Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=verdana size=1><B>Wirausaha</B></font><br />Bertahan di Kaleng Rombeng

Usaha kerajinan patung itu jatuh-bangun dilanda krisis. Kini bangkit kembali. Ingin pameran di luar negeri.

17 September 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAS pukul dua dini hari, bocah tanggung itu sudah bangkit dari pembaringannya. Berbalut jaket tebal menahan dingin, ia menyetir mobil Colt menuju Pasar Gotong Royong di Magelang, Jawa Tengah. Dari dusunnya di Pongangan, Ngadirejo, Salaman, Magelang, mobil itu bolak-balik berhenti menaikkan sayuran. Dari pasar, ia kembali membawa kulakan pedagang. ”Sebab, pasarnya hanya dari pukul dua sampai pukul enam pagi,” Kusnodin bercerita.

Itu kisah 29 tahun silam, ketika ia masih duduk di bangku SMP. Kini Kusnodin dikenal sebagai perajin patung binatang dari kaleng bekas. Setelah lulus SMP, ia tak melanjutkan sekolah, tapi membantu kakaknya, Suharmanto, sopir angkutan umum. Akhirnya ia sendiri bisa nyopir.

Suatu hari, pada 1987, ia kesal menemukan kotak kayu penyimpan peralatan mobil bolong digerogoti tikus. Ia menutupnya dengan potongan bekas kaleng biskuit. Sekadar iseng, sisa kaleng dipilin-pilin dan ditempel ke ekor hiasan burung merak. Ternyata menjadi lebih indah. ”Sejak itu muncul ide membuat hiasan dari kaleng bekas,” kata Kusnodin.

Seraya menunggu penumpang, ia mulai mengumpulkan kaleng rombeng. Pulang ke rumah, ia memotong kaleng tipis-tipis, satu hingga satu setengah milimeter. Lalu dipilin, dibentuk jadi merak-merakan. Hasilnya dipajang di rumah. Hampir setiap tamu yang datang memuji-muji merak kaleng rombeng itu.

Setahun kemudian, Kusnodin, kini 43, mengikuti pameran pembangunan di Kota Magelang. Bupati saat itu, Solikin, ternyata tertarik, lalu menghibahkan Rp 500 ribu untuk dipakai modal. Sejak itu garis hidup Kusnodin berubah. Ia berhenti jadi sopir. Uang hibah itu dibelikan peralatan kerja.

Bersama lima ”karyawan”, ia tak sekadar membuat burung merak, tapi juga cenderawasih, elang, bahkan ayam. Pada 1989, Kusnodin mengikuti pameran peresmian purnapugar Candi Borobudur. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata ketika itu, Joop Ave, ternyata juga kepincut. Joop belanja hingga Rp 600 ribu. Bahkan kemudian sang menteri menawari Kusnodin berpameran tunggal di Hotel Hilton, Jakarta. ”Sejak saat itu pesanan meledak,” katanya.

Untuk memenuhi permintaan, ia merekrut 80 karyawan lepas. Bengkelnya, yang diberi merek Karya Baru, setiap bulan memproduksi hingga 500 item. Belum banyak, karena semua dikerjakan manual. Untuk ”patung” besar seperti harimau, singa, atau kuda, bahkan bisa makan waktu enam bulan.

Soal harga, sih, lumayan. Burung-burungan, misalnya, Rp 85 ribu hingga Rp 1,6 juta. Adapun kuda, harimau, atau sebangsanya bisa mencapai Rp 20 juta. Bekerja sama dengan Yun Collection, perusahaan jasa distribusi dan ekspor, produksi Karya Baru merambah sampai ke Medan, Mataram, Lombok, Bali, Yogyakarta, dan Surabaya.

Pasar ekspor tembus ke Australia dan Eropa. Dalam sebulan omzetnya mencapai Rp 70 juta. Namun krisis ekonomi 1998 melibas usaha Kusnodin. Pintu ekspor terkunci, pasar dalam negeri terkulai. Semua galeri menutup pintu. Selama dua tahun Karya Baru terharu-biru.

Berbekal hasil menjual satu mobil, pada pertengahan 2001 ayah tiga anak itu mencoba bangkit kembali. Kali ini pemasaran ditangani sendiri. Mulai satu-dua berdatangan pembeli lokal dan asing, eh, bom Bali 2002 membuat usahanya balik terpuruk. Tapi Kusnodin tak menyerah.

Dijualnya lagi satu mobil. Ia mulai merangkak dari bawah. Berkat kegigihannya, akhirnya ketemu pembeli asal Australia. Sejak itu pesanan mulai mengalir. Tapi rupanya cobaan belum berakhir. Gempa Yogyakarta 2006 sempat berdampak pada usahanya. Terus bertahan, menggunakan sisa-sisa kekuatan, kini bengkelnya ramai lagi. Bulan ini, misalnya, Karya Baru mendapat pelanggan asal Amerika.

Walau belum seperti dulu, kini omzet bulanannya bisa menembus Rp 40 juta. ”Saya ingin berpameran di luar negeri,” kata Kusnodin. ”Tapi dananya tidak cukup.”

Muchamad Nafi, Heru C.N. (Magelang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus