Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Prajurit (kere) pilihan dari angola

Gerakan antikolonial di angola : nfla, unita dan mpla - tujuan mengusir kolonialis portugis. (sel)

4 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA dilihat lahiriah sepintas lalu, mereka tampak bagaikan sekawanan pengemis. Pakaian compang-camping, rambut dan janggut tidak terurus, serta menyantap apa saja yang mereka temui dan layak dimakan. Padahal, "mereka adalah prajurit yang terbaik di dunia," kata Pierre Caillard, wartawan Gamma, yang menerobos ke jantung Angola, Afrika Selatan, untuk mencari kawanan itu. Gaillard menghabiskan 49 hari di Angola. Ia berjalan kaki 1.200 km menembus belantara semak negeri itu untuk mencapai sarang Front Nasional Pembebasan Angola (NFLA) -- yang terletak di utara Luanda. Dan tidak banyak wartawan berkesempatan menjelajah negeri yang hingar-bingar ini. Apalagi mencapai markas besar NFLA, hanya sekitar 20 km dari Zala, kota yang dikuasai pasukan pemerintah, dan bertemu dengan panglimanya, Holden Roberto. Separuh dari hari petualangannya dilewatkan Gaillard di bagian utara negeri itu, tanpa sekali pun bersua dengan aparat Pemerintah Angola. Selama itu pula ia dikawal dan diantar oleh para prajurit dan perwira dari sebuah Angkatan Bersenjata NFLA -- yang hampir oleh semua orang dianggap sudah mati. "Propaganda itu sengaja ditiupkan pemerintahan boneka Soviet yang bercokol di Angola, kemudian disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia oleh Kremlin," kata wartawan Prancis tersebut. NFLA dalam kenyataannya, malah hidup subur. Selama berada di Angola, tidak pernah Pierre Gaillard berjumpa dengan pihak yang menentang front itu. Ia bahkan dibawa ke kampung-kampung yang "sudah dibebaskan", dan menyaksikan seluk-beluk gerakan perlawanan Angola. Semua itu, tulis Gaillard, bukan bualan kosong. Menurut sejarahnya, ada tiga gerakan utama antikolonial di Angola. Masing-masing Gerakan Populer untuk Pembebasan Angola (MPLA), Front Nasional Pembebasan Angola (NFLA), dan Persatuan Nasional untuk Kemerdekaan Penuh Angola (UNITA). Ketiga gerakan itu berjuang secara terpisah meski tujuannya sama: mengusir kolonialis Portugis. Perjuangan dilancarkan dengan taktik gerilya. Mereka memang tidak bisa ditundukkan, tetapi juga sulit meraih kemenangan telak. Setelah perang tak menentu selama 14 tahun, orang-orang Portugis itu rupanya letih. Mereka pun hengkang, sembari tidak lupa mengangkut semua harta kekayaan yang mungkin dibawa pulang. Perang kemerdekaan selesai. Tapi Angola segera terperosok ke medan lain yang tak kalah kejam: perang memperebutkan kekuasaan. Untuk sementara, mungkin juga selamanya, yang menguasai Angola adalah kelompok MPLA yang dipimpin Agostino Neto. Kelompok yang terdiri dari intelektual kiri, dan tidak mempunyai pengalaman tempur. Tapi karena kebetulan mereka menguasai ibukota, maka mereka pun berkoar, bahwa MPLA-lah yang paling berjasa mengusir Portugis. Untuk membentengi diri dari dua organisasi gerilya lain, mereka lalu mengerling Uni Soviet dan Kuba. Bantuan Soviet untuk MPLA mengalir tak tanggung-tanggung. Bukan cuma uang dan senjata, juga tenaga-tenaga ahlinya. Sementara Kuba mengirimkan sejumlah tentara. Secara keseluruhan MPLA bisa dikatakan mengoperasikan pasukan asing. Hingga kini orang-orang Rusia dan Kuba itu masih bercokol di Luanda. Sebagian besar dari mereka ditempatkan di kawasan selatan Angola untuk menghadapi Afrika Selatan dan UNITA. Sisanya terpencar di berbagai tempat. Bagaimana nasib gerakan perlawanan Angola yang lain? NFLA punya kesatuan bersenjata yang disebut ELNA, tampak bernasib menyedihkan. Pasukan yang berpakaian compang-camping ini berpangkalan di pedalaman Angola dan sangat sulit diintai -- bahkan dengan helikopter sekalipun. Juga tidak punya amunisi, makanan, dan obat-obatan. Senjata yang mereka pergunakan sekarang adalah hasil rampasan dari pasukan musuh. Untuk mendapatkan pakaian, mereka kadang-kadang harus berjalan kaki satu bulan ke perbatasan sembari memikul gading gajah atau rumput "diamba" buat dibarter dengan dua kemeja dan satu celana pendek. Sementara makanan mereka peroleh secara untung-untungan -- seperti di zaman batu dulu. "Para gerilyawan itu sekarang hampir seperti binatang -- banyak mengandalkan naluri," kata Pierre Gaillard. Mereka, selama ada yang akan disantap, sanggup makan enam sampai tujuh kali sehari. Tapi juga kuat menahan lapar berhari-hari, bila sedang tidak mujur. Mereka sama sekali tidak tertarik pada pohon mangga yang berbuah ranum. Alasannya, takut dapat penyakit perut. Jadi mereka hanya makan daging dari hari ke hari. "Dalam tujuh minggu itu aku makan banteng, babi hutan, antelop, gajah, dan ular," kata Pierre dalam laporannya. Mula-mula dihidangkan bagian yang paling lezat dari tiap hasil perburuan. Kemudian menyusul bagian yang kurang sedap tapi masih patut dimakan. Terakhir semua sisa yang masih tertinggal. Makin tidak enak ransum yang dibagikan, makin keras usaha tiap anggota untuk menelannya terutama mereka yang tidak sehat. Sebab itu salah satu cara untuk mengobati yang bisa ditempuh. Lagi pula, satu kilo daging dalam perut, lebih baik daripada satu kilo daging di pundak. Apalagi dengan lalat berkeliaran di mana-mana, terasa kurang bijaksana menyimpan bahan makanan berhari-hari. Lalu, di mana kelebihan prajurit NFLA? Kendati suasana siaga hanya terlihat di markas besar NFLA, naluri keprajuritan mereka terlihat sangat tinggi. Dari hanya sebuah ledakan mereka bisa menentukan arah tembakan, jenis senjata, serta peluru apa yang dipergunakan. Dan langsung mengerti tindakan apa yang harus diambil. Mereka juga dikena, pintar membaca jejak, dan dapat pula menghapusnya dengan keahlian seorang Indian terbaik. Dalam setiap perhentian semuanya bertindak waspada. Dan mereka berbicara tanpa saling melihat wajah. Prajurit NFLA juga terpuji dalam penguasaan medan. Itulah sebabnya pasukan pemerintah tidak berani sembarangan terhadap para gerilyawan ini. Dan hampir semua serdadu Luanda selalu ogah-ogahan bila disuruh beroperasi ke pedalaman. Tak heran bila gerilayawan NFLA jarang bertemu musuh. Pierre sangat memuji kebolehan pasukan compang-camping ini. Ia menjulukinya sebagai manusia-manusia maut dengan ketahanan luar biasa: sanggup berjalan dengan kemampuan seperti tentara Napoleon, mampu berburu seperti orang Indian dari Amerika Utara, dan taat kepada perintah bagaikan serdadu-serdadu parit dalam Perang Dunia I. "Dan sekarang, dengan persenjataan modern plus pengalaman berperang selama 21 tahun, tak ayal lagi mereka adalah spesialis terbaik dalam perang gerilya," kata Gaillard. Tak cuma itu keunggulan prajurit NFLA. Mereka juga pernah dilatih oleh pelbagai bangsa -- mulai dari serdadu Afrika Selatan, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Soviet, Cina, sampai Israel. Apa lagi yang kurang? Setiap orang dalam NFLA adalah pemburu, penunjuk jalan, dan tabib. Tentang senjata mereka tercatat berbagai rupa. Selain senjata otomatis FAL buatan Belgia, mereka juga memiliki senjata lama Portugis, Kalashnikov Rusia, dan senapan buatan Rumania yang sudah didandani. Mengenai pakaian jangan disebut lagi -- tiap orang lain coraknya. Orang-orang NFLA baru tampak seperti tentara sungguhan bila berada di kawasan-kawasan tempat mereka berhubungan dengan penduduk setempat. Di tempat-tempat itu mereka punya barak, dan memberlakukan semua disiplin tentara reguler. Meski dari luar prajurit-prajurit NFLA seperti gerombolan penyamun, mereka sebetulnya diikat oleh disiplin yang sangat ketat. "Dan para perwira mereka mempunyai kemampuan yang tidak bisa diremehkan," kata Pierre. Berapa besar kekuatan pasukan NFLA? Salah seorang komandan mereka mengatakan sekitar 7.500 anggota yang terlatih dan memegang senjata, plus 7.500 tentara cadangan yang juga terlatih, tetapi tidak dipersenjatai. Mereka menguasai empat provinsi: Cuanza-Norta, Uige, Luanda, dan Zaire -- jumlah penduduk sipil seluruh kawasan sekitar 107.000 jiwa. Pada 1982, jumlah penghuni di keempat provinsi tersebut bertambah dengan lahirnya hampir 11.000 "pemberontak kecil". Holden Roberto, adalah "Raja" dari "Kerajaan" NFLA, membawahkan ribuan rakyat, yang menghidupkan kembali tradisi nenek moyang dan bergerak dalam dunia tertutup. Kendati demikian di daerah-daerah yang mereka kuasai, penduduk makan lebih baik ketimbang di kawasan pemerintah yang diatur penguasa Marxis. Menurut beberapa saksi, rakyat dan tentara Luanda tidak hidup lebih baik dari para petani yang bergabung dengan gerilyawan. Di provinsi-provinsi yang dikuasai NFLA tidak ada inflasi. Sejak 1978 harga stabil. Mata uang yang digunakan masih escudo -- alat pembayaran peninggalan kolonial. Ekonomi berpusat pada kegiatan barter. Ballpoint, arloji, dan pakaian menjadi alat barter yang paling laku. Perwira yang membeli pakaian baru akan menghadiahkan pakaian bekas kepada bawahannya, dan seterusnya. Sehingga prajurit yang paling rendah pangkatnya akan kebagian pakaian paling butut. Juga tidak semua prajurit NFLA bersepatu. Sebagian besar tetap cekeran, meski harus melintasi gurun dan semak onak. Tapi mereka tetap bersyukur. Para prajurit NFLA suka mendengarkan siaran Suara Amerika dalam bahasa Portugis, atau siaran radio Afrika Selatan, lewat radio transistor. Sulitnya jaringan informasi, ditambah lagi tidak adanya jam dan almanak, membuat mereka sering keliru mengambil kesimpulan dan keputusan. NFLA dikenal sebagai musuh berat pemerintah -- yang dikuasai orang-orang MPLA. Hal ini bukan tanpa sebab. Ketika MPLA menawarkan perundingan damai NFLA mengharuskan dua syarat sebelum pembicaraan dimulai. Pertama, semua pasukan dan penasihat asing harus mundur dari Angola. Kedua, setelah itu diadakan pemilihan umum yang bebas. Tentu saja MPLA tidak berselera mendengar usul ini. Persyaratan yang diajukan NFLA bukan tanpa perhitungan. Pertama, mereka punya pasukan yang benar-benar memiliki kemampuan. Dan kedua, mereka menguasai empat provinsi -- paling kaya bahan makanan dan sumber mineral di Angola -- yang akan banyak menentukan ekonomi negeri itu di masa depan. Lain pula cerita UNITA. Sudah sejak 1975 gerakan perlawanan ini melancarkan perang gerilya dengan sejumlah kemenangan melawan Pemerintah MPLA yang didukung Soviet. UNITA dipimpin oleh Jonas Savimbi, lelaki jangkung dan berjanggut lebat, yang lancar berbicara Inggris, Prancis, Portugis, dan sejumlah bahasa daerah Afrika. Dia pernah menuntut ilmu di sebuah sekolah perwira di Nanking, RRC, dipanggil anak buahnya "Pemimpin Besar Revolusi". "Itulah sebabnya taktik UNITA terasa berbau Cina," kata Yves Loiseau, juga wartawan Gamma. Savimbi, 48 tahun, selalu menyandang senjata Magnum 347 ke mana-mana. Angkatan Bersenjata UNITA disebut FALA, terbagi dalam dua kekuatan. Pertama, kelompok gerilyawan yang bertugas memperluas daerah kekuasaan UNITA. Dan kedua, pasukan reguler yang berkewajiban mempertahankan "daerah yang sudah dibebaskan". Jumlah mereka konon sekitar 40.000 orang -- sebagian besar menggunakan Kalashnikov AK-47, senjata buatan Soviet, yang kesohor itu. "Kami mendapat semua senjata itu dari musuh," kata Savimbi membanggakan kebolehan pasukannya. Baru-baru ini UNITA menyerbu Kota Munhango, kampung halaman Savimbi. Kota yang berpenduduk antara 5 dan 10 ribu orang, dikawal oleh beberapa ratus tentara reguler Angola, diserbu oleh sekitar 1.250 gerilyawan yang kemudian mengambil alih kekuasaan selama 25 menit. Setelah menghancurkan sejumlah sasaran ekonomis dengan bahan peledak, mereka mengundurkan diri, dan pulang melalui jalan hutan setapak ke basis UNITA di pedalaman. Penyerangan seperti itu terjadi berulang kali. Gerilyawan UNITA tidak keberatan berjalan kaki beberapa hari hanya untuk menguasai sebuah kota selama beberapa jam. Tujuan utama mereka adalah membuat serdadu rezim Luanda seperti duduk di atas api. Beberapa tahun terakhir ini kegiatan militer UNITA tampak meningkat. Terutama sejak pasukan yang dipimpin Jonas Savimbi ini mulai melakukan "motorisasi". Tentang kendaraan bermotor milik UNITA, umumnya truk-truk buatan Polandia dan Soviet milik pasukan pemerintah, diperoleh dari mencolong di garasi, maupun menjarahnya lewat pertempuran. Berbeda dengan NFLA, gerilyawan UNITA mempunyai sejumlah tahanan dari berbagai bangsa. Ada orang Cekoslowakia, Portugis, Kuba, bahkan Brazil. Kini para tahanan itu, yang sebelumnya bekerja membantu Pemerintah MPLA, sedang menantikan pembebasan mereka melalui inisiatif pemerintah masing-masing dan Palang Merah Internasional. Loiseau menjumpai tahanan yang sedang menunggu nasibnya di tangan UNITA. Untuk mencapai tempat itu ia menempuh jarak sejauh 150 km dengan berjalan kaki lagi. Dari delapan orang Ceko yang ditemui Loiseau di penjara hutan itu, jumlah seluruhnya 66 jiwa mengeluhkan penyakit mereka terutama kejang-kejang di kaki dan sakit ginjal. Para tahanan tersebut, menurut seorang perwira UNITA, akan dijadikan barang barter -- penukar prajurit dan orang-orang UNITA yang ditahan Pemerintah Angola. "Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern," kata Yves Loiseau, "organisasi gerilya Afrika menahan sejumlah orang sipil Eropa, dan menjadikannya barang jaminan untuk memperoleh kebebasan anggota kesatuan mereka." Pada 15 April, Palang Merah Internasional mengirimkan utusannya ke bagian selatan Angola untuk memulai perundingan dengan pejabat Austria dan Portugis -- yang sebelumnya sudah bertemu dengan wakil-wakil UNITA di Lisbon dan London -- mengenai pembebasan para tahanan asing itu. Tentang hasilnya tampak masih akan menunggu lama. Nasib Angola memang pedih. Negeri seluas 1,2 juta km, yang terletak di pantai barat Afrika itu terlunta-lunta tak ketentuan. Sebab tidak semua pihak setuju pada rezim MPLA yang menduduki puncak kekuasaan lewat dukungan Soviet dan Kuba -- hal yang menyebabkan NFLA dan UNITA kembali masuk hutan dan membangkitkan perlawanan. Tadinya MPLA dipimpin Angostinho Neto. Dia inilah yang mengundang Soviet dan Kuba masuk Angola. Empat tahun lalu Neto meninggal. Kini rezim yang memerintah terbagi dalam beberapa klik. Tidak jelas siapa yang paling kuat. Sementara kaum oposisi berjuang menggulingkan pemerintahan boneka Marxis yang bercokol di Luanda, rakyat boleh terbingung-bingung harus mengabdi kepada siapa: MPLA, NFLA, atau UNITA.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus