"RUMAH Batak" di daratan Tiongkok itu terletak di pinggir danau,
berlatar belakang gunung dan bukit yang berkabut. Di sisi kanan,
di atas danau, tergores tulisan Cina. Pemandangan yang terasa
janggal ini hanya terdapat dalam sebuah lukisan. Satu di antara
yang terkumpul dalam buku Koleksi Lskisan Cina Adam Malik yang
terbit baru-baru ini.
Itulah agaknya yang menarik pada koleksi lukisan bekas Wakil
Presiden ini. Selain lukisan-lukisan klasik Cina, hampir separuh
koleksi dalam buku ini merupakan lukisan Cina "masa kini" yang
kurang lebih pelukisnya mempunyai hubungan dengan Indonesia.
Sejarah seni rupa Indonesia memang agak mengabaikan kelompok
pelukis Cina yang berkarya dengan gaya tradisi, meskipun sering
mengambil obyek alam Indonesia. Padahal di tahun 1955, begitu
kata Chung Ming Hsu yang memberikan pengantar tentang lukisan
Cina dalam buku ini, di Jakarta terbentuk Lembaga Seniman Yin
Hua. Beranggotakan sekitar 80 pelukis Cina, waktu itu tiap tahun
mereka mengadakan pameran bersama di Jakarta. Tapi organisasi
ini menurut Hsu, yang hingga kini tekun memonitor kegiatan
pelukis Cina di Indonesia, memang tak berkembang. "Sebagian
besar anggotanya pelukis amatir," katanya. Apalagi kemudian
Lembaga Seniman Yin Hua digasak politik, dan bubar total ketika
G30S meletus.
Tapi secara perseorangan sejumlah kecil pelukis itu tetap
melukis. Le Manfeng, misalnya, yang kini berusia 70 tahun, tetap
berkarya. Adam Malik sedikitnya mempunyai koleksi dua
lukisannya, Harimau dan Burung Kakatua. Juga Ye Taihua, 81
tahun, yang pernah menjadi ketua Yin Hua, masih tetap melukis.
Dalam buku ini dua lukisannya, Hujan dan Kabut di Desa Nelayan,
dan Kepiting dan Bunga Seruni.
Menurut Chung Ming Hsu, kelahiran Tegal 1914 dan kemudian
belajar di Shanghai College of Fine Art (1937-1938), memang ada
usaha para pelukis itu untuk menyerap alam Indonesia. Tak lagi
adil bilamana menilai karya pelukis Cina di Indonesia, dengan
kaidah aliran Utara, aliran Selatan, atau aliran akademik.
Jiang Yudi, 64 tahun, yang kini tinggal di Bandung, misalnya,
suka melukis wayang. Dalam koleksi Adam, sebuah lukisannya
menggambarkan pertemuan Rama dan Sinta. Bentuk figur memang bak
wayang orang. Tapi dengan latar belakang pemandangan yang masih
mirip seperti di Cina -- ada dua pohon plum, tanaman yang tak
ada di Indonesia. Selain itu, sebagaimana lazimnya lukisan
klasik Cina, ada pula inskripsi, dengan huruf Cina tentu saja.
Bunyi inskripsi itu antara lain: Dengan kekuatan Jatayu Sakti/
Beserta bantuan Hanoman/ Ditempuh segala tantangan, menjemput
istri.
Haruskah hal itu dianggap janggal? Seperti lukisan rumah Batak
berlatar belakang pemandangan alam Cina karya Shi Zonghan itu?
Agaknya falsafah seni lukis Cina bagaimanapun tak bisa luntur
begitu saja. Alam bagi pelukis Cina adalah terutama. Hingga
sebuah lukisan berjudul Gambar Tuan Xio di Hadapan Lampu,
selintas sulit dimengerti. Sebab, karya Tang Yiben (1778-1853)
ini lebih menunjukkan gambar rumah di balik pohon-pohon pinus
dengan latar belakang bukit. Ternyata, si Tuan Xiao itu berada
di dalam rumah, duduk di hadapan meja, dan di atas meja itulah
ada lampu. Tentu saja si Xiao dan lampunya hanya tampak sebesar
semut, ditelan pohon dan bukit.
Tekanan pada alam inilah agaknya menyebabkan Shi Zonghan tetap
memberikan pemandangan alam berbau Cina, meski yang digambarkan
rumah Batak. Rama dan Sintanya Jiang Yudi pun tetap berlatar
belakang pohon-pohon plum. Bahkan bila para pelukis Cina di
Indonesia hanya menggambar pemandangan bukit, hutan, sungai,
sulit ditandai apakah itu pemandangan di sini atau di Tiongkok.
Misalnya, Pemandangan Alam karya Peng Guo Qi, 78 tahun, yang
khusus dibuat untuk Adam Malik, dan dilukis pada 1981 di
Jakarta. Ada pohon pinus menjulang, ada sungai berair jernih,
dan ada bukit-bukit tampak sayu jauh di latar belakang.
Bagaimana orang tahu ini suatu pemandangan di Puncak, dan
bukannya bukit di daratan Tiongkok?
"Tentu saja orang harus belajar," kata Hsu. Dan menurut dia
sebenarnya sangat berbeda. Misalnya, gunung dan bukit di
Indonesia bila digambar hanya menyerupai sebuah onggokan.
Sementara bukit-bukit di Tiongkok seperti tampak berlapis-lapis.
Sebenarnya buku ini pun menyajikan beberapa lukisan pemandangan
asli Tiongkok. Karya Wang Fu (1362-1416) misalnya. Atau kalau
lukisan itu menampilkan figur pula, ada karya Zhao Yi yang hidup
di abad ke-10, di zaman Dinasti Liang. Lukisan satu ini termasuk
koleksi Adam Malik yang penting. Lukisan ini pernah menjadi
koleksi Kaisar Huizong (abad ke-12), yang kemudian pindah tangan
ke Kaisar Qianlong (abad ke-18).
Buku ini oleh Chung Ming Hsu, yang kini menjadi dosen pengantar
Sastra Cina Klasik di Fak. Sastra UI, diharapkan mengundang
perhatian orang pada lukisan Cina di Indonesia, yang mengambil
obyek Indonesia pula. Ia tak mencoba menonjolkan mutu
"bagaimanapun lukisan zaman lampau nilainya masih lebih tinggi,"
katanya. Tapi kenyataan adanya usaha merekam alam dan pikiran
Indonesia dalam gaya Cina, dianggapnya merupakan catatan sejarah
seni rupa sendiri. Mungkin, setaraf dengan karya-karya orang
Belanda dulu yang dikenal dengan karya Mooie Indie (Hindia
Molek), yang merekam alam Indonesia dengan manis. Karena itulah
dari 86 lukisan Cina yang diseleksinya dari sekitar 300 koleksi
Adam Malik, hampir separuhnya merupakan lukisan Cina yang
tinggal atau pernah tinggal di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini