Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INI babak baru kasus Munir. Pollycarpus Budihari Priyanto mempertanyakan sikap jaksa kasus pembunuhan Munir yang tidak menghadirkan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), M. As’ad. Padahal, menurut pilot Garuda yang pernah dihukum 14 tahun tapi dibebaskan oleh Mahkamah Agung itu, As’ad disebut dalam persidangan peninjauan kembali kasus ini.
”Mengapa penyidik tidak memeriksa Wakil Kepala BIN, dan jaksa juga tidak menghadirkannya ke sidang? Padahal As’ad masih hidup dan punya alasan jelas,” kata Heru Santoso, pengacara Polly, tatkala membacakan kontramemori peninjauan kembali kasus ini di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu pekan lalu.
Indra Setiawan, mantan Direktur Utama Garuda, menyebut As’ad menulis surat kepadanya. Isinya meminta agar Pollycarpus ditempatkan di unit keamanan penerbangan. Indra memenuhi permintaan itu. Dengan posisi inilah Polly bisa terbang sepesawat dengan tokoh gerakan hak asasi manusia itu pada 6 September 2004.
Kepala Polri Jenderal Sutanto berjanji akan segera memeriksa As’ad. ”Siapa pun, kalau sudah diduga, pasti akan kami periksa,” ujarnya. ”Kami akan menggunakan semua alat bukti yang ada.”
Pejabat Tersangka Pembalak Liar
KEPOLISIAN Daerah Riau menetapkan empat pejabat yang pernah memimpin Kantor Dinas Kehutanan Provinsi Riau sebagai tersangka. Mereka—Fauzi Saleh, Syuhada Tasman, Asral Rachman, dan Sudirno—dianggap bertanggung jawab karena mengeluarkan izin penebangan hutan yang berakibat maraknya pembalakan liar.
Keempatnya menjadi Kepala Dinas Kehutanan Riau secara bergiliran sejak 2000 hingga 2006. Menurut polisi, mereka melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman. Mereka menerbitkan izin kepada perusahaan pengelolaan hutan untuk menebang kayu di hutan produksi.
”Seharusnya izin penebangan itu untuk areal padang ilalang atau semak belukar dan bukan hutan produksi yang kayunya perlu dilindungi,” kata juru bicara Kepolisian Daerah Riau, Ajun Komisaris Besar Zulkifli, pekan lalu. Menurut Zulkifli, penebangan hutan alam secara membabi buta tak bisa dicegah. Pohon berdiameter di atas 30 sentimeter yang mestinya dilestarikan malah ditebang habis.
Polisi juga menetapkan tiga pegawai PT Nusa Prima Manunggal, perusahaan yang kepergok membabat hutan secara serampangan, sebagai tersangka. Mereka adalah Ismanto, Napalia, dan Rosman. Para tersangka itu tidak ada yang ditahan.
Rombongan Gubernur Aceh Ditahan
KEPOLISIAN New York, Amerika Serikat, Jumat pekan lalu melepas dua anggota rombongan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu Salahuddin al-Fatah, Direktur Utama Seulawah NAD Airline, dan Lukman Cut Muchtar, Ketua Gapensi Aceh. Keduanya ditangkap tiga hari sebelumnya dengan tuduhan terlibat pencairan cek palsu senilai US$ 32 juta. Mereka ditahan di Criminal Center Booking Down Town, Manhattan, New York.
Menurut juru bicara Departemen Luar Negeri, Kristiarto Soeryo Legowo, pembebasan dilakukan setelah ada pembicaraan antara hakim dan jaksa yang menangani kasus ini. Lukman, yang juga Direktur Utama Pelita Nusa Perkasa, lebih dulu dibebaskan. ”Tidak perlu megeluarkan uang jaminan sepeser pun,” kata Kristiarto kepada Tempo.
Satu-satunya syarat yang diminta oleh penegak hukum setempat adalah kesediaan Salahuddin untuk sewaktu-waktu datang memenuhi panggilan. Sebelum dibebaskan, Salahuddin maupun Lukman sempat diperiksa. Mereka didampingi pengacara berkebangsaan Amerika secara probono alias gratis.
Salahuddin dan Lukman merupakan anggota rombongan Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam yang berkunjung ke Amerika Serikat. Berlabel usaha pengembangan invetasi, kunjungan yang dipimpin oleh Gubernur Irwandi Yusuf ini dilakukan sejak Ahad dua pekan lalu. Irwandi membawa 20 orang pejabat pemerintah dan pengusaha.
R. Hartono Serahkan Rumah Bermasalah
MANTAN Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal (Purnawirawan) R. Hartono menyerahkan rumah di Jalan Suwiryo 7, Menteng, Jakarta Pusat, kepada Kejaksaan Agung. Rumah itu diakuinya sebagai pemberian Henry Leo, tersangka kasus penyelewengan dana PT Asabri.
”Saya menyerahkan kepada Asabri, bukan kepada seseorang. Nantinya akan disita kejaksaan,” kata Hartono setelah diperiksa sebagai saksi kasus ini di gedung bundar Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu pekan lalu. Ia mengaku tak tahu alasan Henry memberinya rumah. ”Mungkin karena saya KSAD,” katanya.
Sejak menerima rumah itu dari Henry Leo 12 tahun lalu, Hartono mengaku tak pernah tinggal di rumah itu. Alasannya, rumah itu menambah beban. ”Saya tidak ingin tinggal di situ, tapi harus bayar listrik, air, dan pajak,” katanya. ”Kebetulan ada kasus ini, jadi saya serahkan saja.”
Kasus ini bermula dari dugaan penyelewengan dana asuransi dan perumahan prajurit TNI yang dikelola Asabri pada 1995 hingga 1997. PT Asabri meminjamkan uang kepada Henry Rp 410 miliar. Namun uang itu digunakan berinvestasi di bidang lain—dan macet.
Hartono adalah teman seangkatan mantan Direktur Utama Asabri Subarda Midjaya di Akademi Militer Nasional yang lulus pada 1962. Subarda kini menjadi tersangka kasus ini. Bersama Henry Leo, ia ditahan penyidik sejak 13 Agustus lalu. Iyul Sulinah, istri Henry, mengaku baru mengetahui pemberian rumah kepada Hartono setelah suaminya disidik kepolisian.
Tempo Protes Penyadapan ke Dewan Pers
PEMIMPIN Redaksi Majalah Berita Mingguan Tempo, Toriq Hadad, Jumat pekan lalu mengadukan penyadapan telepon seluler wartawannya ke Dewan Pers. Pengaduan diterima anggota Dewan Pers Abdullah Alamudi dan Bekti Nugroho.
Menurut Toriq, penyadapan telepon mengganggu kerja wartawan dan mengancam kebebasan pers. Dewan Pers akan menindaklanjuti laporan itu dengan memanggil pihak Kepolisian Daerah Metro Jaya, PT Telkom, dan Raja Garuda Mas.
Penyadapan atas telepon genggam Telkom Flexy milik wartawan Tempo Metta Dharmasaputra diketahui pada awal September lalu. Salinan komunikasi pesan pendek antara Metta dan sejumlah sumber beritanya disebarkan ke sejumlah wartawan. Bersamaan dengan itu, terbit surat pemanggilan dari Polda Metro Jaya untuk Metta, sebagai saksi kasus tindak pidana pencucian uang oleh Vincentius Amin Sutanto, mantan karyawan PT Asian Agri, anak perusahaan Raja Garuda Mas.
Metta menjelaskan komunikasinya dengan Vincentius berkaitan dengan tugas jurnalistiknya sebagai wartawan. ”Hasilnya adalah laporan utama majalah Tempo tentang dugaan manipulasi pajak Asian Agri,” katanya.
Dia membantah tudingan bahwa berita itu, dan hubungannya dengan Vincentius, sudah diatur sebelumnya oleh lawan bisnis Sukanto Tanoto, pemilik Raja Garuda Mas. Vincentius kini dibui di penjara Salemba, setelah divonis 11 tahun penjara dalam pidana pencucian uang.
PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. mengakui sudah memberikan salinan komunikasi pesan pendek dari telepon Metta kepada aparat penegak hukum. Namun sampai akhir pekan lalu Polda Metro Jaya membantah meminta data itu. ”Saya tidak pernah minta,” kata Ajun Komisaris Besar Aris Munandar, Kepala Satuan Fiskal Moneter dan Devisa pada Satuan Reserse dan Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, yang menangani kasus ini.
Ledakandi Indramayu
LEDAKAN dahsyat terjadi di Kalianyar, Kecamatan Kerangkeng, Indramayu, Jawa Barat, Jumat pekan lalu. Terdengar dalam radius tiga kilometer, ledakan ini menewaskan satu orang dan merusak delapan rumah. Korban meninggal bernama Toip, 55 tahun, pemilik rumah. Ia tewas di Rumah Sakit Pelabuhan Cirebon, dengan luka bakar di sekujur tubuh dan lengan kiri patah.
Polisi Indramayu, termasuk unit gegana, tampak di lokasi ledakan. Kepala Kepolisian Resor Indramayu Ajun Komisaris Besar Polisi Syamsudin Janis belum memberikan keterangan penyebab ledakan, apakah itu bom rakitan, bom ikan, atau mercon. ”Masih dalam penyelidikan,” katanya.
Sejumlah saksi menyatakan ledakan berasal dari halaman samping rumah Toip, yang tertutup dan tidak kelihatan dari luar. Akibat ledakan itu, tembok rumah hancur berantakan. Pohon-pohon yang ada di halaman samping itu pun turut tumbang. Ledakan juga mengakibatkan delapan rumah rusak. Tiga di antaranya tak lagi beratap, lainnya kehilangan kaca yang pecah berserakan.
Menurut Imron, tetangganya, Toip adalah penjual es balok keliling. Ia dikenal tidak mau bergaul dengan tetangganya. Istrinya, Weti, hanya keluar rumah jika mesti membeli sesuatu di warung. ”Padahal sudah lima tahun di sini, tapi sama sekali tidak pernah bergaul dengan tetangga,” tutur Imron. Weti dan anak Toip, Nelly, saat ini diungsikan ke rumah keluarganya yang berada di daerah Sindang, Kabupaten Indramayu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo