Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WACANA penolakan hitung cepat suara pemilihan presiden 2019 merisaukan Presiden Joko Widodo. Bukan karena sebagian besar lembaga survei menempatkan dia bersama calon wakil presiden Kiai Haji Ma’ruf Amin mengungguli pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno, tapi lantaran metode ilmiah itu tergusur post-truth. "Rasionalitas kita hilang," kata Jokowi. Dikenal juga dengan pasca-kebenaran, post-truth adalah kondisi ketika fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jokowi, 57 tahun, merasa mendapat angin setelah membaca Koran Tempo edisi Kamis, 25 April 2019. Dia menggunting dan menyimpan editorial harian itu di meja kerjanya. Bertajuk "Propaganda Kecurangan Pemilu", tulisan itu menyatakan seruan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno untuk tidak mempercayai hasil hitung cepat pemilihan presiden 2019 sebagai pembodohan. Ia juga bicara sedikit tentang kabinet pemerintahannya kelak yang tak ingin mendikotomi menteri berlatar belakang profesional dengan partai. Berikut ini kutipan wawancara wartawan Tempo, Budi Setyarso dan Reza Maulana, dengan Jokowi di Istana Bogor, Jumat, 26 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengapa editorial Koran Tempo itu menjadi perhatian Anda?
Kami menghargai keberanian menulis seperti ini. Kenapa gak ada yang berani menulis seperti ini sebelumnya? Coba kita baca, "Segala propaganda untuk mendelegitimasi hasil Pemilihan Umum 2019 harus segera diakhiri. Tudingan tanpa bukti tentang kecurangan yang disampaikan berulang-ulang bisa menggerus kepercayaan publik atas hasil pemilu." Di zaman post-truth seperti sekarang, ini berbahaya.
Berbahaya bagaimana?
Seperti tertulis di sini, "Sikap yang tidak sportif, bahkan kotor, itu akan membahayakan demokrasi." Benar itu. Berbahaya banget. Rakyat sudah berpesta di pemilu. Kita sudah habis Rp 25 triliun untuk pemilu, kemudian dirusak oleh langkah-langkah seperti itu. Muncul istilah kecurangan yang "terstruktur, sistematis, masif" (TSM). Seolah-olah curang di mana-mana. Pada pemilihan presiden 2014, istilah TSM ini pernah muncul. Sekarang tambah "brutal". Aduh. Kasihan rakyat. Mereka jadi bingung.
Bukankah memang ditemukan sejumlah kecurangan?
Ada kecurangan, ya. Tapi tidak seperti yang dituduhkan itu. Curang, curang, curang. Calon anggota legislatif, misalnya, juga ingin menang kalau ada peluang.
Kalau memang tidak seperti yang dituduhkan, mengapa Anda tidak membantah?
Kalau diwawancarai, saya maunya ceplas-ceplos saja. Tapi saya tidak dibolehkan oleh sama tim, sama Bey (Machmudin). Dia bilang, "Jangan, Pak. Nanti panas, Pak." Tapi, melihat dan mendengar semua ngomong terstruktur, sistematis, masif, ditambah brutal, saya gak tahan juga, lho.
Anda membaca semua editorial media massa?
Kalau ada hal-hal yang positif, saya kliping sebagai bahan bacaan. Tidak ada yang berani ngomong seperti tajuk Koran Tempo. Media, juga pemimpin-pemimpin nonformal, harus menjernihkan wacana di publik. Kalau tidak, kabar bohong membodohi kita semua. Rasionalitas kita jadi hilang.
Tim Prabowo mengajak masyarakat tidak mempercayai hitung cepat pemilihan presiden. Tanggapan Anda?
Quick count dari dulu gak ada yang meleset jauh akurasinya. Survei bisa meleset, tapi quick count tidak. Itu ilmu statistika. Kami mengajak masyarakat berpikir sesuai dengan nalar dan secara ilmiah.
Tapi Anda malah meminta pendukung menunggu hasil penghitungan suara Komisi Pemilihan Umum, 22 Mei mendatang.
Ya, sekali lagi, sabar. Resminya, kita harus menunggu.
Anda juga meminta 25 pemimpin negara yang mengucapkan selamat untuk bersabar?
Ha-ha-ha.... Saya bilang terima kasih saja.
Apa upaya Anda untuk merekatkan kembali masyarakat yang terbelah karena pemilihan presiden?
Kami mengutus Pak Luhut (Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan) untuk bertemu dengan Pak Prabowo. Kalau bisa bertemu, dilihat rakyat, kan baik. Menurut saya, ini pendidikan politik yang baik. Tapi Pak Luhut belum sampai bertemu dengan Pak Prabowo, baru berbicara lewat telepon.
Tidak mencoba bertemu dengan Sandiaga Uno?
Ya. Nanti kita coba satu per satu. Pak Ma’ruf mau ketemu beliau.
Pertemuan dengan Zulkifli Hasan bagian dari rekonsiliasi?
Pertemuan-pertemuan seperti itu kan merupakan komunikasi politik biasa. Kami bertemu setelah pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Murad Ismail-Barnabas Orno di Istana Negara.
Kapasitas Zulkifli sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Ketua Umum Partai Amanat Nasional (pendukung Prabowo dalam pemilihan presiden 2019)?
Yang saya tahu cuma Pak Zul, ha-ha-ha.... Apakah sebagai Ketua MPR atau Ketua PAN, bagi saya bisa keduanya.
Benarkah Anda meminta Wakil Presiden Jusuf Kalla menjembatani komunikasi dengan Prabowo?
Untuk kepentingan yang baik, siapa pun bisa, termasuk Pak JK.
Tim Prabowo menyatakan tidak perlu rekonsiliasi...
Kalau dianggap tidak perlu, ya, tidak bisa ketemu, ha-ha-ha.... Tapi niat kami ingin bertemu.
Mengapa Anda menganggap pertemuan itu penting?
Untuk menyejukkan suasana setelah panasnya pemilu. Tugas pemimpin kan itu, bukan memanaskan suasana yang sudah dingin.
Bagaimana dengan rekonsiliasi, seperti merangkul lawan politik masuk pemerintahan?
Terlalu dini berbicara mengenai itu. Kami berkonsentrasi dulu sampai pengumuman resmi penghitungan suara KPU.
Seperti apa gambaran kerja pemerintahan Jokowi-Ma’ruf lima tahun ke depan?
Banyak sekali yang harus kami lakukan. Tetap melanjutkan pembangunan infrastruktur, penyederhanaan regulasi dan kelembagaan, serta pembangunan sumber daya manusia.
Sejumlah proyek infrastruktur dinilai tak tepat sasaran...
Kita ini kan senang yang instan. Kadang-kadang kita harus siap berpahit-pahit dulu. Pembangunan infrastruktur kadang baru bisa dinikmati dua, lima, atau sepuluh tahun ke depan karena harus dikoneksikan dengan kawasan industri, wisata, atau lainnya. Sekarang masih berproses agar terkoneksi.
Kenyataannya, membangun pinggiran tidak berkorelasi positif pada dukungan untuk Anda dalam pemilihan presiden.
Tidak. Di Papua, kami dapat 94 persen suara. Di Nusa Tenggara Timur juga hampir 90 persen, he-he-he.... Sekali lagi, kita ini bernegara, bukan hanya berpolitik dan berekonomi.
Akan ada perubahan kabinet karena disesuaikan dengan rencana kerja Anda?
Ya, mungkin banyak. Wong yang dikerjakan sekarang berbeda.
Betulkah Anda akan merombak kabinet sebelum pelantikan?
Ah, penghitungan suara di KPU saja belum rampung. Satu-satulah.
Kabarnya, reshuffle akan dilakukan lebih awal sehingga kabinet bisa langsung bekerja seusai pelantikan Anda dan Kiai Ma’ruf pada Oktober nanti?
Ya, bisa saja seperti itu... bisa saja tidak, he-he-he....
Seperti apa komposisi ideal antara profesional dan politikus di kabinet?
Kita gak usah mendikotomi profesional dan politikus. Di partai, orang profesional pun banyak.
Anggota kabinet Anda tersandung kasus korupsi. Bagaimana menghindari kesalahan serupa ke depan?
Perbaikan sistem. Kalau sistem belum baik, sampai kapan pun orang bisa melompat pagar dan terkena masalah. Pasti akan ada kasus-kasus hukum seperti itu.
Apakah perlu perbaikan dalam penyaringan calon menteri?
Saringan apa? He-he-he.... Disaring seperti apa pun kalau sistem belum baik, saya gak yakin. Kita ngomong apa adanya.
Bagaimana pembagian tugas Anda dengan Kiai Ma’ruf?
Sama seperti dengan Pak JK. Saya gak pernah berbagi peran dengan wakil. Misalnya, peran Pak Ma’ruf lebih banyak dari saya juga gak apa-apa, he-he-he....
Anda ingin dikenang sebagai apa pada akhir masa jabatan lima tahun mendatang?
Saya orangnya gak muluk-muluk. Tugas saya adalah bekerja sekeras-kerasnya. Setelah selesai, rakyat dan sejarah yang akan mencatatnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo