Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNI Emirat Arab (UEA) dan Arab Saudi adalah dua negara pertama di Timur Tengah yang dikunjungi Joko Widodo atau Jokowi ketika baru dilantik sebagai presiden. Setelah itu, hampir tiap tahun Jokowi mengunjungi keduanya, terutama UEA. Agenda utamanya umumnya adalah perdagangan dan investasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terakhir, Jokowi bertemu dengan Presiden UEA Muhammad bin Zayid Al Nahyan di Abu Dhabi pada 18 Juli 2024. Dia pulang dengan membawa delapan nota kesepahaman (MOU), seperti perjanjian kerja sama di bidang pesawat patroli maritim dan pesawat antikapal selam serta kerja sama Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN dengan Emirates Nuclear Energy Corporation di bidang pembangkit listrik tenaga nuklir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ibnu Burdah, guru besar kajian dunia Arab Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, menilai kebijakan luar negeri Indonesia dalam 10 tahun belakangan sangat pragmatis. “Jokowi banget. Karakter kebijakan luar negeri kita menjadi sangat pragmatis, ekonomi-sentris. Perhitungan untung dan rugi itu betul-betul menjadi jantung kepentingan nasional kita,” katanya, Jumat, 28 Juni 2024.
Presiden Joko Widodo melakukan pertemuan dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy di Istana Maryinsky, Kyiv, Ukraina, Juni 2022. BPMI Setpres/Laily Rachev
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyatakan tidak ada yang salah bila Jokowi memberikan perhatian terhadap ekonomi karena stabilitas politik dan ekonomi perlu agar Indonesia dapat berperan di kancah internasional. “Apa yang dilakukan di dalam negeri justru ikut memberikan daya ungkit Indonesia untuk bermain di luar negeri,” ujarnya, Jumat, 19 Juli 2024.
Sikap Jokowi itu kemudian mempengaruhi pilihan negara yang ia kunjungi. Ibnu mencontohkan, hingga sekarang, misalnya, Jokowi tidak pernah berkunjung ke Mesir, padahal Presiden Mesir Abdul Fattah as-Sisi sudah datang ke Jakarta pada 2015. “As-Sisi berharap sekali ada kunjungan balasan, tapi sepertinya agenda pun tidak muncul,” ucapnya.
Indonesia dan Mesir bersahabat lama. Mesir adalah salah satu negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Kedua negara aktif dalam Konferensi Asia-Afrika 1955 dan mendukung Palestina. “Makanya semua presiden, seperti ada semacam kewajiban, karena mungkin didorong oleh semangat balas budi, berkunjung ke Kairo, Mesir,” tutur Ibnu. Semua presiden Indonesia pernah mampir di Kairo, kecuali B.J. Habibie, yang masa kepresidenannya hanya enam bulan dan di tengah gejolak politik.
Yang juga menjadi sorotan dunia adalah ketidakhadiran Jokowi dalam sidang tahunan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang umumnya rutin dihadiri para kepala negara. “Ya, enggak enak, lah, kita sebagai warga dunia. Itu sangat berbahaya bagi postur dan citra Indonesia ke depan,” kata Ibnu.
Di luar itu, Indonesia tampak aktif, sesuai dengan amanat konstitusi, mendorong perdamaian dunia. Indonesia paling sering dan keras mengecam serangan brutal Israel ke Jalur Gaza. Indonesia juga terlibat dalam upaya melobi berbagai negara agar mengakui negara Palestina dan melanjutkan sumbangan kepada UNRWA, badan PBB yang mengurusi pengungsi Palestina, yang terhenti gara-gara Israel menuduh 19 staf UNRWA terlibat dalam serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023.
Indonesia juga berusaha menjadi mediator dalam perang Rusia-Ukraina. Jokowi terbang ke Eropa dan bertemu dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dan Presiden Rusia Vladimir Putin pada Juli 2022. Jokowi menyampaikan perlunya perdamaian dan pemulihan rantai pasokan pangan global, yang terganggu akibat perang tersebut. “Insiden” sempat terjadi ketika Jokowi mengklaim telah menyampaikan “pesan” Zelenskyy kepada Putin. Ukraina lalu membantah dan menyatakan, bila punya pesan untuk Putin, Zelenskyy akan menyampaikannya sendiri secara terbuka dan tidak melalui perantara.
Presiden Joko Widodo berbincang dengan Presiden Prancis Macron, dan Pangeran Arab Saudi Muhammad bin Salman, dalam jamuan makan malam G20, di Badung, Bali, November 2022. BPMI Setpres/Kris
Wahid Supriyadi, mantan Duta Besar Republik Indonesia untuk Rusia dan Belarus, menilai Jokowi sudah cukup berani mendatangi kedua kepala negara tersebut. “Itu maksimum yang bisa dia lakukan, dengan beliau datang berbicara dari hati ke hati kepada dua pemimpin tersebut. Tapi, ya, kita enggak bisa mengatakan itu suatu keberhasilan,” ujarnya.
Menurut Wahid, konflik Rusia-Ukraina adalah masalah yang sulit sekali. “Enggak ada negara yang mampu menghentikan perang itu,” ucapnya. Masalah ini sudah menahun dan melibatkan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Amerika Serikat yang kuat. “Kita realistis saja. Enggak ada negara di dunia yang berani memaksa NATO dengan kekuatan seperti itu.”
Dian Wirengjurit, mantan diplomat utama Kementerian Luar Negeri RI, menyatakan bahwa untuk menjadi mediator, Indonesia tak cukup berperan sebagai penengah, tapi juga menawarkan sesuatu yang bisa diterima kedua negara, bukan cuma kata-kata dan janji-janji. “Kita selalu tidak punya peluru dalam menghadapi suatu front. Kita hanya bersemangat pada slogan lama sebagai negara demokrasi besar, negara nonblok, negara muslim terbesar, dan seterusnya. Tidak cukup. Daya ungkit kita tidak punya,” tuturnya.
Menurut Dian, kita sebenarnya punya modal dasar, misalnya menyelesaikan masalah Mindanao di Filipina selatan dan perang saudara di Kamboja. “Kita sekarang enggak mampu menangani Myanmar, malah main ke mana-mana tapi enggak kedengaran. Kita enggak punya daya ungkit untuk main jauh-jauh,” katanya.
Indonesia berusaha membantu mengatasi krisis Myanmar dengan mendorong lahirnya Lima Poin Konsensus dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN pada 2021. Konsensus itu antara lain menyerukan penghentian kekerasan, dialog para pihak, dan pengiriman utusan khusus untuk bertemu dengan semua pihak di Myanmar. Kementerian Luar Negeri menekankan bahwa ini bukan intervensi, melainkan upaya membantu Myanmar. Tapi sejumlah pihak menilainya sebagai campur tangan ASEAN dalam urusan domestik negara anggotanya—pertama kali dalam sejarah organisasi itu. “Usulan konsensus itu intrusif, mencampuri masalah domestik Myanmar, yang notabene sahabat kita sesama ASEAN,” ujarnya.
Pertemuan para pemimpin ASEAN di gedung Sekretariat ASEAN, di Jakarta, April 2021. Laily Rachev/Istana Kepresidenan Indonesia/Handout via REUTERS
Dian juga menyoroti kecenderungan politik luar negeri Indonesia yang penuh kemeriahan tapi bukan pada esensinya. Pemerintah mengklaim keberhasilan sebagai tuan rumah KTT G20 yang melahirkan dokumen G20 Bali Leaders Declaration dan sejumlah perjanjian kerja sama. “Tuan rumah KTT ASEAN, KTT G20, itu bukan capaian. Itu kan giliran,” ucap penulis buku Capita Selecta Geopolitik dan Hubungan Internasional tersebut.
Dian menjernihkan soal perjanjian atau MOU dalam konferensi yang dianggap sebagai capaian. Menurut dia, dokumen semacam itu akan selalu lahir dan mungkin bakal diperpanjang masanya dalam pertemuan berikutnya. Ada banyak tahapan lagi sebelum perjanjian itu terwujud. “Apakah dokumen yang ditandatangani itu pasti dilaksanakan? Kalau dilaksanakan semuanya, negara mana pun tidak akan mampu. Itu hanya komitmen,” tuturnya.
Meskipun demikian, pelindungan warga negara Indonesia di luar negeri dinilai jauh lebih baik. “Program-programnya cukup baik, seperti pelayanan dengan sistem yang lebih tertata, kemudian ke bantuan hukum, dan lain sebagainya,” kata Ibnu Burdah. “Paling tidak pada level komunikasi lebih kuat sekarang dibanding sebelumnya dan itu sangat penting, terutama di negara-negara dengan pekerja migran yang rentan.”
Kementerian Luar Negeri telah membangun sistem yang menekankan pentingnya pelindungan WNI bagi para diplomat. Di negara-negara dengan banyak kasus pekerja migran, seperti Malaysia, kedutaan Indonesia menyewa pengacara sehingga selalu siap mendampingi mereka yang menghadapi kasus hukum. Kementerian juga mengembangkan aplikasi Safe Travel untuk mendeteksi situasi darurat suatu negara dan SMS Blast yang otomatis menginformasikan kepada WNI yang baru mendarat di suatu negara mengenai alamat dan kontak kedutaan.
Menteri Retno membantah jika Indonesia disebut tidak banyak berperan di level internasional. “Dalam 10 tahun ini kita justru memainkan peran yang sangat besar di dunia,” ujarnya. Dalam konteks geografis Indonesia adalah tetangga Myanmar sehingga wajar bila diajak berdiskusi soal Myanmar, tapi ternyata kepemimpinan Indonesia melampaui kawasan ini. Dia mencontohkan, saat orang berbicara mengenai Afganistan dan Palestina, Indonesia adalah salah satu negara pertama yang akan diajak konsultasi. “Padahal kita jauh dari dua wilayah tersebut. Itu mencerminkan sesuatu. Itu bermakna sesuatu bagi kita.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo