TAHAP pertama kasus Haji Fauzi, perkara pembunuhan peragawati
Yulia Yasin, telah berakhir. Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan, yang diketuai Ferdinandus, pekan lalu
membebaskan Fauzi dari semua tuduhan. Bukan karena tertuduh itu
menderita gangguan jiwa atau tidak -- seperti diributkan selama
ini. Melainkan, "tidak ada seorang pun yang melihat ia
membunuh," timbang majelis.
Fauzi, 56 tahun, yang hari itu mengenakan baju putih, celana
biru, dan tanpa alas kaki, dengan mata merem menyenderkan kepala
ke kursi. Ketika dibawa petugas ke luar ruang sidang, seusai
hakim mengetuk vonis, seperti biasanya Fauzi dipapah -- bahkan
tiba-tiba ia melorot. Tapi dua hari setelah itu bapak dari 7
orang anak itu sudah tidak ada lagi di Jakarta. "Ia sudah pulang
mudik ke Surabaya," ujar Yan Apul, pengacaranya.
Semula perkara Fauzi berbelit-belit antara soal ia gila atau
tidak. Jaksa J.R. Bangun, yang membawanya ke depan hakim, yakin
bahwa Fauzi otak pembunuhan Yulia Yasin. Menurut pembantu Yulia,
Ny. Tuminah tertuduh dan teman-temannyalah yang datang
malam-malam ke rumah almarhumah, di Jalan Gudang Peluru no. 33
A, Jakarta Timur, 29 Juni 1981 itu. Ketika Tuminah menyiapkan
minuman untuk mereka itu, tiba-tiba ia mendengar jeritan nyonya
rumah, yang kemudian dijumpainya terkapar berlumur darah. Saat
itu pula Tuminah tidak melihat lagi Fauzi dan teman-temannya.
Dua orang teman Fauzi itu, Marzuki dan Bardi, pernah mengaku
kepada TEMPO bahwa mereka membacok korban atas suruhan Fauzi.
Keduanya mengatakan dibawa Fauzi dari Madura dengan janji akan
dicarikan pekerjaan dengan gaji Rp 3.000 per hari. Tapi dalam
perjalanan Surabaya-Jakarta, mereka diberitahu, pekerjaan apa
sesungguhnya yang harus dilakukannya. "Sebagai orang Madura,
masak kalian tidak malu, ada orang sendiri dikhianati istrinya,"
bujuk Fauzi, seperti dituturkan Bardi kepada TEMPO dalam bahasa
Madura. Namun, akhirnya, semua pengakuan itu, yang juga
diberikan ke polisi, dicabut kembali oleh kedua petani itu di
sidang pengadilan.
Biar begitu Jaksa Bangun tetap yakin bahwa pembunuhan Yulia
didalangi Fauzi. Bahwa kemudian ia menuntut bebas, itu karena
sebuah prinsip hukum tidak mungkin dilanggar: pertanggungjawaban
hukum tidak bisa dimintakan dari orang yang tidak waras. Visum
Dokter Djoko Soemartedjo dari RSPAD dan keterangan Dokter
Dengara Pane dari RS Jiwa, Grogol, keduanya di Jakarta, cukup
kuat untuk alasan itu. Apalagi semua pengunjung persidangan juga
bisa melihat tingkah-polah Fauzi yang tampak tidak normal. Sebab
itu, walau yakin tuduhan terbukti, Bangun meminta hakim
membebaskan Fauzi. Sampai di sini persidangan itu lancar.
Belakangan perkara itu jadi runyam. Tiga wartawan memergoki
Fauzi dalam keadaan normal di luar sidang. Menurut para
wartawan, yang kemudian dipanggil menjadi saksi, Fauzi bisa
mengejar bis kota sendirian dan menawar bajaj. Akibatnya,
jarang-jarang terjadi, hakim meminta agar pemeriksaan diulang
kembali. Tim dokter RSCM, yang diketuai Wahyadi Darmabrata,
menguatkan kesimpulan rekan-rekan sejawatnya.
Tapi keanehan lain pun muncul. Jaksa Bangun justru berbalik --
mengubah tuntutannya. Ia minta agar hakim menghukum Fauzi 13
tahun penjara. Alasannya, sampai pemeriksaan dokter yang ketiga
kali, tidak ada yang memastikan sejak kapan Fauzi menderita
sakit jiwa. Sebab itu ia merasa yakin, ketika pembunuhan
terjadi, tertuduh dalam keadaan sehat walafiat (TEMPO, 7 Mei).
Sikap jaksa tersebut ternyata masih kalah mengejutkan dibanding
putusan hakim: majelis membebaskan Fauzi. Menurut hakim, tidak
seorang saksi pun yang dapat menunjuk dengan pasti, Fauzi maupun
teman-temannya membunuh Yulia. Sebab itu selain Fauzi, dalam
sidang terpisah, hakim juga membebaskan Marzuki dan Bardi dari
tuduhan. Keduanya malah diperintahkan agar dikeluarkan dari
tahanan sementara.
Dalam pertimbangannya Hakim Ferdinandus tidak menjelaskan, buat
apa meminta mengobservasikan Fauzi kembali ke RSCM. "Saya tidak
bisa bicara banyak, semuanya telah saya tuangkan dalam
keputusan," ujar Ferdinandus kepada TEMPO. Dalam putusannya
tersebut hakim memakai visum dokter hanya untuk menguatkan dalil
bahwa Fauzi tidak terbukti membunuh. Sebab pedagang besi tua
itu, kata hakim, sudah tidak normal lagi sejak mengalami
kecelakaan lalu lintas pada 1971. Ferdinandus tidak menyangkal
adanya hubungan antara pembunuhan Yulia dengan kedatangan Fauzi
di malam berdarah itu. Begitu juga kaburnya tertuduh setelah
pembunuhan terjadi. Tapi, karena adanya visum yang meyakinkan
bahwa Fauzi tidak normal itulah, hakim berpendapat semuanya itu
bukan kehendak Fauzi. "Tentu ada orang lain yang mengajaknya,"
kata Ferdinandus. Sebuah teka-teki baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini