Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Kupang - Inspektur Dua Rudy Soik akan melaporkan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur Komisaris Besar Ariasandy ke Divisi Profesi dan Pengamanan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Laporan ini didasarkan atas dugaan penyebaran berita hoax atas 12 laporan polisi terhadap Rudi Soik. Laporan yang sama juga ditujukan untuk Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan Polda NTT, Komisaris Besar Robert Anthoni Sormin. "Benar, saya akan laporkan terkait pembohongan publik ke Mabes Polri," kata Rudi Soik kepada Tempo, Senin, 21 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rudi Soik melalui kuasa hukumnya, Ferdy Maktaen, menilai Polda NTT tidak profesional dalam memberikan keterangan kepada publik. "Saya sendiri yang turun dengan membawa data dari 2014, karena saat itu saya sebagai kuasa hukumnya, jadi saya tahu persis kasusnya," ujar Ferdy.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ferdy membantah pernyataan yang disampaikan Polda NTT tentang 12 laporan polisi yang menjerat Rudy Soik. Adapun 12 laporan itu adalah sebagai berikut:
- Laporan Polisi Nomor LP/05/I/2015 : Putusan bebas.
- Laporan Polisi Nomor LP/17/XI/2015: Teguran tertulis.
- Laporan Polisi Nomor LP/18/XI/2015: Hukuman tunda pendidikan selama satu tahun.
- Laporan Polisi Nomor LP/23/II/2015: Teguran tertulis.
- Laporan Polisi Nomor LP/12/II/2017: Hukuman tunda pendidikan selama satu bulan.
- Laporan Polisi Nomor LP/09/I/2015: Tutup Perkara (Tupra).
- Laporan Polisi Nomor LP-A/31/IV/HUK.12.10./2022: SP4 (Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan).
- Laporan Polisi Nomor LP-A/49/VI/HUK.12.10./2024: Hukuman mutasi demosi selama lima tahun.
- Laporan Polisi Nomor LP-A/50/VI/HUK.12.10./2024: Hukuman teguran tertulis, penundaan mengikuti pendidikan selama satu tahun, dan pembebasan dari jabatan selama satu tahun.
- Laporan Polisi Nomor LP-A/55/VII/HUK.12.10./2024: Hukuman teguran tertulis dan penempatan pada tempat khusus selama 14 hari.
- Laporan Polisi Nomor LP-A/66/VIII/HUK.12.10./2024: Hukuman teguran tertulis.
- Laporan Polisi Nomor LP-A/73/VIII/HUK.12.10./2024: Pelanggaran kode etik yang disertai rekomendasi PTDH.
Laporan-laporan itulah yang belakangan diklaim menjadi dasar pemberian sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) untuk Rudy Soik. Padahal, kata Ferdy, pada 13 November 2014 hingga Maret 2015, Rudy Soik sedang ditahan di rumah tahanan atas tuduhan penganiayaan. Adapun kasus ini terjadi saat Rudy Soik membongkar mafia perdagangan orang yang diduga melibatkan Polda NTT. "Bagaimana mungkin melaporkan seseorang yang sedang berada di penjara," katanya. "Bagaimana dia diperiksa dan disidang. Ini pembohongan publik yang mengada-ada."
Menurut Ferdy, semua laporan itu sengaja dibuat oleh Polda NTT untuk membunuh karakter Rudy Soik. Tujuannya semata agar Rudy Soik tidak mengungkap praktik penyelewengan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang diduga melibatkan anggota polri. Padahal dalam menyelidiki penyaluran BBM bersubsidi tersebut Rudy Soik mendapat perintah dari Kapolresta Kupang Kota, Komisaris Besar Aldinan Manurung. "Sejumlah laporan menggunakan tipe A yang dibuat oleh polisi, sehingga menurut saya ini ada indikasi kriminalisasi," ujar Ferdy.
Dia mengatakan dalam penyelidikan kasus BBM itu, Rudy Soik telah menginterogasi Ahmad Ansar karena membeli BBM secara ilegal. Ahmad kemudian menyebut nama Algajali Munandar. Rekaman pemeriksaan itu sudah dikantongi oleh tim pengacara. Sebelum penyelidikan mengarah pada nama itu, Rudy Soik justru dikenakan sanksi pemecatan.
"Setelah pelantikan presiden, saya komunikasi dengan kawan-kawan di Komnas HAM, YLBHI, dan LPSK supaya kami bawa semua rekaman itu ke Mabes Polri baru buka di sana agar jangan bilang klien saya tidak lakukan interogasi terhadap dia (Ahmad Ansar)," katanya.
Ferdy menantang Polda NTT untuk menyelidiki mafia BBM yang telah diungkap oleh Rudi Soik. Sehingga tidak lagi membuat Rudi Soik seolah-olah membuat pelanggaran yang berat. Apalagi masih banyak pemain-pemain BBM ilegal yang masih berkeliaran. Mereka kebanyakan beroperasi di di Atambua, Kabupaten Belu.
Sebelumnya, Polda NTT memecat Rudy Soik katerena dinilai melanggar kode etik ketika memasang garis polisi dalam penyelidikan kasus BBM bersubsidi untuk nelayan. Namun belakangan, Kabid Humas Polda NTT Komisaris Besar Ariasandy mengklaim, sanksi yang diberikan bukan didasari atas pemasangan garis polisi melainkan laporan-laporan yang diterima Bidang Propam.
"Berdasarkan catatan dari Bidpropam Polda NTT, Rudy Soik terlibat dalam 12 kasus pelanggaran selama bertugas. tujuh kasus di antaranya terbukti bersalah dan telah menjalani berbagai hukuman," kata Ariasandy dalam keterangan tertulis pekan lalu.