Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Teka-teki baru fauzi

Tertuduh dalam pembunuhan peragawati yulia yasin, haji fauzi, dibebaskan dari segala tuduhan, bukan karena ia dibuktikan gila tapi tidak terbukti membunuh. (hk)

4 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHAP pertama kasus Haji Fauzi, perkara pembunuhan peragawati Yulia Yasin, telah berakhir. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang diketuai Ferdinandus, pekan lalu membebaskan Fauzi dari semua tuduhan. Bukan karena tertuduh itu menderita gangguan jiwa atau tidak -- seperti diributkan selama ini. Melainkan, "tidak ada seorang pun yang melihat ia membunuh," timbang majelis. Fauzi, 56 tahun, yang hari itu mengenakan baju putih, celana biru, dan tanpa alas kaki, dengan mata merem menyenderkan kepala ke kursi. Ketika dibawa petugas ke luar ruang sidang, seusai hakim mengetuk vonis, seperti biasanya Fauzi dipapah -- bahkan tiba-tiba ia melorot. Tapi dua hari setelah itu bapak dari 7 orang anak itu sudah tidak ada lagi di Jakarta. "Ia sudah pulang mudik ke Surabaya," ujar Yan Apul, pengacaranya. Semula perkara Fauzi berbelit-belit antara soal ia gila atau tidak. Jaksa J.R. Bangun, yang membawanya ke depan hakim, yakin bahwa Fauzi otak pembunuhan Yulia Yasin. Menurut pembantu Yulia, Ny. Tuminah tertuduh dan teman-temannyalah yang datang malam-malam ke rumah almarhumah, di Jalan Gudang Peluru no. 33 A, Jakarta Timur, 29 Juni 1981 itu. Ketika Tuminah menyiapkan minuman untuk mereka itu, tiba-tiba ia mendengar jeritan nyonya rumah, yang kemudian dijumpainya terkapar berlumur darah. Saat itu pula Tuminah tidak melihat lagi Fauzi dan teman-temannya. Dua orang teman Fauzi itu, Marzuki dan Bardi, pernah mengaku kepada TEMPO bahwa mereka membacok korban atas suruhan Fauzi. Keduanya mengatakan dibawa Fauzi dari Madura dengan janji akan dicarikan pekerjaan dengan gaji Rp 3.000 per hari. Tapi dalam perjalanan Surabaya-Jakarta, mereka diberitahu, pekerjaan apa sesungguhnya yang harus dilakukannya. "Sebagai orang Madura, masak kalian tidak malu, ada orang sendiri dikhianati istrinya," bujuk Fauzi, seperti dituturkan Bardi kepada TEMPO dalam bahasa Madura. Namun, akhirnya, semua pengakuan itu, yang juga diberikan ke polisi, dicabut kembali oleh kedua petani itu di sidang pengadilan. Biar begitu Jaksa Bangun tetap yakin bahwa pembunuhan Yulia didalangi Fauzi. Bahwa kemudian ia menuntut bebas, itu karena sebuah prinsip hukum tidak mungkin dilanggar: pertanggungjawaban hukum tidak bisa dimintakan dari orang yang tidak waras. Visum Dokter Djoko Soemartedjo dari RSPAD dan keterangan Dokter Dengara Pane dari RS Jiwa, Grogol, keduanya di Jakarta, cukup kuat untuk alasan itu. Apalagi semua pengunjung persidangan juga bisa melihat tingkah-polah Fauzi yang tampak tidak normal. Sebab itu, walau yakin tuduhan terbukti, Bangun meminta hakim membebaskan Fauzi. Sampai di sini persidangan itu lancar. Belakangan perkara itu jadi runyam. Tiga wartawan memergoki Fauzi dalam keadaan normal di luar sidang. Menurut para wartawan, yang kemudian dipanggil menjadi saksi, Fauzi bisa mengejar bis kota sendirian dan menawar bajaj. Akibatnya, jarang-jarang terjadi, hakim meminta agar pemeriksaan diulang kembali. Tim dokter RSCM, yang diketuai Wahyadi Darmabrata, menguatkan kesimpulan rekan-rekan sejawatnya. Tapi keanehan lain pun muncul. Jaksa Bangun justru berbalik -- mengubah tuntutannya. Ia minta agar hakim menghukum Fauzi 13 tahun penjara. Alasannya, sampai pemeriksaan dokter yang ketiga kali, tidak ada yang memastikan sejak kapan Fauzi menderita sakit jiwa. Sebab itu ia merasa yakin, ketika pembunuhan terjadi, tertuduh dalam keadaan sehat walafiat (TEMPO, 7 Mei). Sikap jaksa tersebut ternyata masih kalah mengejutkan dibanding putusan hakim: majelis membebaskan Fauzi. Menurut hakim, tidak seorang saksi pun yang dapat menunjuk dengan pasti, Fauzi maupun teman-temannya membunuh Yulia. Sebab itu selain Fauzi, dalam sidang terpisah, hakim juga membebaskan Marzuki dan Bardi dari tuduhan. Keduanya malah diperintahkan agar dikeluarkan dari tahanan sementara. Dalam pertimbangannya Hakim Ferdinandus tidak menjelaskan, buat apa meminta mengobservasikan Fauzi kembali ke RSCM. "Saya tidak bisa bicara banyak, semuanya telah saya tuangkan dalam keputusan," ujar Ferdinandus kepada TEMPO. Dalam putusannya tersebut hakim memakai visum dokter hanya untuk menguatkan dalil bahwa Fauzi tidak terbukti membunuh. Sebab pedagang besi tua itu, kata hakim, sudah tidak normal lagi sejak mengalami kecelakaan lalu lintas pada 1971. Ferdinandus tidak menyangkal adanya hubungan antara pembunuhan Yulia dengan kedatangan Fauzi di malam berdarah itu. Begitu juga kaburnya tertuduh setelah pembunuhan terjadi. Tapi, karena adanya visum yang meyakinkan bahwa Fauzi tidak normal itulah, hakim berpendapat semuanya itu bukan kehendak Fauzi. "Tentu ada orang lain yang mengajaknya," kata Ferdinandus. Sebuah teka-teki baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus