlahnya berlipat. Itulah meteor shower, hujan meteor. Ia cepat berbisik, mengutarakan keinginannya: mengongkosi kedua orang tuanya pergi haji, dan memiliki sebuah mobil sport.

Tahun ini kedua orang tuanya berangkat ke Tanah Suci. Tentang mobil sportnya, ia tak harus menunggu lama lagi.

Isma Kania Dewi, 31 tahun, merasa beruntung melihat fenomena di langit Cairns yang hitam itu. Ia bersyukur, nasib telah menggiringnya ke kokpit pesawat. Waktu itu ia kopilot Garuda Indonesia—sekarang ia pilot Qatar Airways. Satu di antara enam pilot perempuan Indonesia yang mengemudi pesawat komersial.

Terbang memang cita-citanya, di samping menjadi dokter. Lulus SMA Regina Pacis, Bogor, ia langsung mendaftar ke Pusat Latihan Penerbangan Curug, Tangerang. Latihannya dengan disiplin militer dan tak ada perlakuan khusus terhadap siswa wanita. Setahun berselang, 1996, namanya terdaftar sebagai siswa. Lulus dari Curug, ia pun mengantongi Commercial Pilot License Multi Engine Instructor Rating.

Isma telah mengemudikan Boeing 737. Dengan itu ia sudah mengudara di kawasan domestik dan regional—Bangkok, Kuala Lumpur, Singapura, Ho Chi Minh City, Perth, Cairns, dan Darwin. Kariernya melesat cepat di Qatar Airways. Kini dara ini tengah menunggu kesempatan mengemudikan pesawat berbadan superbesar: Airbus 330, Airbus 340, dan Boeing 777. ”Di sini ada sembilan pilot perempuan, jadi nggak berasa lagi jadi makhluk aneh,” ucap Isma, membandingkan perimbangan lelaki-perempuan di dalam negeri.

Lain Isma, lain pula Ida Fiqriah, 30 tahun. Ia satu angkatan dengan Isma di Curug, tapi kini bertahan di Garuda Indonesia. Ida telah menikah dengan Ahsanul Muqaffi, seorang kapten polisi yang bekerja di Polres Jakarta Barat. Pasangan ini telah dikaruniai seorang anak, dan Ida tetap terbang. Suaminya mendukung. Kini dialah satu-satunya pilot wanita Garuda Indonesia. Sama seperti Isma, Ida masih punya obsesi mengemudikan pesawat berbadan lebih besar seperti Boeing 747 dan Airbus 330. ”Kalau penerbang belum terbang mengelilingi dunia, ia belum bisa disebut pilot,” selorohnya.

Ida sulung dari empat bersaudara. Orang tuanya guru sekolah dasar. ”Saya pingin kuliah dengan biaya murah dan langsung kerja,” katanya. Ia memang sempat kuliah di Jurusan Matematika Fakultas MIPA, Universitas Lampung. Kuliah yang ternyata hanya dilakoninya satu semester. Ia mendaftar ke Curug, dan lulus. Ada sembilan tahap yang harus dilaluinya dengan sistem gugur, termasuk bakat penerbang dan postur—tinggi minimal 165 cm, panjang kaki minimal 100 cm, sesuai standar duduk internasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus