Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dari Manitas Menuju Emilia

Sebuah film musikal dengan setting Meksiko yang melahirkan sejumlah kontroversi. Meraih 13 nominasi Academy Awards 2025.

2 Februari 2025 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Poster film Emilia Perez. Foto: Imdb.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Film Emilia Perez meraih 13 nomine Piala Oscar dalam Academy Awards 2025.

  • Film komedi musikal tentang raja narkotik Meksiko yang berubah menjadi perempuan.

  • Ada sejumlah kritik terhadap film karya sutradara Prancis ini.

“Aku hanya ingin menjadi dia.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEMIKIAN kata Manitas Del Monte (Karla Sofía Gascón), raja narkotik Meksiko yang ditakuti semua penjuru dunia. Dia menyanyi lirih dengan suara berat. Ucapan itu disampaikan kepada pengacara cerdas Rita Mora Castro (Zoe Saldaña). “Menjadi dia” yang dimaksud Manitas adalah menjadi her, seorang perempuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bayangkan. Seorang raja narkotik bertubuh gigantik dan bergigi emas berkilat yang menguasai semua politikus, hakim, jaksa, dan polisi di negaranya; sosok yang keji itu, ternyata menyimpan sebuah hasrat besar menjadi perempuan.

Beberapa menit pertama, cerita sudah bergulir dan menyajikan plot besar. Ini ternyata bukan klimaks, melainkan “awal” dari segala tragedi.

Tragedi itu terjadi bukan karena seorang raja gangster melakukan operasi kelamin dan mengubah identitas menjadi seorang Emilia Peréz, melainkan lantaran dia menyewa sang pengacara untuk mengurus “kematian palsu” Manitas dan melahirkannya sebagai seorang perempuan baru, hidup baru, dan juga... kepribadian baru. Sang pengacara juga harus mengurus perpindahan dan identitas baru istri serta kedua anaknya sembari mengumumkan “tewasnya” si kepala keluarga.

Tragedinya terletak pada logika cerita. Setelah menjadi perempuan, mendadak Manitas, dia, yang punya reputasi membunuh sekian ratus orang, tiba-tiba menjadi orang bermoral yang mendirikan sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bertugas mencari orang hilang. Dengan kata lain, perubahan fisik dan kelamin, menurut sang sutradara, mengubah nurani dan moralnya.

Tragedi? Komedi? Mungkin dua-duanya.

Produsernya menyebutnya “musical crime comedy”. Apakah memang betul ini film musikal, sementara musik dan liriknya begitu buruk dan sama sekali tidak enak didengarkan? Kecuali beberapa lagu yang mungkin cukup menyentuh yang dinyanyikan anak Emilia ketika dia mengatakan, “Tante, aromamu seperti ayahku” (lagu “Papa”), atau lagu di akhir film, “Las damas que pasan”.

Apakah ini film bertema komedi? Mungkin juga, meski kita tertawa bukan karena cerita atau situasi yang lucu, melainkan lantaran betapa konyolnya premis film ini.

Apakah film ini menyajikan unsur kriminal?

Mungkin lebih tepat film ini berunsur kriminalitas terhadap kemanusiaan karena sosok raja narkotik yang membunuh banyak orang dalam menjalankan bisnis ilegal itu bisa lolos dari segala ancaman penjara dan hukuman karena Manitas sudah “mati” dan Emilia lahir sebagai sosok suci.

Perlu disebutkan bahwa film ini mengandung kontroversi dalam beberapa persoalan. Salah satu yang diprotes masyarakat dan sineas Meksiko adalah sutradara Prancis, Jacques Audiard, yang sama sekali tidak bisa berbahasa Spanyol, mengaku tidak melakukan riset di Meksiko, tidak menggunakan pemain Meksiko, dan tidak melakukan syuting di Meksiko. Sebetulnya itu hal yang cukup sah, meski akan jauh lebih bagus jika sang sutradara berupaya melakukan riset dan mempelajari bahasa serta kultur subyeknya.

Akibatnya, persoalan kartel dan penghilangan paksa ribuan orang di Meksiko digambarkan dengan gaya banal penuh nyanyian dan tarian dengan koreografi ganjil. Paling tidak itulah bagian yang, menurut saya, membuat film ini gagal menyampaikan sebuah cerita.

Tentu saja ada persoalan remeh-temeh seperti penampilan Selena Gomez sebagai Jessi, istri Manitas, perempuan Meksiko yang berbahasa Spanyol dengan aksen Amerika. Persoalan “kurang autentik” hanya salah satu lapis kontroversi karena kritik terbesar berasal dari kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ) bahwa penggambaran seorang transgender dalam film ini nyaris menjadi alat untuk plot twist belaka.

Persoalan utama, bagi saya, bukanlah soal apakah film ini memenuhi kriteria genre apa pun yang mereka klaim (musikal, kriminal, komedi). Yang penting adalah apakah produser dan sutradara film ini memperlihatkan ketulusan dan keseriusan menceritakan persoalan transgender dan problem sosial politik Meksiko yang sudah berlangsung puluhan tahun itu.

Pertama, premis dan plot cerita film ini sebetulnya ciri khas Jacques Audiard. Dia memang mempunyai rekam jejak dari film-film sebelumnya yang sering bersentuhan dengan identitas, seperti A Self-Made Hero (1996), A Prophet (2009), dan Dheepan (2015), yang meraih Palm d'Or di Festival Film Cannes 2015. Semuanya membahas identitas dan penghapusan identitas.

Yang membedakan film Emilia Pérez dengan beberapa film Audiard sebelumnya adalah pendekatannya. Dalam Dheepan, misalnya, Audiard menggambarkan sekelompok imigran Sri Lanka yang berpura-pura menjadi satu keluarga agar bisa mendapatkan suaka di Paris. Film ini jelas dibuat dengan riset penuh ketelitian dan berupaya menampilkan wajah warga Sri Lanka seautentik mungkin. Dalam Emilia Pérez, Audiard seolah-olah sengaja abai menjadi autentik. Dia mengabaikan pentingnya kebudayaan dan bahasa Spanyol sebagai karakterisasi tokoh dan setting. Bahkan untuk lokasi pun Audiard memilih hampir semua adegan direkam di studio di Paris, kecuali beberapa adegan luar ruang. Itu adalah pilihan sang sutradara karena mungkin dia akhirnya memilih bentuk estetika yang teatrikal. 

Emilia Pérez

  • Sutradara: Jacques Audiard
  • Skenario: Jacques Audiard, berdasarkan libreto karya Jacques Audiard dan novel Écoute karya Boris Razon
  • Pemain: Zoe Saldaña, Karla Sofía Gascón, Selena Gomez
  • Waktu Perilisan: Mei 2024
  • Durasi: 132 menit

Sementara film-film Audiard sebelumnya adalah film dengan tema sosial, politik, atau latar sejarah dengan penanganan drama yang cukup konvensional, dalam Emilia Pérez dia tampak ingin keluar dari zona aman. Audiard sengaja memilih gaya campy, gaya yang mencoba satirikal dengan melebih-lebihkan gerak dan lirik melalui lagu-lagu yang dinyanyikan oleh nonpenyanyi—sehingga film ini sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan Wicked, misalnya, yang ditata dengan formula musikal Broadway. Tentu saja persoalan film Emilia Pérez bukan hanya penggunaan nonpenyanyi. Bukankah film musikal seperti Mamma Mia! (2008), Les Misérables (2012), dan La La Land (2016) juga menggunakan aktor dan aktris dan bukan penyanyi profesional?

Problemnya adalah Jacques Audiard memilih genre musikal dengan gaya campy karena dia menyangka bisa menerobos berbagai hal yang mustahil. Dia terlalu percaya diri bahwa penonton akan bersedia berpegang pada suspension of disbelief, mempercayai suatu adegan yang mustahil demi menikmati jalan cerita.

Problem berikutnya, sang sutradara tidak sensitif dan berfantasi sedemikian jauh tentang perubahan gender saat menciptakan tokoh Manitas yang berubah menjadi Emilia. Perubahan fisik, gender, dan seksualitas memang akan mempengaruhi jiwa pemilik tubuhnya, tapi tidak akan menghilangkan rekam jejak pada raganya. Audiard menganggap pertobatan sudah cukup dengan tebusan Emilia menggali tulang ratusan korban yang dibunuhnya. Dalam “pertobatan” itu, Emilia menipu para keluarga korban. Mereka tak tahu bahwa dia adalah Manitas, Si Raja Narkoba Keji yang ditakuti satu negeri, yang kemudian meletakkan tulang-tulang anak-anak mereka ke liang kubur. Premis inilah yang mengganggu logika cerita.

Pada akhirnya, genre dan tema tak penting untuk menentukan kedahsyatan sebuah film. Tapi “kisah kaum marginal” tampaknya menjadi faktor yang menyebabkan film itu bisa menang dalam Golden Globe tahun ini untuk film musikal atau komedi terbaik dan meraih 13 nominasi Oscar 2025.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Leila S Chudori

Leila S Chudori

Menulis novel dan resensi film.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus