Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Profil Nano Riantiarno, Pendiri Teater Koma yang Meninggal Pagi Ini

Nano Riantiarno mendapatkan piagam penghargaan dari Menteri Pariwisata Seni dan Budaya sebagai seniman dan budayawan berprestasi pada 1999.

20 Januari 2023 | 12.42 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pendiri Teater Koma Nobertus Riantiarto atau yang lebih dikenal sebagai Nano Riantiarno, wafat pada Jumat, 20 Januari 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Telah berpulang ke rumah Bapa di Surga, suami, ayah, kaka, guru kami tercinta, Nobertus Riantiarno," bunyi pesan singkat yang diterima Tempo hari ini.

Berikut profil Nano Riantiarno

Robertus Riantiarno akrab disapa Nano Riantiarno adalah sosok pendiri Teater Koma sejak 1 Maret 1977. Pencapaian yang diraih Teater Koma dari mulai berdiri hingga 2006 telah menggelar sekitar 111 produksi panggung dan televisi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aktor, sekaligus penulis dan sutradara ini lahir di Cirebon pada 6 Juni 1949, 73 tahun silam. Nano menamatkan Sekolah Menengah Atas pada 1967 kemudian melanjutkan kuliah di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) Jakarta. Saat berkuliah, ia bergabung dengan Teguh Karya dan turut serta mendirikan Teater Populer pada 1968.

Perjalanan berkariernya di dunia hiburan berlanjut hingga jenjang pendidikan selanjutnya, pada 1971 ia masuk Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara dan mendirikan Teater Koma enam tahun kemudian.

Melansir dari kanal teaterkoma.org, pria kelahiran Cirebon, Jawa Barat itu menikah dengan seorang aktris Ratna Karya Madjid Riantiarno pada 23 April 1952 dan dikaruniai tiga orang putra.

Pada masa-masa berkariernya, anak dari pasangan Albertus Sumardi dan Agnes Artini ini sering memanggungkan karya-karya penulis kelas dunia. Mulai dari The Threepenny Opera dan The Good Person of Schechzwan karya Bertolt Brecht, The Comedy of Error dan Romeo Juliet karya William Shakespeare, Women in Parliament karya Aristophanes, dan lainnya.

Nano berkeliling Indonesia untuk mengamati teater rakyat dan kesenian tradisi pada 1975. Tidak hanya di tanah air, ia juga sempat berkeliling Negeri Sakura, Jepang untuk menghadiri undangan dari Japan Foundation pada 1987 dan 1997. Pada sekitar tahun 1986 hingga 1999, mantan Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta ini juga mengunjungi beberapa negara di dunia seperti Skandinavia, Inggris, Perancis, Belanda, Italia, Afrika Utara, Turki, Yunani, Spanyol, Jerman, dan Cina.

Bukan hanya Teater Populer dan Teater Koma, bahkan Nano juga sempat berkiprah di bidang jurnalistik. Ia ikut mendirikan Majalah Zaman pada 1979 dan menjabat sebagai redaktur. Sementara pada Majalah Matra, ia menjabat pemimpin redaksi majalah gaya hidup pria itu mulai 1986. Setelah pensiun sebagai wartawan pada 2001, ia berkiprah sebagai seniman dan pekerja teater.

Karya-karya dan Penghargaan Nano Riantiarno

Nano juga seorang penulis skenario film dan televisi. Karya skenarionya, Jakarta Jakarta meraih Piala Citra pada Festival Film Indonesia di Ujung Pandang pada 1978. Sementara karya sinetronnya berjudul Karina meraih Piala Vidia pada Festival Film Indonesia di Jakarta pada 1987.

Selain itu, ia juga meraih lima hadiah sayembara Penulisan Naskah Drama Dewan Kesenian Jakarta dan hadiah Sayembara Naskah Drama Anak-anak dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1978.

Pada 1998, Wakil Presiden PEN Indonesia (1997) itu menerima penghargaan sastra 1998 dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. Sekaligus meraih Sea Write Award 1998 dari Raja Thailand di Bangkok untuk karyanya Semar Gugat.

Dari beberapa banyak karyanya, Opera Kecoa yang dipanggungkan pada Juli-Agustus 1992 oleh Belvoir Theater dipertontonkan di Sydney, Australia. Grup teater ini adalah salah satu grup teater garda depan di negara tersebut.

Berkat karya-karya dan berbagai penghargaan nasional maupun multinasional yang diperolehnya, Nano Riantiarno mendapatkan piagam penghargaan dari Menteri Pariwisata Seni dan Budaya sebagai seniman dan budayawan berprestasi pada 1999. Bahkan, karya pentasnya Sampek Engtay pada 2004 masuk Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai karya pentas yang digelar sebanyak 80 kali selama 16 tahun dengan 8 pemain dan 4 pemusik yang sama.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus