Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Sebelas perupa Bali menyuarakan situasi Pulau Dewata saat ini lewat karya-karya mereka.
Mereka berbicara tentang tradisi, budaya, akulturasi, hingga persoalan lingkungan.
Para perupa Bali cukup kritis menyuarakan beragam persoalan yang penting menjadi perhatian.
DUA karya yang terpampang di bidang dinding itu punya obyek yang sama: rusa di depan gapura. Satu karya menampilkan dua rusa dalam latar warna monokrom, sementara yang lain dalam warna dominan biru-putih. Uniknya, rusa ini ditonjolkan secara berbeda oleh perupa. Rusa dalam warna monokrom dibentuk menonjol ke dalam, menjadi cekung di bidang kanvas. Sementara itu, rusa dengan latar biru ditampilkan menonjol ke luar. Kanvas pada bentuk rusa atau menjangan menjadi cembung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya Made Wiguna Valasara ini dipajang dalam pameran seni rupa bersama bertajuk “Arung” di Can’s Gallery di kawasan Tanah Abang, Jakarta, pada 25 Januari-24 Februari 2025. Pameran ini menghadirkan karya sebelas perupa Bali. Mereka adalah Budi Agung Kuswara, I Gede Sukarya, Kuncir Sathya Viku, Made Valasara, Darmika Solar, Jemana Murti, Kemalezedine, Wayan Kun Adnyana, Nyoman Darmawan, Putu Sutawijaya, dan I Wayan Upadana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Valasara adalah perupa 42 tahun lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Karyanya kali ini terinspirasi dari altar pelinggih menjangan seluang berbentuk patung atau kepala rusa. Altar yang ditemukan di persembahyangan keluarga itu merupakan bukti pengaruh Kerajaan Majapahit lewat Mpu Kuturan. Dialah sosok yang mengenalkan tata dasar spiritual masyarakat Hindu Bali, tak terkecuali dalam upacara dan bangunan suci. Valasara menghubungkan warisan, memori, dan penghormatan terhadap Mpu Kuturan dengan tradisi masa kini yang masih berlangsung.
Senapas dengan itu adalah karya I Gede Sukarya, perupa 30 tahun dari desa tua Bulian di Buleleng, Bali. Lulusan ISI Denpasar ini menyajikan karya dalam pahatan atau tatahan di kulit dengan dua sosok laki-laki dan perempuan. Dalam dua lembar kulit binatang yang ditatah, sosok itu seperti wayang yang mengenakan kostum tradisional—metode kuno dalam pembuatan kostum ataupun wayang Bali.
Sukarya menghadirkan pahatan relief dari pura persembahyangan yang cenderung dihilangkan setelah dipugar saat ada bantuan sosial. Keresahannya muncul setelah melihat relief-relief di sejumlah pura tua di sekitar Buleleng, terutama Pura Maduwe Karang di Desa Kubutambahan. Dua sosok yang berpakaian lengkap itu seperti mengingatkan pada Bali di masa lampau.
Lukisan Untittled Blue Landscape karya Kemalezedine pada pameran Arung di Can’s Gallery, Jakarta, 12 Februari 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Para seniman dalam pameran ini mengolah seni tradisi Bali sambil mengurai persoalan masyarakatnya. Akulturasi budaya tergambar dalam karya Budi Agung Kuswara, Anonymous Deities from the East. Di tengah karya itu tampak seorang perempuan aristokrat mengenakan mahkota tradisional. Dia tampak duduk diapit dua guci Cina yang berisi lembar dedaunan Heliconia atau bunga pisang-pisangan.
Kuswara, perupa 43 tahun lulusan ISI Yogyakarta, menggunakan cyanotype, teknik cetak fotografi dengan pencahayaan matahari. Ia juga menggabungkan inspirasi lukis Bali-nya dengan lukisan wayang Kamasan dan membalikkan fungsi dekorasi kemegahan aristokrasi dan spiritualnya. Melalui karyanya, ia seakan-akan menantang sejarah kolonial dan identitas budaya melalui figur di balik kemeriahan industri wisata.
Kuncir Sathya Viku, perupa 35 tahun lulusan Jurusan Desain dan Komunikasi ISI Denpasar, juga mengolah kembali teknik lukis Bali dengan bahasa visual tradisi mantra kuno Bali atau rerajahan. Karyanya mendeformasi rerajahan yang ditemukan sehari-hari yang cukup surealistik dalam sebuah karya satire melalui kertas ulantaga atau mulberry paper. Kertas ini biasa digunakan untuk upacara dan merupakan medium menggambar rerajahan sesungguhnya.
Isu lingkungan hadir dalam karya abstrak dan figuratif. Darmika Solar, perupa 34 tahun lulusan Jurusan Seni Lukis ISI Yogyakarta, dan Wayan Kun Adnyana, perupa 49 tahun yang juga pengajar Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Denpasar, menghadirkan keresahan masyarakat Bali dan persoalan sumber air yang makin karut-marut. Air, bagi masyarakat Bali, sangat sakral, tapi kini sumbernya makin tergerus.
Kun menampilkannya dengan figur-figur manusia, pedoa yang memohon hujan di sekitar pohon besar tanpa daun dengan gambaran alam yang kerontang dan warna biru yang merefleksikan air. Adapun Darmika dengan karya kolasenya menggabungkan sebuah realisme, pixel art, dan pop art yang mewujud dalam tiga patung di tiga panel bertajuk Guardian of Holy Water (2025).
Nyoman Darmawan, perupa yang mempelajari seni rupa secara formal di ISI Denpasar, membawa salah satu teknik lukis Bali ke ranah yang lebih metaforik, surealis, dan kontemporer. Dengan teknik lukis pengosekan, ia menciptakan ruang imajinatifnya. Teknik yang dipelajari secara turun-temurun dari keluarga dan tetangganya itu menghadirkan karya yang terlihat vulgar serta menekankan keberagaman estetika tentang narasi tubuh, seksualitas, spiritualitas, dan kehidupan kolektif. Dia mengaplikasikan tinta cina ke bidang kanvas dua karyanya. Karya Bermain Air yang berwarna abu-abu tua seperti menyembunyikan kevulgaran keberagaman estetika narasi itu.
Lukisan Bermain Air (kanan) dan Kurasakan Lagi (kiri) karya Nyoman Darmawan. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Modernitas Bali ditampilkan dalam karya yang lebih kontemporer oleh Kemalezedine, Jemana Murti, dan I Wayan Upadana. Kemalezedine, perupa 47 tahun lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, menghadirkan sepotong lanskap yang seperti dipotret dari udara. Di sana pepohonan, gunung, dan bukit seperti dalam sebuah ekosistem dengan sekelompok permukiman dengan dinding dan genting-genting rumah ditempatkan di sisi pinggir agak ke atas.
Kemal—panggilan akrab Kemalezedine—mencoba mencari sintesis antara prinsip-prinsip formalis dalam seni lukis modern dan sumber visual/metode dari tradisi seni lukis Bali untuk menjadi gagasan seni lukisnya dalam konteks seni lukis kontemporer. Kedua kutub tersebut dapat menghasilkan berbagai bentuk lukisan hibrida yang menjadi kekuatan lukisannya.
Beberapa tahun belakangan, Kemal intens mencoba berbagai kemungkinan sintesis tersebut. Lantaran bukan penduduk asli Bali, Kemal tidak terbebani oleh pakem tradisi seni lukis. Kemal mengatakan bahwa ia memperhatikan karakter gambar dalam seni lukis Bali serta mendalami metode dan tahapan pembentukan garis seni lukis Bali. Seni lukis klasik Bali terpengaruh wayang beber dan wayang kulit Jawa yang menekankan kedataran figur atau obyek, tapi kali ini ia mencoba membebaskannya. Lukisannya bertumpuk, berulang, dan renik di atas warna yang membleber membentuk ilusi tiga dimensi. Bisa dikatakan lukisan Kemal merupakan abstraksi lukisan tradisional Bali, dengan penekanan pada gubahan visual yang lebih personal. “Jadi saya berbicara teknik dan medium di dalam seni lukis Bali. Secara visual, saya meminjam dari lukisan Batuan di Bali,” ujarnya kepada Tempo pada Kamis, 13 Februari 2025.
I Wayan Upadana, lulusan ISI Yogyakarta, dan Jemana Murti, lulusan Nanyang Academy of Fine Arts, Singapura, menghadirkan karya-karya tiga dimensi. Jemana menciptakan kesan efek “glitch” dalam karya yang dicetak tiga dimensi. Karya Upadana seperti sesuatu yang terlilit dalam seri Napas. Ia membincangkan tegangan dalam kehidupan banal manusia dan ada kesan sesak terikat dan tak bisa bernapas.
Putu Sutawijaya, perupa senior lulusan ISI Yogyakarta, tampil dengan tiga karya yang menghadirkan tiga sosok laki-laki yang memunggungi pengunjung. Sosok itu duduk bersila dengan punggung tegak tapi cukup santai dan kepalanya tertunduk. Goresan dan leleran garis-garis cat di atas dan sekelilingnya seperti rumitnya kehidupan yang membingkainya.
Para perupa melihat potensi seni tradisi Bali untuk dikembangkan lebih lanjut dalam berbagai ekspresi dan teknik serta dan medium. Hal itu mereka lakukan sembari menyoroti berbagai masalah di Pulau Dewata. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Sebelas Mengeksplorasi Tradisi Bali