HOTEL Danau Toba Internasional (HDTI), Medan, tiba-tiba berubah menjadi arena pertarungan massal. Dalam peristiwa yang menghebohkan dua pekan lalu itu, tujuh dari sembilan ahli waris mendiang T.D. Pardede sedang duduk-duduk di lobi. Siang sebelumnya, dipimpin si sulung Sariaty Pardede, mereka merebut dan menguasai hotel milik keluarga itu. "Tujuh pendekar" lalu mengusir manajemen lama yang dipimpin saudara kandung mereka sendiri, Jhonny Pardede. Tapi, hanya beberapa jam setelah itu, Jhonny melancarkan serangan balik. Dengan puluhan pengawal, anak lelaki bungsu Pardede itu memburu saudara-saudaranya ke berbagai penjuru hotel. Anak lelaki Sariaty, yang sedang makan, dihajar hingga babak belur. Bersenjatakan stik bisbol, "kelompok tujuh" memukul balik pasukan Jhonny. Ratusan pengunjung hotel diusir, dan kuncinya disita. Suasana kacau-balau. Listrik tiba-tiba padam. Untung, polisi cepat turun tangan. Tapi empat orang terluka, hingga dibawa ke rumah sakit. Sejak Pak Ketua begitu T.D. Pardede biasa dipanggil meninggal dua tahun lalu, keluarga yang mewarisi 26 perusahaan, dari hotel, sekolah, rumah sakit, tekstil, kebun, sampai perbankan, ini tak henti-hentinya bertikai. Setiap sengketa biasanya dilimpahkan ke pengadilan. Dan baru kali inilah bentrokan fisik terjadi antara sesama ahli waris Pardede itu. Memang, bisnis keluarga bisa ambruk kalau tak ditangani pandai-pandai. Tanda-tanda ketidakberesan sudah muncul hanya sepekan setelah Pak Ketua meninggal. Anak-anaknya berselisih soal siapa yang berhak menjadi ahli waris. Dari sengketa ini, berkembang perselisihan lainnya. Kini belasan kasus keluarga Pardede menumpuk di pengadilan. Sementara itu, sebagian ahli waris Pardede kecewa terhadap Jhonny, Presiden Komisaris T.D. Pardede Holding Company, terutama dalam soal HDTI. Di sanalah, kata Emmy Pardede dari kelompok tujuh, tersimpan sederet "dosa" Jhonny. Pertama, Jhonny mendirikan biro perjalanan yang dianggap mendompleng HDTI. Padahal, usaha pribadi dalam bisnis keluarga diharamkan wasiat Pak Ketua. Selain itu, sudah setahun ini para pemegang saham hotel, yaitu kesembilan anak Pardede, tak lagi digaji. Padahal, berdasarkan perjanjian yang dibuat ketika Jhonny diangkat sebagai presiden komisaris dua tahun lalu, semua akan digaji Rp 11 juta per bulan, di samping beasiswa pendidikan US$ 1.000. Masih ada soal lain yang mengganjal. Kelompok tujuh mengaku, uang dividen tahun ini tak dibagikan. Bahkan, berapa besar laba perusahaan, mereka tak boleh tahu. Rapat umum pemegang saham tak ada, dan mereka tak pernah dikirimi laporan keuangan. Mengintip pembukuan pun dilarang. Kedudukan mereka sebagai pemegang saham seperti tak dihargai Jhonny. Apalagi, adik bungsu mereka, Indriany Pardede, dipecat sebagai pengawas pembukuan. Di atas semua itu, Jhonny dinilai boros. Pemilik klub sepak bola Harimau Tapanuli itu dituding sering menghambur-hamburkan uang untuk kegiatan olahraga. Menurut Emmy, Jhonny pernah menanggung semua tiket, uang makan, dan penginapan bagi kesebelasan luar negeri yang didatangkannya atas biaya HDTI. Emmy menyatakan, kekecewaan kian meningkat terutama setelah Pengadilan Negeri Medan memutuskan pengalihkan jabatan Presiden Komisaris HDTI dari Jhonny kepada Sariaty. Mereka ingin mengeksekusi keputusan pengadilan itu, tapi hanya tujuh pemegang saham yang hadir. Dua lainnya, Jhonny dan Rudolp, absen tanpa alasan. Rapat pemegang saham pun diundur hingga pekan ini. Buntutnya, terjadi keributan seperti tertera pada awal cerita ini. Kelompok tujuh menuntut agar hotel bintang empat itu dikelola pihak ketiga saja. Kalau tidak, "Sekalian ditutup, daripada kami tak pernah menerima uang sepeser pun," ujar Emmy. Tapi Jhonny menolak keras usul itu. "Mereka sebenarnya ingin menjual semua aset warisan Pak Ketua. Mana saya mau?" ujarnya menyergah. Apalagi, menurut Jhonny, T.D. Pardede sempat berpesan agar bisnis yang dirintisnya dipertahankan tanpa menggantungkan diri pada pihak luar. Tudingan bahwa ia menumpang hotel milik keluarga untuk bisnis pribadinya juga dibantah. Ia mengaku mengontrak ruangan seperti biasa. "Kalau orang lain bisa mengontrak, kenapa saya tidak?" katanya. Soal gaji yang tak dibayarkan, itu memang diakui Presiden Direktur HDTI, Mastor Napitulu. Katanya, sejak Maret 1993 ia tak bisa membayar gaji karena Sariaty memblokir rekening hotel pada Bank Pacific sejumlah Rp 5 miliar. Akan halnya dividen, ini sudah bisa diterima sejak akhir tahun lalu. "Bila mereka tak juga mengambil, itu bukan salah kami," kata Mastor. Jumlahnya: Rp 100 juta per orang. Selain jumlah dividen, manajemen hotel yang cukup bergengsi itu juga memperuncing konflik. Tiadanya mekanisme rapat pemegang saham dan buntunya akses pemegang saham terhadap keuangan perusahaan telah memperlebar jurang keluarga. Sampai akhir pekan lalu, hotel yang "ditutup" itu memang masih menerima tamu, tapi jumlahnya hanya sepertujuh tingkat hunian normal. Padahal, hotel dengan 300 kamar yang tak pernah sepi pengunjung itu tak hanya menyuapi sembilan pemiliknya. Hotel itu merupakan bahtera bagi belasan ribu jiwa dari keluarga 2.000 karyawan yang menggantungkan hidupnya di sana.Dwi S. Irawanto (Jakarta), Affan B. Hutasuhut, dan Sarluhut Napitupulu (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini