Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Duarr, duarr...! Bunyi ledakan dari roket kertas yang melesat menabrak langit-langit. Anak-anak di ruangan itu tertawa dan melompat kegirangan. Terbuat dari tabung plastik bekas tempat film yang dibungkus kertas, roket itu berbahan bakar soda kue dan cuka. Reaksi kimia akibat campuran keduanya yang membuat roket melesat ke udara.
Bocah-bocah yang rata-rata berusia di bawah 10 tahun itu seperti mendapat mainan baru yang menyenangkan. Tak sedikit pun mereka terlihat takut. Sebaliknya, mereka malah berebut ingin membuat percobaan lagi. Kali ini dengan adonan yang sama mereka membuat volcano alias gunung berapi. Hanya beberapa detik setelah adonan dimasukkan, gunung berapi itu meletus mengeluarkan api dan lahar.
Para bocah itu anggota Klub Sains Ilma yang terletak di bilangan Pamulang, Banten. Di klub itu mereka belajar kimia, biologi, dan fisika sambil bermain lewat percobaan-percobaan langsung. Cara ini tak membuat sang bocah pusing memahami apa itu H2O, asam nitrat, sulfat, atau klor. Ilmu pengetahuan alam pun hadir sebagai teman yang hangat, bukan sesuatu yang asing dan dingin.
Tak mengherankan bila bocah-bocah itu jadi lebih mencintai sains. Contohnya Katili Jiwo Adi Wiyono, 9 tahun. Sudah setahun siswa kelas III SD Dharma Karya, Pondok Cabe, Tangerang, Banten, ini menjadi anggota klub. Yulia Budiwati, 44 tahun, ibu Jiwo, menuturkan, nilai pelajaran sains anaknya kini merangkak naik.
Tahun lalu, nilai pelajaran sains Jiwo di rapor 8. Semester kemarin ia mendapat nilai 9. Bukan cuma nilai yang membaik, bocah yang semula pemalu ini juga menjadi lebih berani dan punya inisiatif. Ia kini bercita-cita mengikuti olimpiade sains. Kelak bila sudah besar ia ingin menjadi insinyur. ”Cara berpikirnya sekarang lebih logis,” kata Yulia yang dosen Jurusan Sosiologi Universitas Terbuka.
Didirikan pada 2003, Klub Sains Ilma merupakan buah kekecewaan Abdullah Muzi Marpaung, 40 tahun, atas pengajaran sains di sekolah anaknya. Di sana guru cenderung mengutamakan konsep ketimbang pemahaman siswa terhadap fenomena alam. Lulusan Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, ini kemudian mengajari sendiri anaknya.
Setiap akhir pekan mereka pergi ke alam bebas. Di sana mereka tak cuma berdiskusi, tapi juga bereksperimen dengan peralatan sederhana untuk memahami perubahan alam sehari-hari. Acara yang semula cuma untuk keluarga itu belakangan sering diikuti pula oleh teman-teman sekolah anaknya.
Muzi mengaku terinspirasi fisikawan Amerika Serikat, Richard P. Feynman (1918-1988). Feynman tersohor karena mengajarkan pemahaman fisika lewat permainan. Dengan cara itu ia melahirkan teori elektrodinamika kuantum yang kemudian membuatnya mendapatkan Hadiah Nobel pada 1965.
Mulanya Klub Sains Ilma cuma beranggota 7- 40 anak saja. Belakangan anggotanya bertambah hingga ratusan anak. Cabang di berbagai daerah pun dibuka. Muzi sendiri yang membuat kurikulum klub. ”Adaptasi berbagai kurikulum dari berbagai negara,” ujarnya.
Semua kegiatan di klub itu memakan ongkos Rp 350 ribu per tiga bulan untuk tiap siswa. Biaya ini tergolong murah menilik peralatan yang cukup lengkap. ”Kami ingin klub ini menjadi tempat merasakan, mengalami, dan mencoba berbagai fenomena alam,” kata Muzi.
Banyak klub serupa Sains Ilma. Tiga tahun sebelum Ilma berdiri, malah sudah ada DoctoRabbit di Jakarta. Klub ini, menurut direkturnya, Dyah Ratna Permatasari, didirikan karena melihat pengajaran sains di Indonesia membosankan dan menakutkan. Tapi untuk membeli lisensi pengajaran yang baik dari luar negeri dirasakan terlalu mahal.
Meskipun nama DoctoRabbit terke-san asing, klub ini asli ciptaan orang Indonesia.
Dyah menjelaskan, nama itu diambil karena anak-anak akrab dengan kelinci. ”Kami menghadirkan kelinci yang cerdas sehingga namanya DoctoRabbit.” Selain mendirikan klub sains, DoctoRabbit juga menggelar program prasekolah untuk anak usia 2-3 tahun dan 3-4 tahun.
Klub-klub sains asal negeri seberang juga mulai menjamur di Tanah Air. Di Jakarta ada Science Buddies, yang merupakan waralaba dari Singapura. Seluruh kurikulum klub yang sudah tiga tahun berdiri itu diambil dari Singapura, tapi pembelajarannya disesuaikan dengan muatan lokal. ”Guru-gurunya pun di-training ke sana semua,” kata penyelia Science Buddies, Minarni Widjaja.
Dengan mengusung moto ”Setiap anak dapat menjadi Einstein dan Newton”, klub ini menawarkan kursus sains untuk anak usia 5 sampai 12 tahun. Bagi anak umur 5–8 tahun masuk kelas kecil. Mereka yang berusia 9-12 tahun masuk kelas besar. Biayanya? Mungkin karena waralaba, ongkosnya cukup menguras kantong. Untuk kelas kecil, biayanya Rp 1,3 juta untuk tiga bulan atau 10 kali pertemuan. Adapun untuk kelas besar sekitar Rp 1,9 juta.
Klub-klub sejenis juga bermunculan di berbagai daerah lantaran kebutuhan siswa. Salah satunya Klub Robotika SMP Al-Falah Deltasari, Sidoarjo, Jawa Timur. Klub ini lahir pada Juli tahun lalu, dipelopori sejumlah siswa yang gemar mengutak-atik robot. Ketika dua mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh November ikut menjadi mentor, klub ini terasa makin hidup.
Hingga sekarang klub ini telah menghasilkan tiga robot. Salah satunya memenangkan Sumorobo Championship se-Jawa Timur, Agustus lalu. ”Semuanya dibuat dari barang bekas. Total jenderal cuma habis Rp 45 ribu,” kata Faisal Rachman, salah seorang anggota klub.
Di Jawa Timur, ada pula komunitas pencinta sains bernama Petra Tiga Sains Club. Didirikan Oktober 2006, kebanyakan anggota klub ini merupakan siswa SMP 3 Petra Surabaya. Aktif melakukan penelitian fisika, kimia dan biologi, klub sains yang diketuai Gunawan Siswoyo ini termasuk yang mendominasi kontes robot Sumo di Surabaya, Desember lalu.
Mereka mengirim 107 robot hasil karya mereka, dalam kontes robot mirip gulat sumo Jepang. ”Dalam waktu dekat, kami akan menggelar kontes permainan sains yang kami ambil dari aksi komik Detektif Conan,” ujar Gunawan.
Di Yogyakarta, sejumlah mahasiswa UGM membentuk kelompok studi sains Hiddenleaf. Bermula dari kegemaran empat mahasiswa Fakultas Teknik Industri dan Elektro UGM bereksperimen. Belakangan, anggota mereka kian bertambah dan perhatian mereka tak sekadar uji coba sejumlah teori, tapi mencari metode pembelajaran sains yang menarik bagi anak-anak. ”Misi kami mengembangkan metode pengajaran sains dan teknologi yang sesuai bagi anak-anak,” kata Arkhadi Pusataka, Ketua Hiddenleaf.
Dua tahun lalu komunitas ini menyambangi sejumlah SD untuk mengenalkan sains dengan beberapa percobaan di hadapan siswa. Di masa liburan semester, mereka menunjukkan model pembelajaran sains bagi para siswa dan guru SD. Bahan-bahan yang digunakan amat sederhana. Baterai bekas, misalnya, bisa mereka manfaatkan lagi untuk membuat tenaga baterai. ”Kami juga menggelar kegiatan dan konsultasi tiap akhir pekan,” ujar Arkhadi.
Merebaknya klub atau komunitas sains di berbagai daerah disambut gembira pembina Tim Olimpiade Fisika Indonesia, Rachmat Widodo Adi. Kegiatan ini, menurut dia, merupakan investasi yang bagus bagi perkembangan sains dan teknologi di Indonesia. Mereka berhasil menunjukkan proses pembelajaran sains bagi anak-anak tak harus kaku dan memusingkan kepala. Cara kreatif memperkenalkan ilmu dasar yang biasanya diajarkan dengan membosankan.
Widiarsi Agustina, Syaiful Amin (Yogyakarta) dan Sunudyantoro (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo