Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kepemimpinan Luar Negeri Inklusif yang Semu

Dinna Prapto Raharja

Dinna Prapto Raharja

Praktisi & pengajar Hubungan Internasional. Pendiri Lembaga Penelitian & Pelatihan independen, Synergy Policies

Spontanitas lawatan Presiden Prabowo Subianto mengindikasikan skala prioritas politik luar negeri yang tidak jelas.

2 Februari 2025 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Alvin Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Presiden Prabowo Subianto sering spontan melawat ke luar negeri.

  • Jadwal dan protokol kegiatannya tidak bisa sepenuhnya dipantau oleh Kementerian Luar Negeri.

  • Spontanitas lawatan Prabowo juga mengindikasikan skala prioritas yang tidak jelas.

PRESIDEN Prabowo Subianto mengambil sikap kontras dari Joko Widodo. Sementara Jokowi mengutamakan blusukan di dalam negeri, Prabowo sangat antusias merespons tamu asing dan spontan melawat ke luar negeri. Spontanitas itu menyebabkan jadwal dan protokol kegiatan, termasuk agenda pertemuan, Presiden tidak bisa sepenuhnya dipantau Kementerian Luar Negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perubahan ini cukup menghebohkan. Pemberitaan di media asing beberapa kali berbeda dengan jawaban pihak berwenang di Indonesia. Prabowo juga kerap berbicara dalam bahasa Inggris tanpa teks dan berimprovisasi. Walhasil, pernyataan beliau menimbulkan multiinterpretasi—sesuatu yang sebisa mungkin tidak terjadi dalam diplomasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Misalnya, pada Agustus 2024, sejumlah media asing mengumumkan bahwa Prabowo menyetujui suatu pakta pertahanan baru dengan Australia. Pengumuman itu dibantah Kementerian Pertahanan, yang mengoreksi istilahnya menjadi “kesepakatan pertahanan”. Lalu, pada awal November 2024, situs pemerintah Cina mengumumkan pernyataan bersama Prabowo dengan Presiden Xi Jinping. Pernyataan itu menyebutkan kesepakatan pengelolaan bersama kawasan sengketa di Laut Cina Selatan, yang bisa diartikan sepihak melupakan ASEAN dan mengedepankan diplomasi kepala negara antara Indonesia dan Tiongkok untuk menghadapi aneka tantangan global, padahal Indonesia adalah negara demokrasi yang melibatkan pula aktor nonnegara dalam diplomasi. Kementerian Luar Negeri kesulitan menjelaskan asal muasal pernyataan bersama tersebut dan menyangkal makna yang ditafsirkan pihak Cina ataupun publik. Dalam Shangri-La Dialogue di Singapura pada Juni 2024, Prabowo menyatakan bahwa ia bersedia mengevakuasi hingga 1.000 pasien Palestina ke rumah sakit Indonesia. Tidak disebutkan apakah maksudnya Rumah Sakit Indonesia di Palestina atau rumah sakit yang berada di Indonesia. Ujung-ujungnya geger, ketika Amerika Serikat mengusulkan 2 juta warga Palestina dipindahkan ke Indonesia saat Gaza dibangun.

Spontanitas Prabowo menjadwalkan lawatan juga mengindikasikan skala prioritas yang tidak jelas. Dalam tradisi diplomasi, pertemuan kepala negara biasanya sangat selektif, yakni puncak serangkaian negosiasi pembahasan isu strategis. Kini muruah institusi presiden turun karena Presiden ke sana-kemari tanpa timing dan agenda yang terstruktur dan bahkan melempar ide tanpa proses.

Daya Tawar

Memang, hakikat politik luar negeri adalah perpanjangan kepentingan di dalam negeri. Namun Indonesia selama ini dikenal karena pemikirannya yang mencerahkan, menciptakan narasi baru dalam memaknai kejadian di dunia, sehingga bukan hanya kepentingan Indonesia yang tercapai, stabilitas politik dan ekonomi global pun dapat terjaga. Kita tak hanya membicarakan “saya” atau mengajak “mari meningkatkan hubungan”, tapi juga menawarkan cara di tengah situasi yang tidak pasti dan bahkan penuh permusuhan.

Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, misalnya, menawarkan pembentukan forum negara Pasifik Barat dan poros Indonesia-India-Cina, menghidupkan kembali solidaritas Asia-Afrika, serta membuka komunikasi luas dengan negara-negara Timur Tengah. Kemelut di Poso, Sulawesi Tengah; Aceh; dan Papua mendorong Gus Dur menyuarakan prinsip pluralitas, kemanusiaan, dan reformis dari Indonesia dalam pergaulan global.

Di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah mengedepankan prinsip “seribu teman” dan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa aktif melakukan aneka shuttle diplomacy di ASEAN untuk menunjukkan implementasi pertemanan dalam situasi permusuhan. Marty juga memperkenalkan ide dynamic equilibrium di tengah persaingan negara-negara besar yang memanas di Asia melalui ASEAN.

Tradisi diplomasi Indonesia yang aktif ini vakum selama era Jokowi. Pada masa itu, Indonesia memilih aktif menjadi tuan rumah dan event organizer, tapi defisit narasi dan gagasan yang dapat mendorong pencapaian target pembangunan Indonesia serta pemajuan perdamaian, kemanusiaan, dan keadilan sosial. Diplomasi Indonesia terjebak dalam serangkaian acara seremonial yang sedikit jejak dampaknya setelah acara berlalu.

Prabowo menawarkan program unggulan Asta Cita sebagai cara bersolidaritas. Tantangannya adalah mengaitkan Asta Cita dengan aliran politik pemimpin dan kepentingan negara lain. Amat wajar bila kemudian ada diplomat asing yang menyimpulkan bahwa Presiden akan cepat merespons negara yang mendukung pembiayaan makan bergizi gratis.

Pelembagaan Politik Luar Negeri

Prioritas dan strategi Prabowo Subianto yang belum jelas menyebabkan pelembagaan politik luar negeri Indonesia tidak terarah. Misalnya bergabung dalam BRICS, tidak melulu rapat. Anggota BRICS lemah dalam bidang infrastruktur yang belum merata serta teknologi dan sumber daya manusia yang senjang. Tingkat korupsinya pun tinggi dengan ruang fiskal terbatas, penghargaan hak asasi manusia rendah, dan birokrasi yang belum teratur.

Saat Indonesia masuk ke BRICS, standar hubungan industrial yang selama ini dipupuk di Indonesia bisa dipangkas. Bisnis yang masuk ke Indonesia berpotensi didominasi perusahaan yang sulit memenuhi standar penanganan keluhan pekerja ataupun keselamatan kerja. Karena industrialisasi Indonesia belum baik, kita harus menegosiasikan produksi untuk rantai pasok yang dikuasai BRICS saja karena Amerika Serikat dan Uni Eropa menolak bekerja sama dengan anggota BRICS. Thailand dan Vietnam—yang kini berstatus mitra BRICS—bisa makin berjaya karena masih bisa berkilah untuk masuk ke rantai pasok Barat sambil menunjang rantai pasok BRICS.

Indonesia harus menanggung akibatnya jika anggota BRICS lain mengalami tekanan ekonomi-politik karena format BRICS berbeda dengan Asia-Afrika. BRICS mengupayakan perdagangan antaranggota menggunakan mata uang lokal. Artinya, kualitas barang dan keamanan transaksi harus dijamin supaya pelaku pasar kita tidak rugi.

Saat ini Kementerian Luar Negeri belum bisa menempatkan dirinya dalam gerak langkah Presiden. Selain karena Kementerian terkejut diberi tiga wakil menteri—padahal Menteri Luar Negeri Sugiono selalu menunggu arahan Presiden—inisiatif Kementerian membentuk Direktorat Jenderal Hubungan Ekonomi dan Kerja Sama Pembangunan belum bisa menindaklanjuti oleh-oleh perjalanan Prabowo ke BRICS, APEC, G20, India, Rusia, Tiongkok, dan lain-lain. Meskipun Donald Trump di Amerika Serikat membabi buta merugikan Indonesia, Kementerian belum bereaksi. Posisi Duta Besar RI untuk Amerika masih kosong dan begitu pula kursi Sekretaris Jenderal, yang mengkoordinasi kerja-kerja lintas direktorat dan menyusun program. Instruksi pemotongan anggaran perjalanan dinas hingga 50 persen berdampak pembatasan proses negosiasi tindak lanjut di level kementerian.

Inklusif yang Semu

Jadi, meskipun Prabowo Subianto merasa nyaman bergaul di tingkat internasional, dampaknya bagi Indonesia belumlah nyata. Jika boleh memberi label, Prabowo adalah pemimpin yang menciptakan ilusi inklusif (illusory inclusiveness). Ia ingin melibatkan banyak pihak dalam proses politik, tapi dalam praktiknya justru bersifat eksklusif.

Ilusi inklusif itu diindikasikan oleh keinginan melibatkan banyak pihak tapi tanpa manajemen kepemimpinan politik luar negeri yang efektif dan efisien. Tambahan tiga Wakil Menteri Luar Negeri memperlebar jurang antara konsep dan implementasi. Jurang itu sulit dijembatani karena pola kepemimpinan dan keputusan yang berbeda dengan tradisi, standar, dan protokoler yang selama ini dijalankan.

Seratus hari kepemimpinan Prabowo belum cukup untuk mengevaluasi politik luar negeri secara keseluruhan. Namun tak dapat diabaikan bahwa tindakan dan keputusan Prabowo menimbulkan interpretasi yang berbeda di antara analis dan diplomat negara sahabat. Satu yang pasti, Indonesia membatasi keterlibatan aktor-aktor nonnegara, seperti akademikus dan aktivis lembaga swadaya masyarakat, dalam diplomasi. Situasi tersebut akan menyulitkan para birokrat dan diplomat karena selama ini politik luar negeri Indonesia dipuji negara lain juga berkat keterlibatan aktor-aktor nonnegara.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus