Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMBANGUNAN bidang hukum merupakan aspek yang paling banyak disorot selama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Meskipun hasil survei tingkat kepuasan terhadap pemerintahan Presiden Jokowi, sebagaimana publikasi Litbang Kompas pada 20 Juni 2024, terbilang tinggi, yaitu 75,6 persen, angka kepuasan dalam bidang hukum memang cenderung rendah, yaitu 57,4 persen. Meski citra positif Presiden Jokowi di mata masyarakat sangat tinggi sebesar 89,4 persen, ia tetap dianggap negatif di mata para pengkritiknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahkan belakangan muncul kritik yang makin tajam dengan membuat narasi bahwa hukum telah dijadikan alat politik. Tingkat kepuasan masyarakat yang sangat tinggi atas kepemimpinan Presiden Jokowi dianggap tidak ada artinya. Dari kenyataan tersebut, ada gap yang sangat nyata antara persepsi masyarakat secara umum yang tecermin dalam sejumlah survei dan penilaian kalangan elite terdidik pembentuk opini publik. Citra buruk yang dibangun lapisan elite tak sepenuhnya bersambung dengan pendapat publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanpa bermaksud membuat pembelaan, tulisan pendek ini berusaha melihat perkembangan bidang hukum secara berimbang. Subyektivitas tak dapat dihindari. Kekurangan-kekurangan tetap penting diakui agar pemerintahan mendatang bisa meningkatkan pembangunan bidang hukum secara lebih baik. Kritik sejumlah kalangan mengenai penegakan hukum tetap penting untuk didengarkan sebagai bagian dari proses pendewasaan bangsa Indonesia.
Pembangunan bidang hukum merupakan sesuatu yang kompleks. Penegakan hukum tidak selalu identik dengan penegakan undang-undang semata karena tujuan hukum adalah menegakkan keadilan. Dalam tradisi filsafat hukum, ada debat antara mazhab positivisme, yang lebih menekankan kepastian hukum lewat penegakan undang-undang, dan mazhab idealisme, yang lebih menekankan keadilan. Pertentangan dua mazhab tersebut tidak mudah didamaikan, tapi satu dari keduanya juga tidak mungkin dinafikan.
Hampir semua ahli hukum, baik dalam tradisi hukum Barat maupun hukum Islam, bersepakat mahkota hukum adalah keadilan. Ibnul Qayyim al-Jawziyah (1350), ahli hukum Islam dari kalangan mazhab Hambali, menyebutkan prinsip dasar hukum Islam adalah keadilan, kasih sayang (rahmat), dan kemaslahatan manusia. Aturan yang menyimpang dari prinsip dasar tersebut berarti turut menyimpang dari tujuan hukum.
Pertanyaannya: di mana letak keadilan itu? Apakah keadilan terletak pada kepastian penerapan ketentuan-ketentuan normatif dalam undang-undang? Ataukah keadilan itu bisa saja berada di luar bunyi ketentuan undang-undang? Pertanyaan inilah yang kemudian melahirkan mazhab positivisme dan idealisme sebagaimana disebutkan di atas.
Deskripsi tersebut menggambarkan agenda pembangunan dan penegakan hukum harus mampu berselancar dalam dua arus tersebut. Kepastian dan keadilan hukum bukanlah sesuatu yang harus dipilih. Keduanya harus bisa berjalan beriringan, meski tidak mudah. Karena itu, saya menggambarkannya seperti menegakkan benang basah. Meski demikian, menegakkan benang basah bukanlah hal yang mustahil asalkan ada kekuatan yang menopangnya.
Seperti itulah upaya menegakkan keadilan hukum yang tidak bisa tegak sendiri, melainkan membutuhkan penopang. Teori Lawrence M. Friedman (1975) penting untuk menjadi kerangka dalam melihat keadilan yang harus terdapat dalam sistem hukum. Hal itu meliputi: pertama, substansi hukum (legal substance) yang terkait dengan isi regulasi; kedua, struktur hukum (legal structure) yang terkait dengan pranata dan orang yang menegakkan hukum; serta yang ketiga adalah kultur hukum (legal culture) yang terkait dengan nilai dan sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum. Kultur hukum inilah yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan peraturan hukum dengan tingkah laku hukum semua anggota masyarakat.
Ketiga aspek tersebut menjadi sistem yang menopang tegaknya kepastian dan keadilan. Bila salah satu unsur tersebut rusak, sulit diharapkan benang basah keadilan bisa tegak.
Terlepas dari berbagai kritik, ada prestasi pembangunan bidang hukum pada masa pemerintahan Presiden Jokowi yang patut dicatat. Pertama, pengesahan sejumlah peraturan perundang-undangan yang bisa disebut sebagai tonggak penting, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pengesahan KUHP baru yang menggantikan KUHP peninggalan kolonial Belanda bukan proses yang mudah.
Proses penyusunan KUHP baru yang dimulai pada akhir 1960-an dengan tim yang silih berganti selalu menemui hambatan dan kebuntuan dalam beberapa isu krusial. Demikian juga pengesahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang memakan waktu puluhan tahun, menjadi terobosan penting untuk memberi perlindungan yang lebih kuat terhadap korban kekerasan seksual.
Begitu pula pengesahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menjadi momentum perubahan besar Indonesia menjadi lebih inklusif. Aturan ini menggantikan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Pergantian undang-undang mengubah paradigma dalam melihat penyandang disabilitas, dari paradigma charity dan belas kasihan menjadi paradigma hak asasi manusia. Adanya Komisi Nasional Disabilitas sebagai mandat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 meneguhkan pergeseran paradigma tersebut. Layanan dan kebijakan perihal disabilitas kini turut menjadi urusan pemerintah daerah.
Kedua, terobosan penyelesaian pelanggaran berat HAM masa lalu secara non-yudisial. Meski dikritik sejumlah kalangan karena dikhawatirkan penyelesaian non-yudisial akan menghilangkan aspek yudisial, terobosan ini menjadi harapan baru bagi korban pelanggaran berat HAM masa lalu.
Ada sejumlah kebijakan penting Presiden Jokowi, yaitu Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu, Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat, dan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat. Presiden Jokowi juga menyampaikan pengakuan terjadinya 12 pelanggaran HAM berat. Pengakuan yang diikuti dengan penyesalan dan jaminan untuk tidak terulang itu merupakan hal penting yang membuka berbagai tabir pelanggaran HAM berat.
Ketiga, kinerja penegakan hukum bidang pemberantasan korupsi. Terlepas dari berbagai kritik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Agung, ada beberapa hal penting yang perlu dicatat. Selama 2015-Januari 2024, KPK telah melakukan 149 kali operasi tangkap tangan dengan 36 di antaranya dilakukan pada 2020-2024. Kejaksaan Agung juga menyidik perkara pidana khusus, termasuk megakorupsi tata kelola timah dengan kerugian keuangan negara Rp 29 triliun. Demikian juga Satuan Tugas Saber Pungli selama 2021-Desember 2023 mengungkap 24.158 kasus dengan jumlah uang yang telah disita negara Rp 5,9 miliar.
Kejaksaan Agung dan KPK dalam periode Januari-Juni 2024 bisa menyelamatkan uang negara dari pengungkapan berbagai kasus korupsi besar dengan total pengembalian aset (asset recovery) Rp 1,36 triliun oleh Kejaksaan Agung dan Rp 296,5 miliar oleh KPK. Demikian juga kinerja pengembalian hak tagih Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang selama 2021-Juni 2024 berhasil memulihkan aset senilai Rp 38,2 triliun dan tanah bangunan seluas 44,7 juta meter persegi. Hal ini berarti 34,59 persen hak tagih bisa kembali ke kas negara.
Tentu saja data tersebut belum bisa memenuhi ekspektasi masyarakat dalam penegakan hukum. Penegakan hukum terkait dengan korupsi, baik yang dilakukan KPK maupun Kejaksaan Agung, masih perlu terus dipacu. Kritik terhadap kinerja KPK yang menurun dan kepercayaan publik yang tergerus menjadi perhatian serius. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari pimpinan KPK periode sekarang yang bukan hanya kinerjanya tidak memuaskan, melainkan juga terseret sejumlah kasus hukum. Pergantian pimpinan dan Dewan Pengawas KPK yang sekarang sedang berproses akan menjadi momentum penting untuk menaikkan muruah, kinerja, dan kepercayaan publik kepada KPK. Akan lebih powerful jika Dewan Perwakilan Rakyat segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang surat presidennya sudah dikirim Presiden Joko Widodo pada Mei 2023.
Kritik berbagai kalangan terhadap kinerja penegakan hukum merupakan hal wajar dalam negara demokrasi, tidak perlu langsung ditangkal. Hal tersebut menjadi bahan muhasabah semua komponen yang ada dalam sistem hukum berkeadilan. Seberat apa pun, bangsa ini tidak boleh kehilangan harapan terhadap penegakan hukum.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo