Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pro-Kontra Mega dalam Fikih 'Nahdliyin'

18 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

URUSAN boleh tidaknya wanita memimpin negeri ini masih terus berkecamuk di Nahdlatul Ulama (NU). Berbagai pertemuan para kiai NU menghasilkan keputusan bermacam ragam. Sikap final tak kunjung terumuskan. Pertemuan yang digelar di Pondok Pesantren Lirboyo, Jawa Timur, Sabtu dua pekan lalu, cuma menghasilkan sejumlah syarat normatif: berkemampuan, punya integritas, dan adil. Yang paling berat, merujuk pada kitab kuning, buku fikih klasik di pesantren, ia haruslah seorang mujtahid sekelas Imam Syafii, salah seorang peletak landasan hukum Islam. Berat, memang. Yang menarik, merujuk pada panduan itu, pertemuan ini menilai tak satu pun kandidat yang ada—termasuk Gus Dur—memenuhi kriteria ideal itu. Untuk menengahi khilafiyah (perbedaan pandangan) itulah, akhir pekan lalu digelar seminar nasional bertema "Tafsir Wacana Gender dalam Islam", di Baturaden, Purwokerto, Jawa Tengah. Forum yang digelar Panitia Muktamar NU ke-30 ini akan mengambil kata akhir untuk menentukan garis kaum nahdliyin atas langkah Mega ke tampuk kepresidenan. Hasilnya akan dikukuhkan saat Muktamar NU, November mendatang—tak jauh dengan momen sidang umum MPR. Sedikitnya 250 kiai dan cendekiawan ternama NU dari berbagai daerah berkumpul. Selain Gus Dur, hadir Rais Aam, K.H. Ilyas Ruchiyat, Katib Syuriah, K.H. Said Aqiel Siradj, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Matori Abdul Jalil, pengamat dan ahli fikih Masdar F. Mas'udi, dan novelis Ahmad Tohari. Meski tak akan menghasilkan keputusan setingkat fatwa, menurut Ilyas Ruchyat, perhelatan ini akan menghasilkan sebuah kesepakatan. "Dan itu harus diamalkan oleh semua warga nahdliyin," katanya. Jalur lain juga ditempuh lewat jajak pendapat yang disebar ke 1.000 kiai NU di Jawa dan Madura. Hasil sementara, menurut Said Aqiel, dari 200 responden, cuma 30 orang (15 persen) yang menyatakan tidak setuju. Suara menolak Megawati, misalnya, pernah datang dari Pondok Pesantren Ihya'us Sunnah, Pasuruan, Jawa Timur, bulan lalu. Sebelumnya, pertemuan Rembang justru mengeluarkan nada pro. Di sini, K.H. Mustofa Bisri, yang jadi tuan rumah, bahkan mengecam sejumlah manuver yang memanipulasi sentimen keagamaan dalam penentuan pimpinan nasional.


Wakil Panglima TNI, Sebelum Wiranto ke Istana?
GERBONG TNI kembali bergerak. Kali ini lokomotifnya adalah pengangkatan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Widodo A.S. sebagai Wakil Panglima TNI. Sabtu kemarin, Widodo dilantik Presiden Habibie di Istana Negara. Selanjutnya, jabatan KSAL diserahterimakan kepada Wakil KSAL Laksamana Madya Ahmad Sutjipto. Spekulasi tak pelak berkembang. Maklum, setelah mati suri hampir 15 tahun lamanya—terakhir dijabat KSAL waktu itu, Laksamana Sudomo—baru kali inilah jabatan itu dihidupkan kembali. Dan itu terjadi menjelang sidang umum MPR, ketika nama Panglima TNI Wiranto santer disebut-sebut sebagai salah satu kandidat kuat wakil presiden. Untuk itulah, demikian kabar itu, Wiranto segera menyiapkan penggantinya. Tapi, spekulasi itu ditepis Wakil Kepala Pusat Penerangan TNI, Brigjen Sudrajat. Ia menjelaskan, pengangkatan itu semata-mata karena kebutuhan organisasi TNI. "Tidak ada urusannya dengan persiapan Pak Wiranto bila menjadi pemimpin nasional," katanya lagi. Lalu, kenapa Widodo yang dipilih? Bukankah ada Kepala Staf Teritorial TNI Letjen Susilo Bambang Yudhoyono dan Gubernur Lemhanas Letjen Agum Gumelar, yang kerap disebut-sebut sebagai calon kuat pengganti Wiranto? Tak ada jawaban pasti. Cuma, kabarnya, langkah ini ditempuh untuk mengikis kesan eksklusif Angkatan Darat, yang selalu dianggap sebagai garda depan TNI.


Suara Abstain Amien Rais
KARTU abstain boleh jadi akan dimainkan Amien Rais di sidang umum MPR, November mendatang. Pernyataan mengejutkan itu dilontarkan sang Ketua Partai Amanat Nasional di hadapan seminar bertajuk "Reformasi—Indonesia's Election", yang diselenggarakan Grup Castle di Singapura, Rabu pekan lalu. Tampil sebagai pembicara kunci, Amien mengajukan dua kriteria utama bagi calon presiden mendatang. Pertama, figur yang punya komitmen terhadap rekonsiliasi nasional. Landasan utamanya, mengajukan mantan presiden Soeharto ke meja hijau. Kedua, menjamin sepenuhnya hak rakyat Timor Timur untuk menentukan masa depannya sendiri. Nah, jika tak ada satu pun yang memenuhi persyaratan itu, "Saya akan memilih abstain," kata Amien. Selain itu, ia pun mewanti-wanti PDI Perjuangan—yang meraih 35 persen suara dalam pemilu lalu—untuk tak terburu-buru menyatakan diri sebagai pemenang. "Mega mesti menyadari," katanya lagi, "bahwa 65 persen rakyat tidak memilihnya." Toh, kabarnya, bukan berarti Amien akan menjegal langkah Mega ke Istana. "Itu lebih dimaksudkan agar Mega mau mengadopsi ide-ide reformis PAN," kata seorang tokoh PAN. Malam sebelumnya, Amien juga bertemu dengan puluhan pengusaha papan atas Negeri Singa. Mereka menyambut positif ide koalisi PDI Perjuangan, PKB, dan PAN dalam pemerintahan mendatang, sebagai lampu hijau untuk mengalirkan kembali investasinya ke Tanah Air.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus