Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERPIKAT kepada iming-iming potongan harga dan uang kembali dari hasil belanja, Risnatya mengajak seorang kawan untuk membuat akun dompet digital OVO di mal Gandaria City, Jakarta Selatan, Rabu pekan lalu. Perempuan 25 tahun ini sebetulnya telah menjadi pengguna aplikasi pembayaran itu sejak akhir 2017. Risna kerap membayar dengan uang elektronik untuk mendapatkan diskon atau ketika dompetnya kosong. ”Terkadang memakai poin tanpa mengeluarkan uang. Saya sering jajan makanan. Lumayan,” katanya saat ditemui di pusat belanja di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Berbekal aplikasi pembayaran, Risna tak perlu selalu mengisi saldo di dompet digitalnya. OVO jorjoran memberikan poin atas setiap transaksi yang dilakukan. Satu poin bernilai satu rupiah. Artinya, makin besar nilai belanja yang dikeluarkan, makin besar pengguna memperoleh poin. Jika berbelanja dengan OVO Cash—sebutan untuk uang digital OVO—konsumen juga berhak mendapatkan uang kembali, yang secara otomatis menambah saldo dompet digital. Nilainya hingga ratusan ribu rupiah.
Belakangan, Risna tergiur menaikkan keanggotaannya dari OVO Club menjadi Premier. Keuntungannya, ia bisa mengisi ulang uang elektronik hingga Rp 10 juta serta bebas biaya transfer ke sesama akun OVO dan ke semua bank. Itu sebabnya, Risna mengajak kawannya membuat akun OVO Premier agar bisa mendapat keuntungan bersama. ”Satu KTP cuma bisa daftar satu akun,” ujar Risna. ”Padahal diskonnya banyak.”
Berbagai transaksi ini bisa dilakukan dengan memindai kode matriks menggunakan kamera, atau dikenal dengan sistem kode respons cepat (QR code). ”Praktis tinggal scan di kasir,” kata Risna. Derasnya penetrasi pasar pembayaran ini mendorong Bank Indonesia merancang standardisasi QR code agar aplikasi yang dikeluarkan penyelenggara pembayaran terhubung satu sama lain.
Sejak diluncurkan pada medio 2017, OVO mengklaim telah terpasang di 60 juta telepon seluler. Di aplikasi Google Play, jumlah pengunduh aplikasi buatan PT Visionet Internasional ini hanya tertulis lebih dari 1 juta kali. Selain untuk berbelanja, OVO bisa dipakai buat transfer ke rekening bank atau sesama akun OVO, tarik dana, pembayaran tagihan listrik, bea langganan TV kabel, asuransi, hingga iuran lingkungan.
Tak hanya di retail, pengguna OVO dapat menggunakan aplikasi ini di restoran, minimarket, warung atau gerai tradisional, hingga di layanan transportasi. ”Kami ingin menjadi dompet utama warga Indonesia yang mempermudah mereka ber-aktivitas dari bangun sampai tidur lagi,” kata Presiden Direktur OVO Adrian Suherman, Kamis pekan lalu. Ia mengklaim OVO berhasil menjadi dompet digital terbesar di Indonesia dari total volume pembayaran transaksi nontunai.
DI mal Gandaria City, banner bergambar QR code milik OVO terpajang hampir di setiap toko. Pusat belanja ini bukan mal milik Grup Lippo, investor penyokong OVO. Namun, menurut juru bicara OVO, Ferdyana Lie, perusahaan ini menjalin kerja sama dengan 136 gerai di mal milik Grup Pakuwon itu sejak pertengahan 2018.
Kerja sama ini rupanya menyulitkan gerai dan toko lain yang ingin memasarkan promosi dari aplikasi pembayaran lain. Seorang kasir gerai makanan yang terletak satu tingkat di atas lantai dasar harus menawarkan promo dari Go-Pay setiap kali calon pembeli melintas di depan toko. ”Silakan beli puding dan es, ada cashback 40 persen dengan bayar pakai Go-Pay,” ujarnya, berteriak.
Promo yang disediakan Go-Pay hanya tertulis di selembar kertas ukuran A4 yang diselipkan ke dalam papan akrilik dan diletakkan di atas kaca. Si kasir menyebutkan, sejak OVO gencar melakukan promosi di mal ini, gerainya harus mengurangi alat peraga iklan dari aplikasi pembayaran lain. ”Dulu kami pasang banner Go-Pay, tapi kemudian dilarang. Hanya boleh ukuran kecil.”
Sama seperti OVO, promo Go-Pay berlaku untuk transaksi dengan fitur QR code. Petugas akan meng-input data melalui mesin seperti electronic data capture (EDC). Lalu mesin akan mencetak kertas bergambar kode yang harus dipindai dengan kamera ponsel. Untuk autentifikasi, sebuah perintah permintaan nomor identifikasi personal (PIN) akan masuk ke ponsel pembeli. Setelah PIN di-input, transaksi selesai. Pembeli bisa mendapatkan uang kembali, yang langsung menambah saldo dompet digital.
Pembayaran melalui QR code. -TEMPO/Ratih Purnama
Bagi sejumlah mitra, penggunaan aplikasi pembayaran bisa menggenjot pendapatan. Itu sebabnya Pablo—produsen roti keju asal Jepang—di Gandaria City menawarkan sistem pembayaran dengan tiga aplikasi sekaligus: Tcash, OVO, dan Go-Pay. Ketiganya dapat dilakukan dengan pemindaian QR code. Menurut Hana, kasir Pablo, transaksi dengan Go-Pay paling diminati. ”Sekarang ramai karena cashback-nya terbesar,” katanya.
Hana mengatakan promosi yang ditawarkan setiap aplikasi hanya berbeda tipis. OVO, misalnya, menawarkan uang kembali 10 persen dengan maksimal uang kembali Rp 50 ribu atau lebih besar dibanding Go-Pay dengan tawaran uang kembali paling banyak Rp 20 ribu. ”Untuk sekarang, Tcash sepi karena sedang tak ada promo.” Kasir tetap mempersilakan konsumen memilih sarana pembayaran, sesuai dengan aplikasi yang dimiliki.
Di resto Baso by Mister Baso di mal yang sama, promo Go-Pay juga menyedot banyak pembeli. Resto ini menawarkan nasi goreng oriental atau bakso komplet hanya Rp 5.775 per porsi, dari harga normal sekitar Rp 30 ribu per porsi. Asisten Manajer Baso, Kristofa, mengatakan, sejak promo diluncurkan pada awal Oktober, tokonya diserbu pelanggan. Sebelumnya, Baso menawarkan uang kembali 10 persen dengan pembayaran melalui OVO. ”Kami membiarkan pelanggan memilih,” ucap Kristofa.
PERSAINGAN bisnis perusahaan aplikasi pembayaran memanas sejak awal tahun ini. Tak hanya beradu fitur layanan dalam dompet digital, mereka juga bersaing menghadirkan teknologi QR code untuk mempermudah transaksi. Saat ini baru 12 perusahaan aplikasi yang mengantongi izin penerapan kode respons cepat dari Bank Indonesia.
Februari lalu, Go-Jek sempat menghentikan layanan pembayaran melalui QR code setelah beroperasi satu bulan. Fitur pemindaian QR code di aplikasi Go-Jek ini kembali aktif setelah mereka mengantongi izin Bank Indonesia tiga bulan kemudian. Layanan QR code tersedia dalam dompet digital Go-Pay, yang juga melayani pembayaran untuk tagihan listrik, asuransi, kredit, dan pembelian pulsa. Go-Pay bahkan bisa digunakan di luar aplikasi Go-Jek, yakni untuk pembayaran tiket bus Trans Semarang.
Direktur Pelaksana Go-Pay Budi Gandasoebrata mengatakan potensi pasar pembayaran digital masih cukup besar. Dengan penetrasi penggunaan telepon seluler sebesar 67 persen, aplikasi Go-Jek telah diunduh lebih dari 106 juta kali di Indonesia. ”Setengah transaksi Go-Jek telah menggunakan Go-Pay, sehingga potensi yang bisa digarap masih sangat besar,” kata Budi, -Jumat pekan lalu.
Untuk memperdalam penetrasi pembayaran digital, Go-Pay tak lupa merangkul lebih dari 200 ribu merchant, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah. Manajemen tak hanya menyediakan infrastruktur digital bagi para mitra. ”Di tahap awal, kami turun tangan mengedukasi mereka yang pertama kali menerima pembayaran nontunai,” ujar Budi.
Presiden Direktur OVO Adrian Suherman mengatakan potensi bisnis transaksi dengan QR code menjadi tren di Tanah Air lantaran penetrasi pembayaran nontunai di Indonesia masih kurang dari 10 persen. Lebih dari 90 persen transaksi keuangan saat ini dilakukan secara tunai. Ke depan, transaksi dengan QR code dinilai akan mempermudah pembayaran seiring dengan makin banyaknya konsumen yang terhubung dengan Internet melalui ponsel pintar. ”Teknologi ini cocok untuk segala jenis bisnis,” kata Adrian.
Itu sebabnya OVO gencar memperluas jaringannya. Mereka bekerja sama dengan mal, supermarket, kedai kopi, bioskop, operator parkir, hingga jaringan rumah sakit. OVO telah menggandeng Bank Mandiri, Alfamart, Grab, Moka, dan Kudo sebagai mitra yang melayani isi ulang saldo tanpa biaya administrasi.
Kemitraan dengan Grab, yang telah diunduh lebih dari 50 juta pengguna, turut mendongkrak transaksi OVO. ”Karena basis pengguna Grab yang besar sehingga OVO berhasil menjadi dompet digital terbesar di Indonesia,” ucap Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata.
Tak puas dengan itu, OVO menjaring 9.000 usaha mikro, kecil, dan menengah untuk menjadi mitra yang melayani transaksi melalui QR code. Targetnya: meningkatkan penetrasi penggunaan teknologi oleh UMKM, yang saat ini kurang dari 8 persen.
Kini warung kelontong yang semula tak terjangkau pembayaran dengan mesin EDC dapat melayani dengan pembayaran nontunai. OVO menargetkan QR code tersedia di 100 ribu UMKM pada akhir tahun ini. Adrian Suherman juga memperluas layanan OVO, yakni untuk pinjaman, asuransi, hingga investasi di pasar uang.
Layanan uang digital diperkirakan makin marak. Selain OVO dan Go-Pay, Bank Indonesia tengah menguji coba fitur QR code 10 perusahaan aplikasi lain, di antaranya Tcash milik Telkomsel, yap! Milik Bank Negara Indonesia, dan Sakuku milik Bank Central Asia.
Bank Indonesia menargetkan pembentukan QR code bersama, yang dapat digunakan oleh berbagai aplikasi, rampung pada awal 2019. ”Semua transaksi dibuat standar,” kata Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Onny Widjanarko. Tujuannya: menekan risiko kecurangan dan melindungi nasabah tanpa membatasi inovasi penyelenggara.
PUTRI ADITYOWATI, KHAIRUL ANAM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo