Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH sepuluh bulan Komisi Pemberantasan Korupsi menangani kasus suap Basuki Hariman, pemilik CV Sumber Laut Perkasa yang mengimpor daging sapi, kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar. Tak ada nama baru sebagai penerima suap Basuki, meski jaksa penuntut keduanya menyebut dugaan suap juga mengalir ke para pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Ketika membacakan tuntutan untuk Basuki pada Juli lalu, jaksa Lie Putra Setiawan mengatakan salah satu perusahaan Basuki diduga menyelundupkan daging sapi dari luar negeri melalui Pelabuhan Tanjung Priok. "Ada laporan masyarakat yang masuk ke KPK soal penyelundupan daging pada Maret lalu," ujar Lie.
Dugaan penyelundupan itu merujuk pada kedatangan tujuh kontainer milik CV Krsna Jaya ke Tanjung Priok pada awal Januari 2016. Krsna Jaya salah satu perusahaan Basuki yang beralamat di Surabaya. Berdasarkan dokumen pemberitahuan impor barang milik CV itu, tujuh kontainer tersebut berisi wet blue alias olahan kulit. Dokumen impor menyebutkan kontainer tersebut berasal dari Australia.
Syahdan, kontainer itu memantik kecurigaan petugas pemeriksa di pelabuhan karena mereka menemukan fasilitas pendingin hingga minus 20 derajat Celsius. Jika benar itu olahan kulit, mesin pendingin justru akan merusaknya. Dari pengecekan terhadap asal kontainer, juga ditemukan kejanggalan karena kontainer itu ternyata datang dari Singapura, bukan dari Australia seperti dalam dokumen impor.
Petugas pun menyegel kontainer itu. Mereka curiga tujuh peti kemas itu berisi daging ilegal yang sengaja disamarkan sebagai produk olahan kulit. Petugas di lapangan pun mengajukan izin untuk pengecekan fisik. Alih-alih izin didapat, seorang penyidik di Kementerian Keuangan mengatakan Kantor Bea-Cukai Pusat malah mengintervensi Tanjung Priok. Penyidik lain menuturkan pejabat Bea-Cukai pusat acap turun ke pelabuhan mencegah pengecekan fisik kontainer itu.
Akhirnya, pengecekan ramai-ramai oleh pejabat Bea-Cukai pusat dan Bea-Cukai Tanjung Priok terjadi pada 22 Januari lalu. Ajaib. Pengecekan dilakukan di gudang Krsna Jaya di Bogor, bukan di pelabuhan. Artinya, kontainer yang masih disegel itu bisa jalan-jalan ke luar pelabuhan. Dan kecurigaan petugas terbukti. Isi kontainer bukan kulit, melainkan daging beku.
Anehnya, bukannya menahan kontainer tersebut, pejabat Bea-Cukai pusat malah memerintahkan peti-peti kemas itu dilepas. Pada 29 Januari lalu, Bea-Cukai Tanjung Priok menerbitkan surat persetujuan pengeluaran barang nomor 42160 dan 42151.
Pada Kamis pekan lalu, Tempo menyambangi alamat kantor Krsna Jaya di Jalan Satelite Indah Nomor 43-D, Sukomanunggal, Surabaya, untuk mengkonfirmasi cerita itu ke pejabat perusahaan. Bukan kantor, bangunan di alamat itu ternyata toko kelontong. "Saya sudah jualan di sini sejak 2000-an," kata Gianto, pemilik toko itu.
Lie Putra menyebutkan kontainer tersebut dilepas karena lobi Basuki kepada pejabat Bea-Cukai. "Ada kolusi antara orang Bea-Cukai dan Basuki sebagai importir," ujar Lie.
Sesungguhnya inilah cerita mula dari penangkapan Patrialis. Menurut Lie, dari cerita permulaan ini, KPK mengeluarkan surat perintah penyelidikan pada 11 April 2016. Delapan hari kemudian, lembaga ini mengeluarkan surat perintah penyadapan untuk Basuki dan Kamaludin, orang kepercayaannya yang mengantarkan US$ 50 ribu untuk Patrialis.
Dari penyadapan itu, tim KPK justru mengendus rencana penyuapan yang terkait dengan uji materi atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan di Mahkamah Konstitusi. Basuki ditengarai berupaya menyuap Patrialis melalui Kamaludin. KPK berhasil menggagalkan penyuapan itu dengan menangkap mereka.
Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar-Lembaga Bea-Cukai Robert Leonard Marbun membenarkan kabar bahwa Bea-Cukai Tanjung Priok sempat menyegel kontainer Krsna Jaya karena ada indikasi pelanggaran ketentuan pabean. "Tapi, setelah pemeriksaan fisik, barangnya sesuai dengan dokumen, sehingga memang bisa dilepas," kata Robert, Jumat pekan lalu.
Robert menyanggah dugaan jaksa Lie Putra bahwa pembebasan kontainer itu karena lobi Basuki Hariman-meskipun bukti lain hubungan Basuki dan pejabat Bea-Cukai tertera dalam catatan keuangan pengeluaran PT Impexindo Pratama, perusahaan lain milik Basuki.
KPK menyita dua buku bank saat menggeledah PT Impexindo Pratama dan PT Aman Abadi Nusa Makmur. Buku itu berisi catatan transaksi keluar-masuk keuangan perusahaan milik Basuki tersebut. Pengeluaran untuk Bea-Cukai terjadi pada 2011, 2012, dan 2016. Nilai totalnya US$ 320 ribu atau sekitar Rp 4 miliar plus Rp 145 juta.
Dalam salah satu keterangan atas pengeluaran itu tertulis "untuk sewa rumah Bea Cukai" sebesar Rp 45 juta. Di transaksi lain tertulis "Untuk Pejabat Bea Cukai" dengan nilai US$ 20 ribu. Robert Marbun membantah ada transaksi semacam itu di Bea-Cukai.
Tidak hanya menyebut Bea-Cukai, laporan keuangan itu misalnya menyinggung Kementerian Pertanian. Dari buku hitam milik Aman Abadi, tercatat beberapa transaksi keluar bertulisan "Menteri (MBM)" sejak Januari sampai Juni 2012. Nilai sekali pengeluaran yang paling besar US$ 250 ribu.
Kepada penyidik KPK, seperti tertuang dalam dokumen pengadilan untuk Patrialis Akbar, Ng Fenny, General Manager Impexindo, menjelaskan bahwa "MBM" adalah meat bone meal alias pakan ternak dari tepung tulang dan daging. Menurut kawan dekat Basuki, bisnis MBM ini salah satu tulang punggung usahanya.
MBM menjadi andalan karena pada 2012 perusahaan milik Basuki kena pemangkasan kuota impor daging oleh Kementerian Pertanian. Pemerintah melarang impor produk daging dan olahannya dari Amerika Serikat-negara pemasok MBM yang didatangkan Basuki. Daging Amerika dilarang karena sedang beredar penyakit sapi gila. Karena larangan itu, Basuki diduga memanipulasi dokumen impornya dengan menyamarkannya sebagai olahan kulit dari Australia.
Menteri Pertanian saat itu, Suswono, membantah menerima duit. Ia menyatakan ada yang mencatut namanya sebagai menteri.
Transaksi keuangan dengan kode "MBM" dalam catatan perusahaan Basuki juga menyinggung Bea-Cukai. Berdasarkan buku hitam, ada dua kali transaksi keuangan dengan kode "untuk Bea Cukai (MBM)" pada 2011. Total nilainya US$ 250 ribu.
Dua buku tersebut juga diduga menyinggung polisi. Ada sembilan transaksi keuangan berkode "Mabes Polri", nama panggilan salah satu pejabat di kepolisian, atau hanya disebut satuan kerjanya. Misalnya, ada catatan yang bertulisan "Pembelian Sing$ 10.000 untuk Kapolres KP3" tertanggal 22 Juli 2016.
KP3 yang dimaksud adalah Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan, yang kini menjadi Kepolisian Resor Pelabuhan Tanjung Priok. Kapolresnya waktu itu, Ajun Komisaris Besar Hanny Hidayat, membantah soal transaksi tersebut. Ia menyangkal menerima uang Basuki. "Saya tak kenal Basuki Hariman," ujarnya.
Adapun buku merah catatan anak buah Ng Fenny mencatat "Untuk Menpan atau Bapak Chacha Rp 150 juta". Kepada penyidik, seperti tertera dalam dokumen pengadilan, Fenny menjelaskan bahwa Chacha adalah Fariza Irawady, anggota staf khusus Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi pada 2014-2016. "Saya mengenal Basuki sebagai pengusaha," kata Fariza, Jumat pekan lalu. "Tapi tidak benar ada pemberian uang dari Basuki kepada saya atau Menpan."
Basuki kini menghuni penjara Tangerang. Ketika Tempo menemuinya pada Jumat pekan lalu, ia sedang joging. Basuki menolak mengkonfirmasi semua cerita dugaan suapnya kepada banyak instansi dan pejabat negara ataupun memverifikasi catatan Ng Fenny itu. Ia meminta Tempo tak menulis perkara ini. "Saya tidak ingin membuat ribut," katanya.
Syailendra Persada, Linda Trianita, Maya Ayu Puspitasari, Artika Farmita (Surabaya)
Basuki Hariman: Saya Ingin Hidup Tenang
IA baru selesai joging di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang ketika ditemui Tempo pada Jumat pekan lalu. Setelah membaca surat permohonan wawancara dan menyimak pertanyaannya, bos CV Sumber Laut Perkasa ini mengajak duduk di pojok pendapa penjara. "Duduk di sebelah sana saja," katanya, menjauhi keluarganya yang membesuk.
Ada tiga poin utama dalam surat konfirmasi yang kami ajukan ke Basuki. Pertama soal keberadaan buku laporan keuangan, kemudian terkait dengan maksud pemberian uang ke sejumlah nama yang ada di dalam buku, dan terakhir tentang dugaan impor daging ilegal oleh salah satu perusahaan Basuki.
Awalnya, Tempo meminta konfirmasi tentang cerita ini kepada Frans Hendra Winarta, pengacara Basuki di pengadilan. Ia mengatakan tidak ingin berkomentar karena perkara tersebut sudah selesai disidangkan. "Saya tidak tahu-menahu mengenai pertanyaan yang Anda kirim," kata Frans. "Sebaiknya Anda tanyakan sendiri kepada dia."
Setelah duduk di sebuah pondok yang ada di dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang, Basuki meminta Tempo tak menulis perkaranya lagi. Ia mengatakan sudah menerima vonis tujuh tahun dari pengadilan tindak pidana korupsi, meskipun sesekali dia mengeluh karena merasa menjadi korban. "Tapi saya tidak ingin banding karena tidak ingin membuat gaduh," ujarnya. "Saya hanya ingin hidup tenang di sini."
Ia tak menjawab pertanyaan berikutnya dan buru-buru menemui keluarganya.
SP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo