Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Eko Maryadi mengatakan pengambilalihan secara paksa kantor PKBI pada 10 Juli 2024 tidak sesuai dengan prosedur hukum. Saat pengambilalihan secara paksa, Eko mengatakan ingin kooperatif namun, hal tersebut akan Eko lakukan jika sesuai dengan prosedur hukum. Eko merasa pengambilalihan kantor PKBI berdasarkan Peraturan Gubernur nomor 207 tahun 2016 merupakan hal yang salah, karena kantor PKBI bukanlah bangunan liar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kita tinggal di sini 55 tahun. Kebayang nggak barang kita banyaknya kayak apa? Dan ini kan banyak dokumen, banyak barang, banyak arsip. Dan yang paling penting, PKBI bukan penghuni liar. Nggak bisa ditertibkan pakai pergrup 207” ujar Eko saat Tempo menemuinya di depan kantor PKBI, Rabu, 17 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya PKBI memang sudah menerima surat dari Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Selatan (Jaksel) atas nama Kementrian Kesehatan (Kemenkes) untuk mengosongkan bangunan secara sukarela dalam waktu 7x24 jam. Surat tersebut diterima oleh PKBI pada tanggal 30 Mei 2024. Namun atas dasar kesukarelaan dalam surat tersebut PKBI enggan mengosongkan bangunan dan menunggu arahan selanjutnya dari Pemkot Jaksel. Eko menilai seharusnya PKBI menerima surat lanjutan jika perintah kesukarelaan untuk mengosongkan bangunan tidak dieksekusi oleh PKBI.
“Nah sekarang kalau misalnya itu memang mau dieksekusi 7x24 jam, harusnya begitu 7 hari tidak ada eksekusi kirim surat berikutnya. Kalau misalnya diberi arahan atau diberi masukan soal kapan pindahnya dan memang itu dianggap sebagai satu-satunya opsi, kita akan meninggalkan” ujar Eko.
Selain itu Eko juga merasa prosedur pemaksaan pengambil alihan kantor PKBI dilakukan secara tidak bertanggung jawab. Hal tersebut berkaitan dengan sejumlah barang-barang PKBI yang diambil. Eko mengatakan telah menerima berbagai laporan puluhan hingga ratusan barang hilang dari stafnya. “Proses pengusiran, dan pemaksaan pengambil alihan kantor ini dilakukan secara tidak bertanggung jawab. Karena mereka tidak mau bertanggung jawab atas kehilangan barang-barang.” tutur Eko.
Sementara itu Kemenkes berdalih mengambil alih kantor PKBI berdasarkan Sertifikat Hak Pakai (SHP) Nomor 374 Tahun 1999 yang dimilikinya. Direktur Eksekutif PKBI kepada Tempo mengatakan bahwa pada tahun 1996, PKBI sudah pernah mengajukan SHP kantor PKBI kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun SHP yang diajukan PKBI tersebut tidak pernah dikeluarkan.
Belakangan baru diketahui oleh PKBI pada tahun 2017 bahwa SHP tersebut keluar atas nama Kemenkes bukan nama PKBI. PKBI mengetahui karena pada tahun 2017 Kemenkes sudah mencoba melakukan pengambilalihan paksa kantor PKBI.
“Kemenkes itu merasa dia memiliki tanah ini karena punya SHP itu, sementara kita tidak punya, tetapi kita itu secara fisik menguasai berdasarkan SK Gubernur Ali Sadikin” ujar Eko.
Sejak mengetahui SHP dimiliki oleh Kemenkes, PKBI melakukan gugatan secara perdata SHP Nomor 374 Tahun 1999 tersebut ke pengadilan negeri. Namun gugatan tersebut ditolak. Kemudian PKBI mengajukan banding terhadap putusan pengadilan negeri karena menilai adanya kekhilafan hakim saat memberikan putusan.
PKBI menilai hakim menggunakan peraturan yang berlaku saat ini untuk menjadi dasar pertimbangan hukum terhadap peristiwa masa lalu. Namun upaya banding tersebut ditolak. Tak berhenti disitu, PKBI juga mengajukan kasasi ke Mahkaham Agung (MA), namun kasasi tersebut kembali ditolak. Penolakan tersebut dinilai oleh Eko karena pengadilan hanya memeriksa syarat formal.
“Karena memang kalau pengadilan itu mereka hanya memeriksa syarat formal Analoginya, ada orang terlibat kecelakaan, yang punya SIM pasti dimenangin walaupun dia bersalah dan yang tidak punya SIM, pasti dipersoalkan” jelas Eko.
MAULANI MULIANINGSIH