Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pollycarpus Budihari Priyanto, terdakwa kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir, berniat melaporkan jaksa penuntut umum ke presiden. Menurut dia, jaksa telah memaksakan kehendak menuntut hukuman seumur hidup hanya atas dasar asumsi-asumsi. ”Apa yang dilakukan jaksa bertentangan dengan akal sehat dan akan saya laporkan kepada presiden,” ujar Pollycarpus dalam tanggapannya atas jawaban jaksa penuntut umum terhadap pleidoi pengacaranya, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pekan lalu.
Ia menyatakan tidak membunuh Munir. Dia juga membantah tuduhan pernah menghubungi Munir sebelum pejuang hak asasi itu berangkat ke Belanda. ”Saya tidak tahu nomor telepon Munir, bagaimana bisa menghubungi dia?” ia menukas.
Adapun soal pemeriksaan dumping fuel di Singapura, Polly berkukuh mendapat tugas itu dari saksi Ramelgia Anwar, Kepala Aviation Security Garuda. Dia menilai semua tuntutan jaksa didasarkan atas asumsi yang tidak berdasar.
Sebelumnya, dalam repliknya, jaksa penuntut tetap meyakini Pollycarpus adalah pembunuh Munir. Jaksa juga menyatakan pembunuhan tersebut merupakan pembunuhan berencana. Replik itu diajukan atas pembelaan (pleidoi) pengacara Pollycarpus. Anggota jaksa penuntut umum, Edy Saputra, mengatakan Pollycarpus memiliki ”hak ingkar” untuk tidak mengakui pembunuhan. Namun, kata Edy, perbuatan Pollycarpus menghubungi Suciwati istri Munir sebelum Munir berangkat adalah bagian dari rencana pembunuhan.
Menurut rencana, putusan sidang terhadap Pollycarpus akan dibacakan pada 20 Desember. Panitera PN Pusat menyatakan masa penahanan Pollycarpus sudah diperpanjang hingga 25 Desember.
Nurmahmudi Menang di MA
Pasangan Nurmahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra boleh bersiap-siap menempati kursi Wali Kota Depok, Jawa Barat. Hal ini dimungkinkan setelah Mahkamah Agung, pekan lalu, membatalkan vonis Pengadilan Tinggi Jawa Barat (4 Agustus) yang menetapkan pasangan Badrul Kamal-Syihabudin Ahmad sebagai pemenang pemilihan Wali Kota Depok.
Kemenangan ini tentu saja disambut gembira Nurmahmudi dan pendukungnya. Ya, meski meraih suara paling banyak pada pemilihan 26 Juni 2005, mereka ketika itu memang tidak bisa serta-merta dilantik. Apalagi setelah Pengadilan Tinggi Jawa Barat menganggap ada penggelembungan pada jumlah surat suara Nurmahmudi serta penggembosan suara milik Badrul. Pengadilan tinggi kala itu lalu mengalihkan kemenangan ke pasangan Badrul-Syihabudin.
Kini, giliran majelis hakim agung menilai hasil putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Dalam putusan disebutkan, Pengadilan Tinggi Jawa Barat telah melampaui kewenangan dan batas undang-undang. Harifin A. Tumpa, anggota majelis itu, menyatakan pengadilan seharusnya hanya mempertimbangkan perhitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Depok. Pengadilan, kata dia, seharusnya tidak memperhitungkan suara yang diduga digelembungkan sebagai milik Badrul.
Kubu Badrul Kamal-Syihabudin Ahmad menyatakan akan berkonsultasi dulu dengan kuasa hukum dan para pendukungnya. Juru bicara Badrul Kamal, Muhammad Hasan, menyatakan timnya tidak akan reaktif menanggapi keputusan Mahkamah. ”Sebelum ada pernyataan resmi dari MA,” kata Hasan.
Peluncuran Satelit dari Biak
Tak hanya isu kelaparan yang mencuat dari Papua, tetapi juga teknologi tinggi. Tepatnya, dari Pulau Biak, pada tahun 2007 mendatang Indonesia dan Rusia akan meluncurkan satelit ruang angkasa. Satelit yang akan diluncurkan itu adalah satelit komunikasi televisi dan radio.
Proses awalnya telah dibahas oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Rusia Vladimir Putin di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur di Kuala Lumpur, Malaysia, Rabu pekan lalu. Setelah itu, pada Januari 2006 akan ditandatangani nota kesepahaman kedua negara.
Nota itu diperlukan untuk mendirikan PT ALAI (Air Launch Aerospace Indonesia), perusahaan patungan antara Air Launch Aerospace dari Rusia dan Indonesia. Perusahaan inilah yang akan mengoperasikan landasan di Biak.
Presiden Air Launch dari Rusia, Anatoly S. Karpov, mengatakan pemilihan Biak disebabkan strategisnya posisi pulau itu yang berada di garis khatulistiwa. Selain itu, peluncuran dari sana tak terlalu mahal dibandingkan dengan standar internasional.
”Kalkulasi sementara biaya bisa ditekan hingga 40 persen,” kata Hazairin Pohan, Direktur Eropa Tengah dan Timur Departemen Luar Negeri, di Kuala Lumpur.
Menentang Liberalisasi Pendidikan
Dari Hong Kong, berita itu menyengat Indonesia. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), yang bersidang sampai hari Minggu kemarin, Desember, rupanya membicarakan rencana liberalisasi pendidikan.
Forum Rektor tegas-tegas menolak rencana tersebut, Kamis pekan lalu. Ketua Forum, Wibisono Hardjopranoto, mengatakan liberalisasi akan menyebabkan pendidikan menjadi komoditas perdagangan dan ekonomi. Padahal pendidikan mestinya menjadi kegiatan budaya untuk mencerdaskan bangsa.
Namun, Rektor Universitas Negeri Surabaya ini tidak berkeberatan bila lembaga pendidikan asing yang masuk ke Indonesia adalah pendidikan yang bersifat teknis seperti kursus komputer atau menyetir.
Rektor Universitas Gadjah Mada, Sofian Effendi, mengatakan Indonesia belum saatnya menghadapi liberalisasi pendidikan. Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo juga berpendapat sama. Menurut dia, tidak ada konsep liberalisasi dalam pendidikan. ”Dari dulu sudah ada swasta,” katanya.
Sebaliknya, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie berseberangan sikap. Menurut dia, Indonesia harus belajar dari kemunduran pendidikan di Inggris yang tak mampu melakukan reformasi. ”Saya percaya, dengan kompetisi yang kuat, kualitas pendidikan bisa meningkat,” katanya.
Anggota Parlemen Jalan-jalan (Lagi)
Meski sudah ada larangan, 16 anggota Badan Urusan Rumah Tangga Dewan Perwakilan Rakyat toh sejak Jumat pekan lalu tetap berangkat untuk melakukan studi banding ke Mesir. Anggota badan itu rupanya telah mendapat restu pimpinan DPR, yang sehari sebelumnya telah mengeluarkan surat larangan bepergian ke luar negeri.
Ke-16 anggota yang terbang ke Mesir itu terdiri dari anggota Fraksi Partai Golkar, PDI Perjuangan, Partai Amanat Nasional, Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan. Di Mesir, mereka akan studi banding soal perjudian, fasilitas anggota parlemen, dan menghadiri pelantikan parlemen negeri itu. Total anggaran perjalanan sepekan itu adalah US$ 76.170 atau sekitar Rp 760 juta.
Ceritanya, kata Wakil Ketua DPR Zainal Ma’arif, pada 7 Desember anggota badan itu menunjukkan surat dari Mesir yang menyatakan kesiapan parlemen negeri itu menerima kunjungan parlemen Indonesia. DPR, yang telah melarang kunjungan itu sehari sebelumnya, ibarat pepatah: menjilat ludah sendiri. ”Kalau pimpinan nekat membatalkan, berarti mengurangi kredibilitas kami di mata pemerintah Mesir,” Zainal beralasan.
Surat pembatalan atas surat larangan itu pun ditandatangani secara resmi oleh Ketua DPR Agung Laksono dan para wakil ketua, yaitu Zainal, Soetarjo Soerjogoeritno, dan Muhaimin Iskandar. Zainal mengatakan masalah itu menjadi polemik karena dia tak sempat mengabarkan pembatalan larangan itu kepada pers sebelum bertolak ke Turki untuk menonton pertandingan pra-Piala Dunia antara Turki dan Swiss.
Kepergian ini membangkitkan kecurigaan karena simpang-siur. Wakil Sekretaris Jenderal DPR, I Gusti Ayu Darsini, mengaku tidak mengetahui secara pasti jadwal kegiatan dan program kerja kunjungan.
Tunda Eksekusi Mati Jagal Poso
Sejumlah organisasi lintas agama di Palu, Sulawesi Tengah, meminta eksekusi mati terhadap tiga terpidana kasus kerusuhan Poso, yakni Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva, dan Marinus Riwu, ditunda. Eksekusi terhadap ketiganya diyakini akan memutus benang merah terhadap 16 otak pelaku kerusuhan sebenarnya.
Organisasi lintas agama itu diwakili, antara lain, Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia, Laskar Merah Putih, Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia Sulawesi Tengah, serta Pemuda Bulan Bintang dari kalangan Islam. Sedangkan tokoh Kristen yaitu Pastor Jimmy Tumbelaka dari Tentena. Mereka melawat ke tiga terpidana itu di Lembaga Pemasyarakatan Palu, Rabu pekan lalu.
Dewan Penasihat Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia, Nawawi Sangkilat, mengatakan Tibo dan kawan-kawan hanyalah ”prajurit” yang diperintahkan oleh 16 ”panglima” untuk melaksanakan tugas di Poso. Seharusnya ke-16 orang itulah yang dihukum mati. Karena itu, dia meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meninjau kembali grasi yang ditolak 10 November silam.
Dari mulut ketiga terpidana memang meluncur 16 nama yang disebut-sebut sebagai pelaku utama kerusuhan Poso. Dua di antaranya, yakni Andi Ipong Poniran dan Yusuf, sudah ditangkap polisi dan kini ditahan di rumah tahanan Markas Besar Polri di Jakarta.
Polisi menduga Ipong memiliki peranan cukup besar dalam kerusuhan Poso karena terlibat sebagai pelaku, penunjuk atau pengarah, sekaligus pendamping, dalam sembilan kasus sejak tahun 2001 hingga 2003. Polisi juga menelusuri kemungkinan Ipong terlibat dalam penembakan tiga siswi SMU Kristen akhir Oktober lalu. Polisi juga masih menyelidiki kemungkinan adanya keterkaitan antara kelompok Ipong dan ketiga terpidana.
Yap Thiam Hien Award Absen
Karena tak lagi mendapat dukungan dana, Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Yapusham) tak akan memberikan penghargaan Yap Thiam Hien tahun ini. Menurut Ketua Dewan Yapusham, Todung Mulya Lubis, mereka tak lagi mendapat duit cukup. ”Jadi, absennya penghargaan itu bukan karena tak ada pendekar-pendekar dalam penegakan HAM,” katanya, pekan lalu.
Anugerah bergengsi bagi mereka yang berjasa dalam penegakan hak asasi manusia di Indonesia itu biasanya diberikan setiap 10 Desember—bertepatan dengan hari hak asasi manusia sedunia. Menurut Todung, sepinya donatur itu mungkin karena isu hak asasi manusia kini tengah tersingkir oleh isu pemberantasan korupsi dan terorisme.
Selama ini, dana yang diperlukan untuk setiap pemberian penghargaan adalah sekitar Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar. Dana itu digunakan untuk meneliti calon pemenang hingga resepsi pemberian anugerah. Akhirnya, Todung mempertanyakan komitmen pengusaha dan individu yang selama ini menyantuni penyelenggaraan acara tersebut. ”Ada erosi penegakan HAM di masyarakat.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo