Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

PR buat pengurus kadin

Kepemimpinan Aburizal disambut dengan hati-hati. kenapa janji merangkul konglomerat tak terpenuhi?

22 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ROSITA NOOR, pengusaha kecil yang kini anggota Majelis Pertimbangan Kadin. Kadin mendatang diharapkan lebih siap menghadapi tantangan dan mengerti kehendak pelaku ekonomi internasional. Ia harus punya bobot intelektual yang mampu bergaul dengan berbagai pihak. Ketuanya diharapkan mampu membawa bendera Indonesia menghadapi counterpart Amerika, Jepang, dan Masyarakat Eropa yang menguasai 70% pasaran dunia. Ical memang pengusaha yang berhasil. Tapi harus disadari dia punya banyak homework untuk perusahaannya. Sejauh mana Ical bisa terlibat di Kadin, sementara ia orang kunci pada Bakrie Brothers? Sedangkan A.R. Ramly dianggap mampu menghadapi tantangan itu. Ia sudah terbiasa menghadapi sikap pengusaha Amerika, misalnya. Sehingga kalau ia terpilih, dukungan pemerintah buat Kadin akan lebih gampang. Masalahnya, sudah terbentuk opini: Ramly itu titipan. Agaknya sudah jadi tanda-tanda zaman, begitu pemerintah menunjuk si A, langsung ada minus point, tanpa melihat ia mampu atau tidak. Sementara pengusaha swasta sebagai anggota terbesar Kadin berpikir, kapan lagi boleh memilih ketuanya sendiri? Lalu terpilihlah Ical. Yang terbentuk sekarang, katakanlah, kabinet Kadin koalisi Probo-Ical. Jangan salah. Justru posisi kunci dipegang pengikut Probo. Dan ini bisa jadi bumerang. Kita masih ingat, dalam pidato pembukaan Munas, Pak Harto (Presiden RI, Red.) bilang mudah-mudahan Kadin bisa memilih pemimpin yang mampu merangkul seluruh kekuatan ekonomi. Jelas di sini, apa yang tersirat. Saya menduga, dalam jangka panjang, hanya beberapa departemen saja yang secara suka rela membawa serta Kadin dalam negosiasi bisnis. Jadi, doakan saja, mudah-mudahan Kadin kali ini mampu merangkul pemerintah agar betul-betul dianggap mitra. Masalah lain, soal konglomerat. Tadinya ada pemikiran, mereka didudukkan pada posisi wakil ketua. Ical sendiri pada waktu kampanye bilang, akan merangkul mereka. Tapi, kenapa janji itu tidak tergambar dalam komposisi pengurus harian sekarang? Cuma ada satu konglomerat di kompartemen dana sarana. Ini justru memperkuat gambaran bahwa nonpri cuma diharapkan uangnya saja. Keuntungan Kadin kali ini hanyalah bahwa pengurus dipilih dari bawah. Tapi masih tanda tanya, apakah ia mampu merangkul pemerintah dan bisa menggandeng konglomerat." SUKAMDANI SAHID GITOSARDJONO, pengusaha hotel, pendiri Kadin, mantan Ketua PHRI, bekas Ketua MPI, dan anggota DPA (1988-1993). Kadin punya potensi besar menggerakkan pembangunan. Agar ekonomi tumbuh 6,2%, diharapkan swasta menanggung 73% dari total investasi pembangunan yang berjumlah Rp 60 triliun. Ini tugas besar. Karena itu, pengurus Kadin harus bisa mengajak seluruh dunia usaha untuk bergabung. Agar pengusaha suka jadi anggota, Kadin harus punya daya tarik. Ia harus siap melayani kepentingan dunia usaha. Ini bisa dilakukan dengan bantuan pemerintah. Katakanlah, dengan melimpahkan sebagian tugas publik, yang selama ini dikerjakan pemerintah, kepada Kadin. Misalnya, registrasi pengusaha, juga pendataan pajak. Dengan begini, otomatis semua pengusaha bisa terjaring. Tidak seperti sekarang. Kadin cuma tukang mengeluarkan surat keterangan asal barang. Ini tidak mengikat. Tanpa surat Kadin pun, bisa jalan terus. Kadin juga diharapkan dapat memperkecil kesenjangan antara konglomerat dan pengusaha kecil dan koperasi. Padahal Kadin sendiri tak punya wewenang apa-apa. Ia cuma bisa mengusulkan kepada pemerintah. Karena itu, pengurus dapat memperjuangkan pemihakan ini, dengan minta senjata berupa kebijakan diskriminatif yang menguntungkan pengusaha kecil seperti pada Pelita III dulu. Soal tender, misalnya. Jika pengusaha lemah memasang harga 10% lebih mahal, maka tender akan diberikan kepada mereka. Kalau mereka tak punya uang, dikasih kredit dari bank pemerintah. Ada KIK, KMK, KMKP. Semuanya tanpa agunan. Bunganya pun rendah. Tapi, setelah serentetan paket deregulasi, diskriminasi ini dihapus. Yang tinggal cuma KUK, yang jatuhnya bukan pada pengusaha kecil, tapi malah direkayasa oleh saudara-saudara kita yang pintar-pintar bisnis itu, untuk menggemukkan diri sendiri. Akibatnya, deregulasi yang mengarah pada liberalisasi ini justru seperti memberikan jalan tol kepada saudara-saudara kita yang sudah punya roda empat untuk terus melaju. Sedangkan yang kecil, yang tadinya sudah punya bemo dan bajaj, tak bisa masuk jalan tol. Kalau sial, mereka malah anjlok, harus menukar bemonya dengan ojek. Dan yang dulunya punya ojek, makin terperosok. Mereka harus ganti sepeda dan terpaksa masuk jalur lambat. Para pengusaha kecil dan koperasi makin ketinggalan. Lha, ini namanya deregulasi kebablasen (maksudnya, terlanjur, Red.). Bagaimana agar masukan kita diterima pemerintah? Ini tergantung seberapa dekat hubungan Kadin dengan pemerintah. Seperti suami-istri saja, kalau sudah sreg, kan enak. Jadi tantangan Kadin adalah bagaimana ia dapat merangkul pemerintah. Yang tak boleh ketinggalan, merangkul saudara-saudara kita nonpri yang pintar memanfaatkan peluang bisnis itu. Naluri dagang mereka tajam, hubungan pasarnya luas. Karena itu, mereka harus kita ajak agar turut memberikan pencerahan kepada saudara kita yang masih gelap penglihatan bisnisnya. Jangan malah dimusuhi, kita sendiri yang rugi nanti." SOFYAN WANANDI, bos Gemala Grup. Selama ini dikenal sebagai "juru bicara" kelompok nonpri, yang sempat dituduh sebagai tak menyerahkan formulir kesediaan menjadi anggota Kadin. Saya tahu, banyak teman-teman yang sudah mendaftarkan diri. Tapi entah kenapa, mereka tak lolos seleksi. Bagaimana screening-nya hingga cuma ada daftar 200 nama pengusaha, (yang nonprinya cuma seorang, Red.) itu saya tak mengerti. Tak pernah jelas. Yang saya tahu, teman-teman sudah diberi formulir, sudah mendaftar, tapi setelah itu formulirnya hilang entah ke mana. Padahal, sejak dua tahun lalu, saya bersama teman-teman sudah menyatakan keinginan agar konglomerat diikutsertakan. Kami cuma punya iktikad baik: untuk persatuan dan bersama-sama memajukan pengusaha kecil. Bukan untuk cari duit. Kalau itu sih, tak perlu masuk Kadin juga bisa. Tapi kalau memang dianggap belum waktunya atau apa, ya terserah. Kami toh tak biasa meminta-minta posisi. Cuma sayang. Saya tak mengerti apa pertimbangan Munas sehingga kami tak dimasukkan. Dulu, waktu kandidat-kandidat itu kampanye, semuanya setuju memasukkan konglomerat dalam pengurus harian sebagai salah seorang wakil ketua. Tapi kok, ternyata hasilnya tak ada. Cuma ada satu, itu pun cuma bagian cari dana saja. Hahahaha. Tak betul kalau dibilang konglomerat menginginkan Ramly. Tak ada yang mengusulkan dia. Lagi pula, bagaimana mungkin kami menghendaki dia, kalau diundang pun kami tidak. Terus terang, yang kita inginkan hanya bagaimana menyusun kerja sama hingga konglomerat betul-betul terlibat. Saya kira kita tak perlu meruncingkan persoalan. Kita beri saja kesempatan bagi Aburizal untuk bekerja. Apa yang bisa kita ikut, ya ikut. Kalau tidak, ya kita di bidang masing-masing sajalah."Dwi S. Irawanto, Max Wangkar, Bambang Aji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum