Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Polusi udara akibat debu batu bara di Marunda diduga menyebabkan banyak warga kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, menderita ISPA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Debu berwarna hitam pekat itu tampak jelas menempel di dinding dan kusen jendela rumah Sugiyanto di Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Dengan jari-jarinya, pria 49 tahun itu kemudian menyentuh debu itu untuk diperlihatkan kepada Tempo.
Sugiyanto mengatakan debu hitam yang ia tunjukkan itu terhitung sedikit. Sebab, pada musim angin barat daya pada November–Februari, tebal tumpukan debu bisa lebih dari 1 sentimeter. “Ini debu batu bara,” kata dia, pekan lalu.
Perkampungan Marunda Pulo yang terdampak polusi debu dari PT KCN di Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. TEMPO/M Julnis Firmansyah
Menurut Sugiyanto, debu batu bara berbeda dengan debu pada umumnya. Selain warnanya hitam, debu batu bara sangat sulit dibersihkan karena memiliki kandungan minyak. Dia juga meyakini debu batu bara berdampak buruk bagi kesehatan. “Kalau terhirup, tenggorokan terasa gatal,” ujar Sugiyanto.
Persoalan debu hitam ini bukan hanya dirasakan Sugiyanto dan warga Kelurahan Marunda. Khasan Hunang yang tinggal di Kelurahan Cilincing juga memiliki keluhan serupa. Dia juga meyakini gangguan pernapasan warga Cilincing disebabkan oleh debu hitam itu. Khasan yang menjabat Ketua RT 11 Kelurahan Cilincing berharap masyarakat mendapat kompensasi atas penyebaran debu batu bara tersebut.
Kepala Suku Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Utara, Slamet Riyadi, mengatakan sudah memerintahkan anak buahnya untuk menelusuri debu hitam yang dikeluhkan masyarakat di Marunda dan Cilincing.
Dari penelusuran itu diketahui, debu hitam itu adalah residu batu bara. Debu itu berasal dari pelabuhan bongkar-muat milik PT Karya Citra Nusantara (KCN) yang berada di Marunda. Jaraknya sekitar 2 kilometer dari permukiman penduduk di Cilincing.
Pelabuhan KCN selama ini menjadi tempat singgah ratusan ton batu bara, sebelum disalurkan ke industri yang membutuhkan, seperti pabrik semen, pembangkit listrik tenaga uap, dan trading. Tidak kurang dari 907 ribu ton batu bara masuk ke Pelabuhan Marunda milik PT Karya Citra Nusantara (KCN) dalam tiga bulan terakhir.
Menurut Slamet, Suku Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Utara telah memediasi pertemuan antara PT KCN dan masyarakat. Dalam pertemuan itu, PT KCN berjanji akan mengurangi residu batu bara agar tidak menyebar ke permukiman. “Jadi, mereka akan memasang semacam jaring basah agar debu batu bara tidak terlalu banyak terbawa angin,” ujar Slamet.
Khasan Hunang menunjukkan debu batubara yang dikumpulkannya di rumahnya di kawasan Cilincing, Jakarta Utara, 23 Juli 2019. TEMPO/M Julnis Firmansyah
Polusi debu batu bara terbentuk saat proses bongkar-muat dari kapal tongkang ke pelabuhan. Partikel debu itu terbawa oleh angin dan menyebar. Pada musim angin barat daya pada November–Februari, debu pasti beterbangan ke permukiman penduduk di Marunda dan sekitarnya.
Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Dwi Sawung, mengatakan debu batu bara sangat berbahaya untuk kesehatan manusia. Meskipun tidak melalui proses pembakaran, debu batu bara tetap menghasilkan particulate matter (PM) 2,5, yakni debu melayang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikrometer atau 3 persen dari diameter rambut manusia.
Masker biasa tidak mampu mencegah partikel debu masuk ke tubuh manusia lewat pernapasan. “Harus menggunakan masker khusus yang memiliki filter PM 2,5,” kata Dwi. “Harga masker ini 10 kali lipat lebih mahal dibanding masker biasa.”
Dwi menjelaskan PM 2,5 yang menumpuk di paru-paru akan menyebabkan penyakit gangguan pernapasan. Namun ada satu penyakit yang terkait langsung dengan debu batu bara, yaitu black lung (pneumokoniosis) atau paru-paru hitam. Mereka yang tinggal dekat dengan area pertambangan atau bongkar-muat batu bara rentan terkena penyakit ini.
Ketua Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan, Agus Dwi Susanto, membenarkan bahwa debu batu bara dapat menyebabkan pneumokoniosis. Penyakit ini timbul karena penumpukan debu batu bara di paru. Penumpukan itu membuat jaringan paru mengeras dan kaku sehingga fungsinya menurun. “Kasus ini umumnya muncul pada pekerja batu bara, nama lainnya coal workers pneumoconiosis,” ujar Agus.
Agus mengatakan masyarakat yang tinggal dekat dengan area yang terkontaminasi debu batu bara memiliki risiko yang sama. Umumnya, seseorang baru menyadari terkena black lung setelah 10 tahun terpapar debu batu bara. Gejala yang muncul antara lain sesak napas dan terkadang batuk dengan dahak berwarna hitam.
Selain black lung, kata Agus, debu batu bara dapat memicu penyakit pernapasan lain, seperti infeksi saluran pernapasan, bronkhitis kronis, hingga penyakit paru obstruktif kronis. “Partikel-partikel debu batu bara itu yang bikin penyakit,” ujar Agus.
Warga Marunda, Khasan Hunang, menunjukkan debu batubara yang mengambang di kolam renangnya di kawasan Cilincing, Jakarta Utara, Selasa 23 Juli 2019. TEMPO/M Julnis Firmansyah
Kepala Suku Dinas Kesehatan Jakarta Utara, Yudi Dimyati, menjelaskan sampai saat ini pihaknya belum menemukan kasus black lung di kawasan Marunda atau Cilincing. Penyakit yang paling banyak ditemukan adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). “Faktor nomor satu yang menyebabkan ISPA itu karena lingkungan (debu), bukan karena penularan,” ujar Yudi.
Direktur Utama PT KCN Widodo Setiadi tak mengelak debu hitam yang menyebar itu berasal dari bongkar-muat batu baru di pelabuhannya. Karena itu, dia bisa memahami keluhan yang disampaikan masyarakat.
Manajemen tengah menyiapkan sejumlah langkah guna mengatasi penyebaran debu. Namun rencana itu tidak bisa segera dijalankan karena perusahaan masih menghadapi persoalan hukum dan masih berfokus untuk menyelesaikannya.
Menurut Widodo, persoalan hukum yang dia maksud adalah sengketa antara PT KCN dan PT Karya Berikat Nusantara (KBN). Persoalan ini sudah sampai ke meja hijau. “Jadi, upaya untuk mengurangi polusi debu belum sempat dijalankan,” kata dia.
Soal kompensasi terhadap polusi debu yang dialami masyarakat, Widodo mengklaim sudah memberikan uang kompensasi kepada warga sekitar melalui perangkat RT dan RW. Uang tersebut akan digunakan untuk membangun fasilitas umum, seperti pembuatan tanggul atau fasilitas pencegahan debu. Namun ia mengaku belum melihat hasil pembangunan fasilitas tersebut.
Widodo telah menyiapkan sejumlah rencana untuk mengatasi masalah itu. “Kami bekerja sama dengan IPB (Institut Pertanian Bogor) untuk membentuk mini forest di sekitar pelabuhan yang berfungsi menjaring debu-debu tersebut,” ujar Widodo, Selasa lalu.
Selain membentuk hutan mini, kata Widodo, perusahaan berencana membuat jaring basah yang mengelilingi area bongkar-muat. Jaring itu nanti dialiri air untuk memerangkap partikel debu yang terbang. “Metode ini masih dalam tahap perencanaan,” kata dia.
Di sisi lain, Widodo juga meminta pemerintah dan masyarakat turut membantu mengurangi polusi debu batu bara dengan menanam pohon di sekitar permukiman. “Mesti ada dua penangkap debu, di sini dan di sana (permukiman),” ujar dia. “Kalau sekarang, kami single fighter.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini