Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Polemik Kewenangan Presiden

5 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Polemik isi Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional, yang disosialisasikan pada awal Februari, terus berlanjut. Sorotan tertuju pada kewenangan presiden memilih dan mengangkat Panglima TNI serta Kepala Kepolisian RI tanpa harus mendapat persetujuan DPR.

Anggota Komisi Pertahanan DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Sidarto Danusubroto, menilai isi pasal tersebut melanggar Undang-Undang TNI dan UU Kepolisian. Anggota komisi yang sama, Djoko Susilo dari Fraksi Partai Amanat Nasional, melihat rancangan ini berpotensi membuka peluang kudeta.

Brigadir Jenderal (Pol.) Syafriadi berpendapat pengangkatan dan pemberhentian Kapolri harus tetap melalui persetujuan DPR. Alasannya, ruang lingkup tugas anggota Polri berada di tengah-tengah masyarakat. ”Kepala Polri sebaiknya seizin rakyat, yang direpresentasikan DPR,” kata staf ahli Kapolri ini.

Lapar Haji karena Manajemen

Tim investigasi dan evaluasi haji telah rampung menelusuri perkara kelaparan jemaah haji Indonesia di Arafah dan Mina, Januari lalu. ”Kelaparan itu akibat lemahnya manajemen penyelenggaraan haji,” kata Tolchah Hasan, ketua tim investigasi. Tim telah melaporkan hasil ini kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kamis pekan lalu.

Tolchah menyatakan, penunjukan perusahaan jasa boga penyedia makanan jemaah, Anna for Development Enterprise, menjadi masalah. ”Sebab, Anna tak berpengalaman,” katanya. Menurut Tolchah, Anna gagal menyediakan makanan karena menyewakan dapurnya ke muasasah—perusahaan jasa boga yang lain. ”Sehingga mereka tidak bisa bekerja maksimal,” katanya.

Dalam laporan itu, tim juga mengusulkan penyelenggaraan haji berikutnya tidak hanya menjadi wewenang Departemen Agama. ”Harus juga melibatkan Departemen Kesehatan, Departemen Perhubungan, Departemen Luar Negeri, dan Imigrasi,” kata Tolchah. Mengenai siapa yang harus bertanggung jawab, Tolchah tak menjawab.

Menguji Hukuman Mati

Mahkamah Konstitusi mulai menyidangkan pengajuan hak uji materi hukuman mati, Kamis pekan lalu. Perkara ini diajukan warga asal Australia, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Keduanya terpidana mati dalam perkara narkoba di Bali.

Bersama mereka ikut juga dua warga Indonesia, Edith Yunita Sianturi dan Rani Andriani alias Melisa Aprilia, juga terpidana mati dalam perkara narkoba. Edith dan Rani kini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, Banten. Hak uji materi yang diujikan ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Keempat terpidana ini dihukum mati berdasar undang-undang itu.

Dalam sidang pertama, hakim konstitusi mempertanyakan status kewarganegaraan Myuran dan Andrew, yang kini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan, Bali. ”Dalam UU Mahkamah Konstitusi, warga negara asing tidak disebutkan sebagai pemohon,” kata Mukhtie Fadjar, ketua majelis hakim konstitusi. Sebaliknya, kuasa hukum pemohon, Todung Mulya Lubis, berpendapat siapa pun berhak mengajukannya. ”Sebab, semua orang berhak menuntut hak asasinya,” katanya.

Revisi Rapel Tunjangan Komunikasi

Setelah menuai kritik dari berbagai kalangan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pekan lalu meminta Menteri Dalam Negeri M. Ma’ruf merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 37/2006. Beleid ini berisi pemberian rapel tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah.

Jumlah tunjangan itu cukup fantastis. Ketua DPRD menerima dana rapel hingga enam kali lipat gaji. Anggota DPRD menerima empat kali lipat. ”Pimpinan dan anggota DPRD yang sudah menerimanya harus mengembalikan ke kas daerah,” kata Andi Mallarangeng, juru bicara Presiden, ”paling lambat Desember 2007.”

Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri, Progo Nurdjaman, mengatakan pasal yang akan direvi-si hanya menyangkut pemberlakuan surut pemberian tunjangan tersebut. Di kemudian hari, pemberian tunjangan akan disesuaikan dengan kemampuan keuangan di 34 provinsi dan 343 kabupaten/kota.

Dua Pesawat Berbenturan

Pesawat Garuda Indonesia dan pesawat Saudi Airlines bersenggolan di apron Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Kamis pekan lalu. Kecelakaan itu terjadi saat Garuda dengan nomor penerbangan GA 238 hendak lepas landas menuju Semarang. Ketika mundur, Saudi Airlines di sebelahnya juga bergerak ke belakang.

Akibatnya, ekor Garuda jenis Boeing 737-500 itu rusak, sedangkan Saudi Airlines rusak di elevator sayap kanan. Tak ada korban jiwa dalam insiden ini. Seluruh penumpang Garuda dialihkan ke penerbangan Garuda berikutnya.

Komite Nasional Keselamatan Transportasi kini sedang menyelidiki insiden ini. ”Kami belum mengetahui siapa yang salah dalam kasus ini,” kata Waspan Wahyu, Kepala Humas PT Angkasa Pura II. Sedangkan juru bicara Garuda, Pujobroto, mengatakan bahwa pesawat Garuda mundur setelah mendapat izin dari petugas air traffic control.

Kurie Suditomo, Sunariyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus