Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

"Kami Sudah Lelah dengan Kekerasan"

8 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA pengungkapan tragedi Munir dianggap sebagai "ujian bagi sejarah negeri kita", pemerintah beserta aparatnya telah gagal melewati eksaminasi ini. Satu dasawarsa lebih setelah sang aktivis dilenyapkan dengan racun arsenik dalam perjalanan menuju Amsterdam, Belanda, tangan hukum baru menjangkau eksekutornya.

Dua pekan lalu, aparat semakin terlihat gagal melalui ujian dengan membebaskan Pollycarpus Budihari Priyanto, terpidana perkara ini. Dihukum 20 tahun pada sidang peninjauan kembali yang diajukan Kejaksaan Agung, lalu dikorting menjadi 14 tahun pada peninjauan kembali sekali lagi yang dimohonkan Pollycarpus, pilot Garuda Indonesia itu selesai menjalani hukuman dengan remisi berlimpah: 4 tahun, 6 bulan, dan 20 hari.

Hanya Pollycarpus dan Indra Setiawan, Direktur Utama Garuda pada saat Munir terbang, yang telah dihukum dalam perkara ini. Indra dianggap memberikan kesempatan kepada Pollycarpus untuk membunuh Munir dengan menempatkan sang pilot ke bagian keselamatan penerbangan, yang memungkinkan ia terbang pada hari pembunuhan. Ia divonis setahun penjara.

Kejaksaan memang mengajukan Muchdi Purwoprandjono, mantan Deputi Badan Intelijen Negara Bidang Penggalangan, ke pengadilan pada 2007. Ia dituduh banyak berkomunikasi dengan Pollycarpus pada hari-hari menjelang pembunuhan. Ia disangka terlibat dalam pembunuhan berencana itu. Namun, di pengadilan tingkat pertama, hakim menyatakan dakwaan jaksa tidak terbukti. Kejaksaan tidak memberikan perlawanan atas putusan itu.

Segera setelah itu, pembunuhan aktivis yang menjadi sorotan dunia ini menguap tak berbekas. Keadilan tak pernah mendekat kepada Munir, bahkan jauh setelah kematiannya.

MUNIR Said Thalib mungkin terlahir tanpa saraf takut. Pada masa ketika penguasa begitu kuat, Munir selalu terang-terangan memihak mereka yang paling lemah dan teraniaya. Dengan tubuhnya yang ringkih, ia begitu perkasa membela hak-hak paling dasar warga negara. Tak mengenal lelah, ia membela buruh yang terbunuh, pekerja yang menuntut hak, petani yang tanahnya tergusur "pembangunan", juga orang-orang yang diberangus karena mengkritik pemerintah Orde Baru.

Munir aktif menuntut pengungkapan tragedi kemanusiaan di masa lalu, seperti penembakan massa di Tanjung Priok, Jakarta Utara, 1984; pembunuhan kelompok yang dianggap radikal di Talangsari, Lampung, 1989; juga kejahatan selama operasi militer di Aceh. Ia pun sangat lantang menuntut penyelidikan kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah di Sidoarjo, Jawa Timur, 1994.

Munir, bagi pemimpin militer, adalah musuh yang "pekerjaannya menjual negara". Ia dituduh berusaha melemahkan militer, yang merupakan penopang utama kekuasaan Orde Baru. Salah satu penyebabnya, ia bersama para aktivis demokrasi lain gencar menuntut penghapusan peran ganda militer yang terkenal sebagai Dwifungsi ABRI.

Puncak keberanian Munir terlihat pada 1997-1998, ketika ia mendampingi aktivis prodemokrasi yang diculik tim Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat. Pada waktu itu, menjelang Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat 1997, sepasukan tentara kesatuan elite menangkap belasan orang yang dicap sebagai "pengacau" seremonial lima tahunan tersebut—yang sebenarnya hanya untuk mengesahkan kembali kekuasaan Soeharto.

Munir terus-menerus mendampingi korban. Ia selalu hadir ketika para aktivis itu dimintai keterangan di Pusat Polisi Militer atau Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Ia lantang menuntut pertanggungjawaban Kopassus, yang ketika itu dipimpin Prabowo Subianto dan kemudian Muchdi Purwoprandjono. Ia kemudian membentuk Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau Kontras, untuk melacak mereka yang belum ditemukan.

Gerakan Munir dan kawan-kawan memaksa Angkatan Bersenjata Republik Indonesia membuka kejahatan ini. Mereka membentuk Dewan Kehormatan Perwira guna menyelidiki keterlibatan sejumlah pejabat Kopassus. Dewan yang dipimpin Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Subagyo Hadisiswoyo ini akhirnya memberhentikan Prabowo dan Muchdi dari dinas militer. Mereka dianggap bertanggung jawab atas penculikan itu. Belakangan, kejaksaan dalam dakwaannya menyatakan pemecatan ini menumbuhkan dendam Muchdi kepada Munir.

Perjuangan Munir tak pernah bisa dipadamkan, meski teror demi teror diarahkan kepada lelaki asal Batu, Jawa Timur, itu dan keluarganya. Tapi ia tak bisa mengelak ketika konspirasi tingkat tinggi membunuhnya di udara, pada hari ia berangkat menuju Belanda, tempatnya hendak menempuh studi pascasarjana.

SEJAK awal, pengusutan perkara ini tak pernah dilakukan dengan sepenuh hati. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang mengatakan keseriusan pengungkapan pembunuhan Munir sebagai "test of our history". Namun ia baru membentuk tim pencari fakta–beranggotakan seratus orang lebih—setelah didesak kanan-kiri melalui media massa beberapa bulan kemudian.

Tim yang juga beranggotakan perwakilan Badan Intelijen Negara atau BIN ini menghasilkan kesimpulan yang ternyata meleset. Menurut kesimpulan tim ini, Munir dibunuh dalam penerbangan Jakarta-Singapura. Racun ditaburkan ke mi goreng atau jus jeruk yang disantap sang aktivis dalam penerbangan dua setengah jam itu.

Kesimpulan ini pula yang dibawa kejaksaan ke pengadilan, dengan Pollycarpus duduk di kursi terdakwa. Pengadilan pertama menghukumnya 14 tahun penjara. Namun, karena tidak didukung bukti kuat, majelis kasasi membebaskan dia dari dakwaan itu. Pollycarpus hanya dinyatakan terbukti menggunakan dokumen palsu untuk terbang ke Singapura dan divonis dua tahun penjara.

Kepolisian baru serius setelah kalangan internasional menekan pemerintah, yang dianggap tidak sungguh-sungguh mengungkap pembunuhan ini. Mereka berangkat dari bukti-bukti, menggunakan teknologi forensik, juga menunjuk penyidik yang relatif cakap. Hasilnya, mereka menemukan bukti baru yang membuat Pollycarpus dinyatakan bersalah dalam sidang peninjauan kembali.

EDISI khusus ini sebenarnya kami siapkan untuk mengenang keberanian Munir pada hari kelahirannya, 8 Desember. Jika nyawanya tidak dirampas, hari ini ia berusia 49 tahun dan besar kemungkinan telah menyandang gelar master dari Universitas Utrecht, Belanda.

Tim redaksi menyiapkan bahan sejak Agustus lalu. Kami membaca kembali dokumen pemeriksaan, baik hasil Tim Pencari Fakta 2005 maupun penyidik kepolisian dua tahun setelahnya. Juga menemui kembali saksi-saksi. Sejumlah mantan anggota tim penyidik juga bersedia diwawancarai—meski mereka menolak dituliskan namanya—untuk menceritakan cara kerja mereka.

Menjelang tenggat, kami memperoleh "tambahan alasan" perlunya edisi khusus Munir ini diterbitkan: pembebasan bersyarat Pollycarpus. Mungkin benar, dikeluarkannya sang terpidana dari sel telah sesuai dengan prosedur hukum. Namun besarnya keringanan hukuman yang dia terima sungguh membuat mata terbelalak. Hal itu semakin menegaskan kesan bahwa pembunuhan Munir hanya dianggap sebagai pembunuhan biasa, bukan kejahatan luar biasa.

Pembaca, edisi ini disusun sebagai upaya merawat ingatan bahwa Munir dibunuh untuk membungkam sikap kritisnya. Hampir mustahil Pollycarpus bekerja sendiri untuk mengubah-ubah jadwal penerbangan, memindahkan kursi Munir dari kelas ekonomi ke bisnis, lalu menuangkan arsenik ke gelas targetnya. Besar kemungkinan, jika melihat bukti-bukti yang diajukan ke pengadilan, organ negara terlibat dalam kejahatan ini.

Kejahatan semacam itu harus diungkap dan tidak boleh terulang. Sebab, kita, mengutip Munir pada suatu kesempatan, "Sudah lelah dengan kekerasan."


Tim Edisi Khusus Munir
Penanggung jawab: Budi Setyarso Kepala proyek: Bagja Hidayat Koordinator: Jobpie Sugiharto, Jajang Jamaludin, Agustina Widiarsi, Agus Supriyanto, Penulis: Bagja Hidayat, Budi Setyarso, Jajang Jamaludin, Jobpie Sugiharto, Agustina Widiarsi, Agus Supriyanto, Agoeng Wijaya, Agung Sedayu, Y. Tomi Aryanto, Sukma N. Loppies, Mustafa Silalahi, Akbar Tri Kurniawan, Rusman Paraqbueq, Yuliawati, Yosep Suprayogi, Indra Wijaya, I Wayan Agus Purnomo, Fransisco Rosarians, Febriyan, Maria Hasugian, Zacharias Wuragil, Syailendra Persada, Sunudyantoro, Isma Savitri, Anton Septian, Purwani Dyah Prabandari Penyunting: Budi Setyarso, Arif Zulkifli, Hermien Y. Kleden, Elik Susanto, Yudono Yanuar, Bina Bektiati, Seno Joko Suyono, Tulus Wijanarko, Purwanto Setiadi, Philipus Parera, L.R Baskoro, Setri Yasra, Yosep Suprayogi, Yosrizal Suriaji, Idrus F. Shahab, M. Taufiqurrahman Penyumbang bahan: Bagja Hidayat, Agustina Widiarsi, Mitra Tarigan, Muhammad Muhyiddin, Syailendra Persada, (Jakarta), Rusman Paraqbueq, Ahmad Fikri (Bandung), Abdi Purmono (Malang), Eko Widianto (Batu), Agita Sukma (Surabaya), Mochtar Touwe (Ambon), Anang Zakaria (Yogyakarta) Luky Setyarini (Lisabon), Asmayani Kusrini (Belanda) Bahasa: Uu Suhardi (Kepala), Sapto Nugroho, Iyan Bastian Foto: Nita Dian (Kepala), Abdi Purmono (Malang) Ijar Karim, Ratih Purnama Ningsih Desain: Eko Punto Pambudi, Djunaedi, Gatot Pandego, Kendra H. Paramita, Rizal Zulfadli, Tri Watno Widodo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus