Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namanya Lita Uditomo. Pekerjaannya guru piano. Ia tinggal di perumahan Griya Depok Asri, sebuah kompleks perumahan mewah di Kota Depok, Jawa Barat. Anaknya tiga, sudah remaja semua. Karena anak-anaknya itulah Lita bermaksud mendirikan gugus depan (gudep) pramuka.
Lita dan tetangga-tetangganya risau dengan minat anak-anak dan remaja di kompleks perumahan. Jika Sabtu dan Minggu, putra-putri mereka merengek mengajak ke mal yang banyak bertebaran di Depok. Ada pula yang asyik di kamarnya, sibuk bermain PS alias PlayStation. Para orang tua yang umumnya profesional muda itu akhirnya sepakat menghidupkan aktivitas pramuka pada anak-anak muda itu.
Maka, Lita kirim surat elektronik ke mailing list pramuka, mencari tahu bagaimana cara mendirikan gudep. Beberapa anggota mailing list langsung memberi informasi prosedur mendirikan gudep, termasuk info tentang Kwartir Cabang Gerakan Pramuka Depok untuk mendapatkan pembina pramuka.
Semua petunjuk diikuti Lita yang lulusan ITB itu dan suaminya yang bekerja di perusahaan pertambangan. Mulailah, pada Februari, Lita menggelar latihan pramuka di kompleks perumahannya. Ahad pukul 08.00 di halaman Masjid Al-Mukhlishun perumahan tersebut sudah berkumpul 17 anak usia 7–9 tahun dan 16 remaja kompleks. Mereka menunggu pembina dari Kwartir Depok.
Tiga puluh menit lewat, namun sang pembina belum juga muncul. Hampir satu jam, baru yang ditunggu muncul. Pekan berikutnya kejadian yang sama berulang. ”Akhirnya, kami putuskan yang menjadi pembina adalah kita-kita orang tua yang dulu pernah menjadi anggota pramuka,” kata Lita. Majelis pembimbing lalu dibentuk. Jatuhlah pilihan ketua pada Retno Haraswati. Retno, 63 tahun, sudah tak asing dengan dunia pramuka. Ia pernah menjadi anggota Pandu Rakyat Indonesia pada 1950-an.
Tiap Ahad pukul 08.00–09.30 gudep pramuka di perumahan Lita berlatih secara rutin. Mereka juga sering mengadakan perkemahan di Cibodas dan kaki Gunung Salak di Bogor, Jawa Barat. Lita juga membuat blog Pramuka Al-Mukhlishun di Internet. Foto-foto kegiatan Siaga dan Penggalang Gudep ia pamerkan di situs ini. Tampaknya dia ingin menunjukkan bahwa tanpa bantuan kwartir atau pemerintah, warga bisa mengambil inisiatif membentuk gudep.
Lita bukan satu-satunya mantan anggota pramuka yang berinisiatif mendirikan gudep di perumahan mewah. Di beberapa daerah muncul kesadaran membentuk gudep yang berpangkalan di kompleks perumahan atau kelurahan. ”Kami terus mendorong pembentukan gudep teritorial ini,” kata Ketua Kwartir Nasional Prof. Dr. Azrul Azwar. Akhir Oktober ini, Azrul dan Kepala Staf TNI AD Jenderal Joko Santoso, misalnya, bakal meresmikan berdirinya gudep di tangsi atau kompleks perumahan TNI.
Di masa Orde Baru, gudep-gudep teritorial banyak yang mati atau tak berkembang. Itu karena pramuka lebih banyak difokuskan di sekolah-sekolah. Letjen (Purn.) Mashudi yang menjadi Ketua Kwartir Nasional mengakui bahwa kebijakan itu tidak lepas dari arahan pemerintah. Sekitar awal 1980-an, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan membuat edaran agar setiap sekolah membentuk gudep.
Walhasil, kebijakan itu membuat gudep yang berpangkalan di wilayah mati dengan sendirinya. Padahal, sejak Gerakan Pramuka berdiri pada 14 Agustus 1961, sebagian besar gudep berpangkalan di perumah an, misalnya di kompleks tentara, perumahan kar yawan Pertamina, PN Timah, dan lainnya.
Di masa Orde Baru, rata-rata kepala sekolah dasar dan menengah mewajibkan siswa mereka mengikuti pelatihan pramuka. Setiap Sabtu semua pelajar berseragam pramuka. ”Padahal sukarela adalah salah satu prinsip menjadi anggota pramuka seperti yang ditegaskan Baden-Powell,” kata Wakil Ketua Kwartir Nasional Endy Atmasulistya.
Para guru terpaksa menjadi pembina pramuka. Me reka umumnya guru yang dikarbit menjadi pembina. Tak mengherankan jika sering kali terjadi konflik pe ran sebagai guru atau pembina. Mereka menyampaikan materi latihan pramuka secara massal di dalam kelas, padahal metode kepramukaan mengajarkan sistem beregu, tanda kecakapan, dan latihan di alam terbuka.
Banyaknya gudep di sekolah membuat peran guru dominan dalam kepengurusan di kwartir ranting (organisasi pramuka di tingkat kecamatan) dan kwartir cabang (tingkat kabupaten/kota). Organisasi pramuka tak ubahnya kepanjangan tangan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada pertengahan 1990-an, seiring dengan munculnya di sekolah-sekolah kegiatan ekstrakurikuler seperti sains, pencinta alam, olahraga, pemandu so rak, dan band, banyak gudep yang berpangkalan di sekolah menengah kota-kota besar tutup warung, misalnya di SMA 6 dan SMA 70 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Juga di SMA 1 dan SMA 4 Jakarta Pusat. Beberapa SMP di Jakarta juga mengalami hal serupa. Gudep sepi karena para pelajar lebih tertarik mengikuti ekstrakurikuler lain.
Kwartir Nasional kini berbenah di semua jajarannya. Azrul Azwar ingin menjadikan bumi perkemahan yang ada di setiap kwartir daerah menjadi ”kampus”. ”Ia menjadi wahana yang menyediakan fasilitas pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pengembangan,” kata Azrul.
Kepala Lembaga Pendidikan Kepramukaan Ting kat Nasional Joko Mursito berharap terjadi kaderisasi dalam organisasi. ”Pengurus kwartir sebaiknya dipegang kalangan profesional dan generasi muda,” kata Joko, yang Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Metro, Lampung. Menurut Joko, kehadiran gudep di kompleks perumahan tampaknya perlu didorong untuk menjadi salah satu sumber kaderi sasi.
Untuk itu diperlukan lagi banyak orang seperti Lita Uditomo, yang aktif mendirikan gudep tanpa banyak bergantung pada pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo