Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Rama Dan Sinta Dalam Goresan Cina

Buku "koleksi lukisan cina adam malik", diterbitkan. (sr)

4 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"RUMAH Batak" di daratan Tiongkok itu terletak di pinggir danau, berlatar belakang gunung dan bukit yang berkabut. Di sisi kanan, di atas danau, tergores tulisan Cina. Pemandangan yang terasa janggal ini hanya terdapat dalam sebuah lukisan. Satu di antara yang terkumpul dalam buku Koleksi Lskisan Cina Adam Malik yang terbit baru-baru ini. Itulah agaknya yang menarik pada koleksi lukisan bekas Wakil Presiden ini. Selain lukisan-lukisan klasik Cina, hampir separuh koleksi dalam buku ini merupakan lukisan Cina "masa kini" yang kurang lebih pelukisnya mempunyai hubungan dengan Indonesia. Sejarah seni rupa Indonesia memang agak mengabaikan kelompok pelukis Cina yang berkarya dengan gaya tradisi, meskipun sering mengambil obyek alam Indonesia. Padahal di tahun 1955, begitu kata Chung Ming Hsu yang memberikan pengantar tentang lukisan Cina dalam buku ini, di Jakarta terbentuk Lembaga Seniman Yin Hua. Beranggotakan sekitar 80 pelukis Cina, waktu itu tiap tahun mereka mengadakan pameran bersama di Jakarta. Tapi organisasi ini menurut Hsu, yang hingga kini tekun memonitor kegiatan pelukis Cina di Indonesia, memang tak berkembang. "Sebagian besar anggotanya pelukis amatir," katanya. Apalagi kemudian Lembaga Seniman Yin Hua digasak politik, dan bubar total ketika G30S meletus. Tapi secara perseorangan sejumlah kecil pelukis itu tetap melukis. Le Manfeng, misalnya, yang kini berusia 70 tahun, tetap berkarya. Adam Malik sedikitnya mempunyai koleksi dua lukisannya, Harimau dan Burung Kakatua. Juga Ye Taihua, 81 tahun, yang pernah menjadi ketua Yin Hua, masih tetap melukis. Dalam buku ini dua lukisannya, Hujan dan Kabut di Desa Nelayan, dan Kepiting dan Bunga Seruni. Menurut Chung Ming Hsu, kelahiran Tegal 1914 dan kemudian belajar di Shanghai College of Fine Art (1937-1938), memang ada usaha para pelukis itu untuk menyerap alam Indonesia. Tak lagi adil bilamana menilai karya pelukis Cina di Indonesia, dengan kaidah aliran Utara, aliran Selatan, atau aliran akademik. Jiang Yudi, 64 tahun, yang kini tinggal di Bandung, misalnya, suka melukis wayang. Dalam koleksi Adam, sebuah lukisannya menggambarkan pertemuan Rama dan Sinta. Bentuk figur memang bak wayang orang. Tapi dengan latar belakang pemandangan yang masih mirip seperti di Cina -- ada dua pohon plum, tanaman yang tak ada di Indonesia. Selain itu, sebagaimana lazimnya lukisan klasik Cina, ada pula inskripsi, dengan huruf Cina tentu saja. Bunyi inskripsi itu antara lain: Dengan kekuatan Jatayu Sakti/ Beserta bantuan Hanoman/ Ditempuh segala tantangan, menjemput istri. Haruskah hal itu dianggap janggal? Seperti lukisan rumah Batak berlatar belakang pemandangan alam Cina karya Shi Zonghan itu? Agaknya falsafah seni lukis Cina bagaimanapun tak bisa luntur begitu saja. Alam bagi pelukis Cina adalah terutama. Hingga sebuah lukisan berjudul Gambar Tuan Xio di Hadapan Lampu, selintas sulit dimengerti. Sebab, karya Tang Yiben (1778-1853) ini lebih menunjukkan gambar rumah di balik pohon-pohon pinus dengan latar belakang bukit. Ternyata, si Tuan Xiao itu berada di dalam rumah, duduk di hadapan meja, dan di atas meja itulah ada lampu. Tentu saja si Xiao dan lampunya hanya tampak sebesar semut, ditelan pohon dan bukit. Tekanan pada alam inilah agaknya menyebabkan Shi Zonghan tetap memberikan pemandangan alam berbau Cina, meski yang digambarkan rumah Batak. Rama dan Sintanya Jiang Yudi pun tetap berlatar belakang pohon-pohon plum. Bahkan bila para pelukis Cina di Indonesia hanya menggambar pemandangan bukit, hutan, sungai, sulit ditandai apakah itu pemandangan di sini atau di Tiongkok. Misalnya, Pemandangan Alam karya Peng Guo Qi, 78 tahun, yang khusus dibuat untuk Adam Malik, dan dilukis pada 1981 di Jakarta. Ada pohon pinus menjulang, ada sungai berair jernih, dan ada bukit-bukit tampak sayu jauh di latar belakang. Bagaimana orang tahu ini suatu pemandangan di Puncak, dan bukannya bukit di daratan Tiongkok? "Tentu saja orang harus belajar," kata Hsu. Dan menurut dia sebenarnya sangat berbeda. Misalnya, gunung dan bukit di Indonesia bila digambar hanya menyerupai sebuah onggokan. Sementara bukit-bukit di Tiongkok seperti tampak berlapis-lapis. Sebenarnya buku ini pun menyajikan beberapa lukisan pemandangan asli Tiongkok. Karya Wang Fu (1362-1416) misalnya. Atau kalau lukisan itu menampilkan figur pula, ada karya Zhao Yi yang hidup di abad ke-10, di zaman Dinasti Liang. Lukisan satu ini termasuk koleksi Adam Malik yang penting. Lukisan ini pernah menjadi koleksi Kaisar Huizong (abad ke-12), yang kemudian pindah tangan ke Kaisar Qianlong (abad ke-18). Buku ini oleh Chung Ming Hsu, yang kini menjadi dosen pengantar Sastra Cina Klasik di Fak. Sastra UI, diharapkan mengundang perhatian orang pada lukisan Cina di Indonesia, yang mengambil obyek Indonesia pula. Ia tak mencoba menonjolkan mutu "bagaimanapun lukisan zaman lampau nilainya masih lebih tinggi," katanya. Tapi kenyataan adanya usaha merekam alam dan pikiran Indonesia dalam gaya Cina, dianggapnya merupakan catatan sejarah seni rupa sendiri. Mungkin, setaraf dengan karya-karya orang Belanda dulu yang dikenal dengan karya Mooie Indie (Hindia Molek), yang merekam alam Indonesia dengan manis. Karena itulah dari 86 lukisan Cina yang diseleksinya dari sekitar 300 koleksi Adam Malik, hampir separuhnya merupakan lukisan Cina yang tinggal atau pernah tinggal di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus