JIKA dilihat lahiriah sepintas lalu, mereka tampak bagaikan
sekawanan pengemis. Pakaian compang-camping, rambut dan janggut
tidak terurus, serta menyantap apa saja yang mereka temui dan
layak dimakan. Padahal, "mereka adalah prajurit yang terbaik di
dunia," kata Pierre Caillard, wartawan Gamma, yang menerobos ke
jantung Angola, Afrika Selatan, untuk mencari kawanan itu.
Gaillard menghabiskan 49 hari di Angola. Ia berjalan kaki 1.200
km menembus belantara semak negeri itu untuk mencapai sarang
Front Nasional Pembebasan Angola (NFLA) -- yang terletak di
utara Luanda. Dan tidak banyak wartawan berkesempatan menjelajah
negeri yang hingar-bingar ini. Apalagi mencapai markas besar
NFLA, hanya sekitar 20 km dari Zala, kota yang dikuasai pasukan
pemerintah, dan bertemu dengan panglimanya, Holden Roberto.
Separuh dari hari petualangannya dilewatkan Gaillard di bagian
utara negeri itu, tanpa sekali pun bersua dengan aparat
Pemerintah Angola. Selama itu pula ia dikawal dan diantar oleh
para prajurit dan perwira dari sebuah Angkatan Bersenjata NFLA
-- yang hampir oleh semua orang dianggap sudah mati. "Propaganda
itu sengaja ditiupkan pemerintahan boneka Soviet yang bercokol
di Angola, kemudian disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia oleh
Kremlin," kata wartawan Prancis tersebut.
NFLA dalam kenyataannya, malah hidup subur. Selama berada di
Angola, tidak pernah Pierre Gaillard berjumpa dengan pihak yang
menentang front itu. Ia bahkan dibawa ke kampung-kampung yang
"sudah dibebaskan", dan menyaksikan seluk-beluk gerakan
perlawanan Angola. Semua itu, tulis Gaillard, bukan bualan
kosong.
Menurut sejarahnya, ada tiga gerakan utama antikolonial di
Angola. Masing-masing Gerakan Populer untuk Pembebasan Angola
(MPLA), Front Nasional Pembebasan Angola (NFLA), dan Persatuan
Nasional untuk Kemerdekaan Penuh Angola (UNITA). Ketiga gerakan
itu berjuang secara terpisah meski tujuannya sama: mengusir
kolonialis Portugis.
Perjuangan dilancarkan dengan taktik gerilya. Mereka memang
tidak bisa ditundukkan, tetapi juga sulit meraih kemenangan
telak. Setelah perang tak menentu selama 14 tahun, orang-orang
Portugis itu rupanya letih. Mereka pun hengkang, sembari tidak
lupa mengangkut semua harta kekayaan yang mungkin dibawa pulang.
Perang kemerdekaan selesai. Tapi Angola segera terperosok ke
medan lain yang tak kalah kejam: perang memperebutkan kekuasaan.
Untuk sementara, mungkin juga selamanya, yang menguasai Angola
adalah kelompok MPLA yang dipimpin Agostino Neto. Kelompok yang
terdiri dari intelektual kiri, dan tidak mempunyai pengalaman
tempur. Tapi karena kebetulan mereka menguasai ibukota, maka
mereka pun berkoar, bahwa MPLA-lah yang paling berjasa mengusir
Portugis. Untuk membentengi diri dari dua organisasi gerilya
lain, mereka lalu mengerling Uni Soviet dan Kuba.
Bantuan Soviet untuk MPLA mengalir tak tanggung-tanggung. Bukan
cuma uang dan senjata, juga tenaga-tenaga ahlinya. Sementara
Kuba mengirimkan sejumlah tentara. Secara keseluruhan MPLA bisa
dikatakan mengoperasikan pasukan asing.
Hingga kini orang-orang Rusia dan Kuba itu masih bercokol di
Luanda. Sebagian besar dari mereka ditempatkan di kawasan
selatan Angola untuk menghadapi Afrika Selatan dan UNITA.
Sisanya terpencar di berbagai tempat.
Bagaimana nasib gerakan perlawanan Angola yang lain? NFLA punya
kesatuan bersenjata yang disebut ELNA, tampak bernasib
menyedihkan. Pasukan yang berpakaian compang-camping ini
berpangkalan di pedalaman Angola dan sangat sulit diintai --
bahkan dengan helikopter sekalipun. Juga tidak punya amunisi,
makanan, dan obat-obatan.
Senjata yang mereka pergunakan sekarang adalah hasil rampasan
dari pasukan musuh. Untuk mendapatkan pakaian, mereka
kadang-kadang harus berjalan kaki satu bulan ke perbatasan
sembari memikul gading gajah atau rumput "diamba" buat dibarter
dengan dua kemeja dan satu celana pendek. Sementara makanan
mereka peroleh secara untung-untungan -- seperti di zaman batu
dulu.
"Para gerilyawan itu sekarang hampir seperti binatang -- banyak
mengandalkan naluri," kata Pierre Gaillard. Mereka, selama ada
yang akan disantap, sanggup makan enam sampai tujuh kali sehari.
Tapi juga kuat menahan lapar berhari-hari, bila sedang tidak
mujur.
Mereka sama sekali tidak tertarik pada pohon mangga yang berbuah
ranum. Alasannya, takut dapat penyakit perut. Jadi mereka hanya
makan daging dari hari ke hari.
"Dalam tujuh minggu itu aku makan banteng, babi hutan, antelop,
gajah, dan ular," kata Pierre dalam laporannya. Mula-mula
dihidangkan bagian yang paling lezat dari tiap hasil perburuan.
Kemudian menyusul bagian yang kurang sedap tapi masih patut
dimakan. Terakhir semua sisa yang masih tertinggal.
Makin tidak enak ransum yang dibagikan, makin keras usaha tiap
anggota untuk menelannya terutama mereka yang tidak sehat. Sebab
itu salah satu cara untuk mengobati yang bisa ditempuh. Lagi
pula, satu kilo daging dalam perut, lebih baik daripada satu
kilo daging di pundak. Apalagi dengan lalat berkeliaran di
mana-mana, terasa kurang bijaksana menyimpan bahan makanan
berhari-hari.
Lalu, di mana kelebihan prajurit NFLA? Kendati suasana siaga
hanya terlihat di markas besar NFLA, naluri keprajuritan mereka
terlihat sangat tinggi. Dari hanya sebuah ledakan mereka bisa
menentukan arah tembakan, jenis senjata, serta peluru apa yang
dipergunakan. Dan langsung mengerti tindakan apa yang harus
diambil.
Mereka juga dikena, pintar membaca jejak, dan dapat pula
menghapusnya dengan keahlian seorang Indian terbaik. Dalam
setiap perhentian semuanya bertindak waspada. Dan mereka
berbicara tanpa saling melihat wajah.
Prajurit NFLA juga terpuji dalam penguasaan medan. Itulah
sebabnya pasukan pemerintah tidak berani sembarangan terhadap
para gerilyawan ini. Dan hampir semua serdadu Luanda selalu
ogah-ogahan bila disuruh beroperasi ke pedalaman. Tak heran bila
gerilayawan NFLA jarang bertemu musuh.
Pierre sangat memuji kebolehan pasukan compang-camping ini. Ia
menjulukinya sebagai manusia-manusia maut dengan ketahanan luar
biasa: sanggup berjalan dengan kemampuan seperti tentara
Napoleon, mampu berburu seperti orang Indian dari Amerika Utara,
dan taat kepada perintah bagaikan serdadu-serdadu parit dalam
Perang Dunia I. "Dan sekarang, dengan persenjataan modern plus
pengalaman berperang selama 21 tahun, tak ayal lagi mereka
adalah spesialis terbaik dalam perang gerilya," kata Gaillard.
Tak cuma itu keunggulan prajurit NFLA. Mereka juga pernah
dilatih oleh pelbagai bangsa -- mulai dari serdadu Afrika
Selatan, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Soviet, Cina, sampai
Israel. Apa lagi yang kurang?
Setiap orang dalam NFLA adalah pemburu, penunjuk jalan, dan
tabib. Tentang senjata mereka tercatat berbagai rupa. Selain
senjata otomatis FAL buatan Belgia, mereka juga memiliki senjata
lama Portugis, Kalashnikov Rusia, dan senapan buatan Rumania
yang sudah didandani. Mengenai pakaian jangan disebut lagi --
tiap orang lain coraknya.
Orang-orang NFLA baru tampak seperti tentara sungguhan bila
berada di kawasan-kawasan tempat mereka berhubungan dengan
penduduk setempat. Di tempat-tempat itu mereka punya barak, dan
memberlakukan semua disiplin tentara reguler. Meski dari luar
prajurit-prajurit NFLA seperti gerombolan penyamun, mereka
sebetulnya diikat oleh disiplin yang sangat ketat. "Dan para
perwira mereka mempunyai kemampuan yang tidak bisa diremehkan,"
kata Pierre.
Berapa besar kekuatan pasukan NFLA? Salah seorang komandan
mereka mengatakan sekitar 7.500 anggota yang terlatih dan
memegang senjata, plus 7.500 tentara cadangan yang juga
terlatih, tetapi tidak dipersenjatai. Mereka menguasai empat
provinsi: Cuanza-Norta, Uige, Luanda, dan Zaire -- jumlah
penduduk sipil seluruh kawasan sekitar 107.000 jiwa. Pada 1982,
jumlah penghuni di keempat provinsi tersebut bertambah dengan
lahirnya hampir 11.000 "pemberontak kecil".
Holden Roberto, adalah "Raja" dari "Kerajaan" NFLA, membawahkan
ribuan rakyat, yang menghidupkan kembali tradisi nenek moyang
dan bergerak dalam dunia tertutup. Kendati demikian di
daerah-daerah yang mereka kuasai, penduduk makan lebih baik
ketimbang di kawasan pemerintah yang diatur penguasa Marxis.
Menurut beberapa saksi, rakyat dan tentara Luanda tidak hidup
lebih baik dari para petani yang bergabung dengan gerilyawan.
Di provinsi-provinsi yang dikuasai NFLA tidak ada inflasi. Sejak
1978 harga stabil. Mata uang yang digunakan masih escudo -- alat
pembayaran peninggalan kolonial. Ekonomi berpusat pada kegiatan
barter. Ballpoint, arloji, dan pakaian menjadi alat barter yang
paling laku.
Perwira yang membeli pakaian baru akan menghadiahkan pakaian
bekas kepada bawahannya, dan seterusnya. Sehingga prajurit yang
paling rendah pangkatnya akan kebagian pakaian paling butut.
Juga tidak semua prajurit NFLA bersepatu. Sebagian besar tetap
cekeran, meski harus melintasi gurun dan semak onak. Tapi mereka
tetap bersyukur.
Para prajurit NFLA suka mendengarkan siaran Suara Amerika dalam
bahasa Portugis, atau siaran radio Afrika Selatan, lewat radio
transistor. Sulitnya jaringan informasi, ditambah lagi tidak
adanya jam dan almanak, membuat mereka sering keliru mengambil
kesimpulan dan keputusan.
NFLA dikenal sebagai musuh berat pemerintah -- yang dikuasai
orang-orang MPLA. Hal ini bukan tanpa sebab. Ketika MPLA
menawarkan perundingan damai NFLA mengharuskan dua syarat
sebelum pembicaraan dimulai. Pertama, semua pasukan dan
penasihat asing harus mundur dari Angola. Kedua, setelah itu
diadakan pemilihan umum yang bebas. Tentu saja MPLA tidak
berselera mendengar usul ini.
Persyaratan yang diajukan NFLA bukan tanpa perhitungan. Pertama,
mereka punya pasukan yang benar-benar memiliki kemampuan. Dan
kedua, mereka menguasai empat provinsi -- paling kaya bahan
makanan dan sumber mineral di Angola -- yang akan banyak
menentukan ekonomi negeri itu di masa depan.
Lain pula cerita UNITA. Sudah sejak 1975 gerakan perlawanan ini
melancarkan perang gerilya dengan sejumlah kemenangan melawan
Pemerintah MPLA yang didukung Soviet. UNITA dipimpin oleh Jonas
Savimbi, lelaki jangkung dan berjanggut lebat, yang lancar
berbicara Inggris, Prancis, Portugis, dan sejumlah bahasa daerah
Afrika. Dia pernah menuntut ilmu di sebuah sekolah perwira di
Nanking, RRC, dipanggil anak buahnya "Pemimpin Besar Revolusi".
"Itulah sebabnya taktik UNITA terasa berbau Cina," kata Yves
Loiseau, juga wartawan Gamma. Savimbi, 48 tahun, selalu
menyandang senjata Magnum 347 ke mana-mana.
Angkatan Bersenjata UNITA disebut FALA, terbagi dalam dua
kekuatan. Pertama, kelompok gerilyawan yang bertugas memperluas
daerah kekuasaan UNITA. Dan kedua, pasukan reguler yang
berkewajiban mempertahankan "daerah yang sudah dibebaskan".
Jumlah mereka konon sekitar 40.000 orang -- sebagian besar
menggunakan Kalashnikov AK-47, senjata buatan Soviet, yang
kesohor itu. "Kami mendapat semua senjata itu dari musuh," kata
Savimbi membanggakan kebolehan pasukannya.
Baru-baru ini UNITA menyerbu Kota Munhango, kampung halaman
Savimbi. Kota yang berpenduduk antara 5 dan 10 ribu orang,
dikawal oleh beberapa ratus tentara reguler Angola, diserbu oleh
sekitar 1.250 gerilyawan yang kemudian mengambil alih kekuasaan
selama 25 menit. Setelah menghancurkan sejumlah sasaran ekonomis
dengan bahan peledak, mereka mengundurkan diri, dan pulang
melalui jalan hutan setapak ke basis UNITA di pedalaman.
Penyerangan seperti itu terjadi berulang kali. Gerilyawan UNITA
tidak keberatan berjalan kaki beberapa hari hanya untuk
menguasai sebuah kota selama beberapa jam. Tujuan utama mereka
adalah membuat serdadu rezim Luanda seperti duduk di atas api.
Beberapa tahun terakhir ini kegiatan militer UNITA tampak
meningkat. Terutama sejak pasukan yang dipimpin Jonas Savimbi
ini mulai melakukan "motorisasi". Tentang kendaraan bermotor
milik UNITA, umumnya truk-truk buatan Polandia dan Soviet milik
pasukan pemerintah, diperoleh dari mencolong di garasi, maupun
menjarahnya lewat pertempuran.
Berbeda dengan NFLA, gerilyawan UNITA mempunyai sejumlah tahanan
dari berbagai bangsa. Ada orang Cekoslowakia, Portugis, Kuba,
bahkan Brazil. Kini para tahanan itu, yang sebelumnya bekerja
membantu Pemerintah MPLA, sedang menantikan pembebasan mereka
melalui inisiatif pemerintah masing-masing dan Palang Merah
Internasional.
Loiseau menjumpai tahanan yang sedang menunggu nasibnya di
tangan UNITA. Untuk mencapai tempat itu ia menempuh jarak sejauh
150 km dengan berjalan kaki lagi.
Dari delapan orang Ceko yang ditemui Loiseau di penjara hutan
itu, jumlah seluruhnya 66 jiwa mengeluhkan penyakit mereka
terutama kejang-kejang di kaki dan sakit ginjal.
Para tahanan tersebut, menurut seorang perwira UNITA, akan
dijadikan barang barter -- penukar prajurit dan orang-orang
UNITA yang ditahan Pemerintah Angola. "Untuk pertama kalinya
dalam sejarah modern," kata Yves Loiseau, "organisasi gerilya
Afrika menahan sejumlah orang sipil Eropa, dan menjadikannya
barang jaminan untuk memperoleh kebebasan anggota kesatuan
mereka."
Pada 15 April, Palang Merah Internasional mengirimkan utusannya
ke bagian selatan Angola untuk memulai perundingan dengan
pejabat Austria dan Portugis -- yang sebelumnya sudah bertemu
dengan wakil-wakil UNITA di Lisbon dan London -- mengenai
pembebasan para tahanan asing itu. Tentang hasilnya tampak masih
akan menunggu lama.
Nasib Angola memang pedih. Negeri seluas 1,2 juta km, yang
terletak di pantai barat Afrika itu terlunta-lunta tak
ketentuan. Sebab tidak semua pihak setuju pada rezim MPLA yang
menduduki puncak kekuasaan lewat dukungan Soviet dan Kuba -- hal
yang menyebabkan NFLA dan UNITA kembali masuk hutan dan
membangkitkan perlawanan.
Tadinya MPLA dipimpin Angostinho Neto. Dia inilah yang
mengundang Soviet dan Kuba masuk Angola. Empat tahun lalu Neto
meninggal. Kini rezim yang memerintah terbagi dalam beberapa
klik. Tidak jelas siapa yang paling kuat.
Sementara kaum oposisi berjuang menggulingkan pemerintahan
boneka Marxis yang bercokol di Luanda, rakyat boleh
terbingung-bingung harus mengabdi kepada siapa: MPLA, NFLA, atau
UNITA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini