BEKAS penjaja tas di pasar Tanah Abang ini akhirnya muncul sebagai pemenang setelah dengan telak mengalahkan bekas Dirut Pertamina A.R. Ramly dan "bapak pengusaha lemah" Probosutedjo dalam perebutan kursi Ketua Umum Kadin. Dialah Aburizal "Ical" Bakrie, bos Grup Bakrie yang mengelola tiga perusahaan induk dengan 44 anak perusahaan. Sebagai pengusaha yang muncul dari kalangan pribumi, Ical tentu saja boleh bangga, karena grup usahanya masuk dalam peringkat 20 besar di Indonesia. Semula tulang punggung grup ini hanya industri pipa, tapi sekarang tidak lagi. Bidang usaha Bakrie melebar, terbagi dalam tujuh kelompok: properti dan hiburan, industri, agribisnis, pertambangan, elektronik, jasa keuangan, dan perdagangan. Wilayah operasinya telah merentang sampai ke Australia, Hong Kong, dan Amerika. Di tiga negara itu bisnis Bakrie bergerak di bidang perdagangan, peternakan sapi, dan komunikasi. Ini prestasi yang patut dicatat, kendati masyarakat bukan tidak tahu bahwa Ical tidak mulai dari nol. Dari awal ia sudah melangkahi sekian anak tangga, karena berangkat dari usaha yang telah dengan solid dikembangkan oleh sang ayah, Achmad Bakrie. Namun, harus diakui, Aburizal telah mengambil jurus-jurus yang hebat, hingga dalam lima tahun saja -- sejak menjadi Presiden Direktur PT Bakrie & Brothers pada Januari 1988 -- ia berhasil menambah anak perusahaannya dari 16 menjadi 44 buah. Pernah ada memang yang menggosipkan bahwa Bakrie melesat besar karena utang. Kabar angin itu bahkan menyebutkan, Grup Bakrie pernah mengalami kesulitan likuiditas akibat ekspansinya yang agresif. Tapi gosip itu segera terbantah. Sebab, pada tahun 1992, utang Bakrie Group tercatat hanya 580 juta dolar, sedangkan asetnya mencapai 1,28 miliar dolar. Di samping itu, omzet usahanya berlipat tiga kali, hingga mencapai angka di atas 1 miliar dolar lebih. Sukses Bakrie itulah yang kemudian dibanggakan oleh kalangan pengusaha pribumi sebagai tandingan para konglomerat nonpri. Namun, sebagai Ketua Umum Kadin, Ical tentu berada di atas semua golongan. Kendati di jajaran pengurus Kadin yang dipimpinnya hanya ada dua nonpri, bekas juara karate Ja-Bar ini mengaku diterima dengan tangan terbuka oleh para konglomerat. Bahkan, untuk memuluskan beberapa program kerjanya di Kadin, katanya ia telah mengontak Liem Sioe Liong, Prajogo Pangestu, dan Eka Tjipta Widjaja. Ketiganya, menurut Ical, siap membantu kiprahnya di puncak pimpinan Kadin. Tapi, sampai sejauh mana lobi Ical dan apa saja program kerja Kadin yang dirancangnya? Ayah tiga anak ini (48 tahun) bercerita panjang kepada Bina Bektiati dari TEMPO. Petikannya. Apa saja tantangan yang dihadapi pengusaha Indonesia saat ini? Saya melihatnya dari dua sisi. Pertama tantangan dari luar negeri, yang muncul lantaran selesainya Putaran Uruguay. Sekarang, pasar menjadi lebih terbuka, dan itu pertanda kita dituntut untuk berproduksi secara efisien. Sebab, selain pasarnya semakin besar, pesaing pun bertambah banyak. Tantangan yang kedua ada di dalam negeri. Ini menyangkut kesempatan berusaha pada seluruh lapisan bisnis. Baik untuk pengusaha besar, menengah, maupun kecil yang berada di kota-kota besar dan daerah. Bagaimana konsep Anda untuk pemerataan bisnis? Pertama harus ada sikap terbuka dari semua pihak (maksudnya konglomerat dan pengusaha menengah dan kecil) untuk bekerja sama lebih erat. Tapi ingat, yang ditekankan adalah kerja sama, bukan bantuan. Kongkretnya, sebagai langkah awal, harus diadakan pendidikan praktis bagi pengusaha menengah dan kecil. Dan ini membutuhkan biaya cukup besar. Dananya dari mana? Agak sulit, memang. Sebab Kadin tidak memungut iuran dari anggota. Tapi, dari lobbying yang saya lakukan dengan sejumlah pengusaha besar, mereka menyatakan siap membantu pendanaan. Tanpa adanya partisipasi dari pengusaha, uang dari mana? Dana juga perlu dikumpulkan untuk membangun kantor Kadin yang permanen. Masak PBSI punya kantor sendiri, kok, Kadin tidak. Tolong uraikan cara Anda melobi para konglomerat. Saya berhasil meyakinkan dan memberi pengertian pada mereka bahwa membina pengusaha kecil berarti juga baik bagi kepentingan bisnis mereka sendiri. Dengan kerja sama yang kelak akan terwujud lebih erat, insya Allah, kesenjangan di antara pengusaha akan segera teratasi. Tindakan apa yang akan Anda lakukan untuk membenahi Kadin? Kami akan mengaktifkan komite perdagangan luar negeri, untuk melakukan lobi dengan mitra-mitra asing. Selain itu, pembinaan Kadinda di setiap provinsi juga akan digalakkan. Kita tahu, pada Repelita VI ini pemerintah mulai melakukan pendelegasian wewenang kepada pemerintah daerah, terutama yang menyangkut investasi. Jadi, di sini peran Kadinda menjadi lebih penting dari sebelumnya. Menurut Anda, bagaimana iklim investasi di Indonesia dibandingkan RRC? Cina menarik karena mereka berhasil menjadi salesman untuk investasi. Mereka melihat investasi asing sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh pemerintah pusat dan daerah. Makanya, di RRC, sambutan kepada investor bukan hanya dilakukan oleh aparat pemerintah pusat, tapi juga sampai ke tingkat kelurahan. Mereka melayani investor tak ubahnya seperti raja. Nah, sikap seperti itulah yang belum dimiliki oleh kita. Di sini, keadaannya terbalik, investor-lah yang seolah-olah berkepentingan dengan kita. Sehingga, bukannya pemerintah menservis investor, melainkan sebaliknya. Komentar Anda tentang prospek investasi asing di Indonesia? Saya kira masih lumayan. Menurunnya investasi dari Jepang, saya kira bisa ditutup dengan relokasi industri dari Taiwan. Ini sudah agak pasti, kalau melihat kunjungan menteri-menteri Taiwan ke Indonesia belum lama berselang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini