Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Potret dari Perbatasan Cina

SEJAK Presiden Xin Jinping mendeklarasikan kerja sama Belt and Road Initiative atau dikenal dengan Jalan Sutra Baru pada 2013, Cina membuka ekonomi negaranya agar dapat terintegrasi dengan perekonomian global. Belt and Road Initiative menghubungkan Cina dengan puluhan negara lain di Asia dan Eropa yang bertujuan menguatkan perdagangan lintas negara dan kerja sama ekonomi. Di dalam negeri, Cina juga kian bergegas mendukung Belt and Road Initiative. Pembangunan industri mesin, e-commerce, transportasi, pertanian, dan edukasi terus digenjot. Pembangunan juga berderap hingga kota-kota di wilayah perbatasan Cina, seperti Daqing, Harbin, dan Mongolia Dalam.

19 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suasana Daqing, salah satu kota di Perbatasan Cina. -sungdokorea.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAQING. Kota itu berubah. Dari wilayah yang sekadar tempat perburuan suku Dorbet Oirat karena kontur tanahnya yang basah, Daqing kini menjelma menjadi salah satu kota industri di Cina selain Shanghai, Chengdu, dan Harbin. Ladang minyak penyebabnya.

Sejak ladang minyak ditemukan pada 1959, Daqing dipersiapkan sebagai kota industri internasional. Temuan ladang minyak membuat berbagai industri lain berinvestasi di kota itu. Daqing OilField Ltd, perusahaan minyak yang didirikan pemerintah Cina, bahkan kemudian menjadi yang terbesar di Cina dan keempat di dunia. ”Kami menunggu negara lain bekerja sama di sini membentuk komunitas internasional,” kata Wakil Wali Kota Daqing Shue Heun.

Namun, sebagai kota industri, kesan yang tertangkap di mata saya, Daqing adalah kota yang dingin. Lalu lintas pun sepi. Mal yang ada tidak terlalu megah. Penghuni Daqing kebanyakan pekerja dari luar kota yang tinggal di mes dengan gaji Rp 6-15 juta per bulan.

Maket tata ruang kota Daqing. -TEMPO/Istiqomatul Hayati

Pada pengujung Agustus lalu, saya bersama sejumlah wartawan dari Indonesia dan negara-negara Asia diundang Kementerian Luar Negeri Cina untuk mengunjungi negeri itu. Selain berkunjung ke Daqing, setelah dari Beijing, kami berkunjung ke Harbin dan Mongolia Dalam—dua kota di perbatasan Cina dengan Rusia dan Mongolia. Selama sepuluh hari, kami diajak melihat kemajuan pembangunan yang pesat di sana, terutama setelah Cina menggulirkan perjanjian kerja sama Belt and Road Initiative (BRI) pada 2013.

Belt and Road Initiative merupakan strategi politik luar negeri Presiden Cina Xi Jinping untuk membuka ekonomi negaranya agar dapat terintegrasi dengan perekonomian global. BRI menghubungkan Cina dengan 65 negara lain yang bertujuan menguatkan perdagangan lintas negara dan kerja sama ekonomi. Fokus utamanya adalah kerja sama di bidang ekonomi. Sejak BRI digulirkan, Cina bergegas membangun infrastruktur negerinya. Industri mesin, e-commerce, transportasi, pertanian, dan edukasi digenjot.

Di Daqing, selain industri minyak, industri teknologi pertanian, e-commerce, dan teknologi informasi berjejalan. Mereka mendiami kawasan blok sebanyak 25 bangunan di lahan seluas 6.100 meter persegi yang menaungi 750 perusahaan, dari e-commerce, pertanian, permainan edukatif anak, hingga teknologi informasi. Bahkan produsen mobil Volvo dari Swedia membangun pabrik yang melayani pasar ekspor ke seluruh dunia. ”Tahun lalu pabrikan Volvo di Daqing menjual 25 ribu unit ke seluruh dunia di luar kebutuhan dalam negeri,” ujar Maggie He, Manajer Humas Volvo Asia-Pasifik, kepada Tempo.

Tapi, ya itu, kota ini sungguh terasa dingin. Sepi. Kafe pun tak banyak....

Arsitektur bergaya Eropa di Kota Harbin. -TEMPO/Istiqomatul Hayati

DARI Daqing, kami kemudian ke Harbin. Kota terbesar di wilayah timur laut di Cina ini berpenduduk sekitar 10,6 juta jiwa dan termasuk delapan kota dengan populasi terbanyak di Cina. Kota dengan luas 53 ribu kilometer persegi ini dibangun pada 1898 bersamaan dengan pembangunan Chinese Eastern Railway oleh Kekaisaran Rusia.

Walhasil, generasi pertama yang berdiam di Harbin adalah para pekerja Rusia yang membangun jalur kereta api itu. -Arsitektur bangunan di sana banyak bercorak Eropa Abad Pertengahan. Kesan ini tertangkap saat kami diberi waktu me-nik--mati Zhongyang Pedestrian Street, yang men-jadi salah satu pusat bisnis di Harbin. Di kanan-kiri ada bangunan kuno berarsitektur Eropa. Deretan toko menjual sosis babi, restoran, baju, hingga suvenir dari Harbin.

Bangunan lain yang bercorak Eropa Abad Pertengahan adalah Saint Sophia Cathedral, bekas gereja Ortodoks Rusia yang dibangun pada 1907 dan kini difungsikan sebagai museum. Saat itu Saint Sophia, yang menjadi landmark Harbin, tengah direstorasi. Seluruh bangunannya ditutup terpal.

Harbin juga pernah menjadi pangkalan militer Rusia, terutama saat berhadapan dengan Jepang. Setelah Rusia kalah, Harbin justru didatangi imigran dari Amerika Serikat, Prancis, dan Jerman. Adapun orang kaya Cina ramai-ramai mendirikan pabrik bir dan tekstil. Budaya Eropa makin melekat di kawasan ini. Tak mengherankan jika Harbin sempat menjadi pusat mode di Cina sebelum pindah ke Shanghai.

Sebagai kota modern dan internasional sejak dilahirkan, mobil yang berseliweran di Harbin berasal dari pabrikan Eropa dan Cina, seperti halnya di Beijing. Amat sedikit mobil keluaran pabrikan Jepang atau Korea. Lalu lintas Harbin cukup ramai walau tak semacet Beijing.

Di sini, kami berkunjung ke Hao International Logistics, perusahaan ekspedisi yang menawarkan pengiriman barang, terutama mobil Volvo, dari Harbin ke Eropa dengan kereta api. Terobosan pengiriman jalur darat ini dimulai pada pertengahan 2015 atau hampir dua tahun setelah perjanjian Belt and Road Initiative diperkenalkan. Dari Harbin, kereta akan melaju melewati Rusia, Polandia, hingga ke Hamburg, Jerman, yang berjarak hampir 10 ribu kilometer ditempuh dalam 15 hari saja.

Saat di Harbin, kami sempat bermain-main di Harbin International Ice and Snow Sculpture. Ini adalah taman es yang dibangun pada 1999. Taman es dan salju in-door ini menempati 6.000 meter persegi dari total luas Harbin Ice and Snow World seluas 750 ribu meter persegi dan menjadi taman es terbesar di dunia. Setiap musim dingin tiba, tempat ini selalu menjadi tujuan pertama wisatawan dari dalam dan luar negeri. Bahkan tahun lalu, saat festival dan kompetisi patung es ini digelar, taman es itu bisa menggaet 18 juta pengunjung dan mendapatkan revenue 28,7 miliar yuan atau setara dengan US$ 4,4 miliar.

Proses perakitan mobil di pabrik Volvo, Daqing. -TEMPO/Istiqomatul Hayati

Kami diajak mengelilingi deretan patung es seperti Saint Sophia Cathedral, rumah salju, dinosaurus, panda, dan perosotan. Suhu di dalam minus 5 derajat. Ini belum apa-apa dibandingkan dengan suhu Kota Harbin saat musim dingin. ”Bisa mencapai minus 18 derajat Celsius,” kata Li Zhigong, konselor di Departemen Urusan Asia Kementerian Luar Negeri Cina, yang selalu kami panggil dengan Mister Li.

PERJALANAN kami ke daerah perbatasan selanjutnya adalah Mongolia Dalam, yang berbatasan langsung dengan Mongolia dan Rusia. Ini yang menarik. Di daerah otonomi khusus ini, warganya menggunakan bahasa resmi Mandarin dan Mongolia. Itu karena ada sebagian besar penduduk asli Mongolia yang berdiam di sana dan membawa budaya lokal mereka.

Selain di Hohhot yang ramai dan menjadi ibu kota Mongolia Dalam, daerah lain merupakan kawasan perdesaan yang benar-benar memanjakan mata. Dalam tiga hari kunjungan di Mongolia Dalam, kami baru benar-benar menikmati saat berada di Kota Ulanqab.

Saint Sophia Cathedral di Harbin. -TEMPO/Istiqomatul Hayati

Di kota itu terdapat dataran tinggi Huitengxile Grassland atau taman bunga kuning seluas 1.800 meter persegi. Kami sempat berkunjung ke sana, mengelilingi taman dengan naik kereta, gondola, kereta kuda, kursi layang, dan berakhir dengan jalan kaki menanjak kembali ke dekat pintu masuk untuk makan malam.

Karena berada di dataran tinggi, hawa dingin benar-benar menusuk tulang saat malam hari. ”Ini adalah daerah paling dingin di Cina. Saat musim dingin bisa mencapai minus 31 derajat Celsius,” ucap Peter Sung, penerjemah kami selama di Mongolia Dalam.

Saat makan malam, kami dijamu dengan pesta domba guling dan sop berkaldu lemak domba serta susu untuk menghangatkan badan. Kami dihibur oleh penduduk asli Mongolia yang menyanyikan lagu daerah bersama Putchia (sebenarnya saya selalu gagal mengeja namanya), wartawan dari Mongolia. Berkunjung ke Mongolia Dalam menjadi surga bagi dua wartawan Mongolia yang tidak bisa berbahasa Inggris.

Ulanqab, sekitar 200 kilometer dari Beijing, bisa menjadi kota untuk tetirah. Dengan luas 54 ribu kilometer persegi, penduduknya hanya sekitar 2 juta orang. Jalanannya sungguh lengang, adem, dan tenang. Tak banyak mobil atau kendaraan lain berseliweran di sini.

Meski di sana tenang dan terkesan berjalan melambat, industri teknologi informasi bergerak cepat. Huawei mendukung pemerintah Cina membangun smart city di kota ini. ”Kami juga menyuplai barang elektronik karena musim dingin di sini sangat dingin,” kata Andy Lin, General Manager Cloud Business Department Huawei Ltd. Huawei juga mendukung Alibaba, yang saat ini tengah mendirikan pusat data di kota itu.

KEMAJUAN Cina dalam infrastruktur dan teknologi terasa di mana-mana, bahkan sampai sudut wilayah terpencil. Tapi, masalahnya, kemajuan itu masih belum diikuti bidang lain. Misalnya dalam penguasaan bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional. Di Beijing saja, hanya sedikit orang yang kami temui bisa menguasai bahasa Inggris untuk percakapan umum. Di Kota Terlarang—di kawasan turistik tersohor—misalnya, tak banyak warga yang bisa memahami bahasa Inggris, bahkan untuk bahasa Inggris ala kadarnya.

Tak hanya di Beijing, masalah bahasa itu saya temui saat di Hotel Howard Johnson Domando Plaza di Ulanqab, Mongolia Dalam. Petugas hotel bintang lima itu pun tak banyak yang menguasai bahasa Inggris. Hanya dua orang dari enam anggota staf di bagian resepsionis yang bisa berbahasa Inggris.

Suasana Huitengxile Grassland atau Taman Bunga Kuning di Kota Ulanqab, Mongolia dalam. -TEMPO/Istiqomatul Hayati

Lalu dalam soal kebersihan. Pemerintah Cina perlu membenahi urusan kebersihan toilet dan kebiasaan masyarakatnya. Selama kunjungan ke sana, saya masih menemui banyak toilet yang sangat kotor. Di sebuah restoran kuno yang cukup mewah di Harbin, ibu kota Provinsi Heilongjiang, pelayan perempuan meninggalkan jejak tak elok di kloset. Salah satu toilet di Bandar Udara Hohhot, Mongolia Dalam, dibiarkan kotor tanpa seorang pun petugas yang tergerak membersihkannya. Padahal saat itu ramai orang antre.

Kondisi seperti itu boleh dibilang menunjukkan ketidaksiapan Cina menjadi negara yang membuka diri kepada negara lain, termasuk Indonesia, dalam jalinan kerja sama Belt and Road Initiative. Apalagi pemerintah Cina menargetkan kunjungan wisata dari negara-negara berjejaring BRI pada 1996-2022 hingga 85 juta orang.

ISTIQOMATUL HAYATI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus