Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dalam proses berkarya saya, seni menjadi spiritual ketika membawa kita masuk ke pengalaman yang meditatif…. Ini yang hendak selalu saya tampilkan dalam karya saya. Aspek meditatif tersebut terkait dengan penggunaan pola dan repetisi, merepresentasikan susunan tapi di saat yang sama merujuk pada ketidakteraturan…. Tegangan antara order dan chaos itulah yang membentuk pengalaman spiritualitas seseorang. Inilah alasan saya tertarik pada pola geometri dan yang simetrikal, menemukan keseimbangan di antara dua ekstrem tersebut.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ITULAH yang pernah dikatakan Albert Yonathan Setiawan beberapa tahun lalu tentang karya-karyanya. Dalam pembukaan pameran tunggalnya di Jogja National Museum, Yogyakarta, tahun lalu, dia menyatakannya dengan lebih ringkas: “Berkeramik adalah proses mengada, keramik bukan sekadar teknik dan wahana.” Adalah Cosmic Labyrinth: A Silent Pathway (2012-2013), karya instalasi terakota berukuran raksasa dalam pameran karya perupa Indonesia di paviliun La Biennale di Venezia, Italia (2015), yang menggaungkan labirin dan kesunyian karya itu ke lingkungan internasional. Karya itu berukuran 1.000 x 1.000 x 30 sentimeter, terdiri atas 1.200 stupa yang dihamparkan pada lantai. “Kosmos” persegi itu “mengada” dalam kesederhanaan kesetangkupan, susunan repetisi, dan simbolisme labirin.
Dalam pameran “Capturing Silence” di Jogja National Museum yang berlangsung selama sebulan tahun lalu, 6 Oktober-5 November 2023, karya instalasi itu dipamerkan lagi. Jumlah stupa bukan lagi 1.200, melainkan bertambah menjadi 1.628, memenuhi seluruh ruangan di Pendapa Ajiyasa. Keheningan terasa di dalam ruang pameran, mata pengunjung terserap oleh pemandangan rampak ribuan stupa yang menciptakan pola-pola labirin. Penonton bergiliran masuk dan berjalan-jalan perlahan di antara karya. Tubuh-tubuh mereka hadir menjadi bagian karya instalasi itu untuk mengalami sensasi celah-celah sempit dan keheningan.
Pameran survei itu menampilkan lebih dari 90 karya instalasi terakota, keramik, video, dan gambar Albert yang dikerjakannya dalam 15 tahun terakhir. Tidak ada perupa kontemporer Indonesia yang menekuni medium keramik seintens dan seambisius Albert. Sembilan karya instalasinya yang berukuran besar, dikerjakan pada 2012-2022, ditampilkan dalam pameran itu. Karya-karya ini adalah penjelajahan Albert untuk keluar dari tradisi penciptaan karya keramik yang cenderung bersifat “tunggal di atas pedestal”.
Studi tentang mandala—terutama dalam bentuk lingkaran—banyak dikerjakan Albert sesudah seri Cosmic Labyrinth-nya. Mandala Study #2 (2012) berwujud karya instalasi keramik, berukuran 300 x 5,5 sentimeter, tersusun dari 756 stupa menyerupai lonceng. Adapun Mandala Study #4 (2015) adalah karya instalasi terakota dengan 680 stupa mirip pagoda berujung runcing. Bentuk lingkaran mandala pada karya Albert kerap menggunakan pola memancar. Pola memancar ini dihadirkan melalui repetisi replika satu bentuk, memiliki pusat dan menyebar dalam bentuk simetri atau kesetangkupan. “Repetisi tidak mengubah apa pun pada obyek-obyek yang direpetisi, tapi hal itu akan menciptakan sesuatu di dalam pikiran mereka yang merenungkannya,” kata Albert.
Mandala Study #4 (2015), karya Albert Yonathan. Courtesy of Albert Yonathan and Mizuma Gallery
Penggunaan serbuk marmer putih yang ditaburkan di sekeliling tiap-tiap stupa menguatkan kesan pancaran karya-karya itu di dalam ruang pameran yang redup. Sementara materi adalah pembawa cahaya (luminiferous) yang kasatmata oleh kita, para pengunjung, keheningan (silence) menandai keberadaan interioritas materi (matter) yang bisa dirasakan secara paradoks pada karya-karya instalasi Albert.
Albert merasakan kerja tangan di dalam wahana lempung atau tanah liat sebagai tanda kehadiran tubuh yang bermakna. Dalam tradisi spiritual, kerja tangan kerap dipandang sebagai jalan suci. Dalam karya-karya awalnya, Albert beranggapan bahwa lempung itu sesungguhnya adalah tubuh, simbol ketubuhan. Tak hanya berkenaan dengan ketubuhan manusia, tapi juga penubuhan formal atas sesuatu yang abstrak. Tentunya itulah yang dimaksudkannya dengan kata “mengada”. Jejak tubuh dan intensi perupa hadir melalui caranya mengolah dan membentuk lempung dengan tangan dan jemarinya. Bahkan dapat dikatakan tidak ada jarak di antara keduanya.
Bahan lempung yang diolah menjadi bentuk sesuatu—dalam tradisi pembuatan keramik, bentuk itu adalah wadah—mempertahankan wujudnya yang tetap, tapi bentuk tersebut akan menyusut setelah beberapa waktu. Di satu sisi, wahana lempung menggugah kesadaran Albert akan kebebasan mutlak untuk membentuk. Namun, di sisi lain, muncul unsur ketidakterdugaan dalam proses pembuatan karya-karya keramik. Ketika wujud tanah liat keluar dari tungku pembakaran, warnanya akan berubah. Surplus kebebasan dalam pembentukan wahana tanah liat pada saat yang sama juga menghadapi kerapuhan materi itu sendiri. Paradoks kebebasan dan kehancuran itu ditampilkan melalui sebuah karya terakota lamanya yang menarik, Cosmic Labyrinth: The Bells (325 x 15 cm, 2012). Bahan terakota, menurut dia, dapat mempertahankan kualitas ketubuhan. Karya berwujud lingkaran ini terdiri atas pecahan ratusan karya berwujud lonceng yang ia hancurkan sendiri.
Dalam acara bincang seniman, Albert mengatakan, “Saat saya nanti mati, tubuh saya akan hancur, dan spirit saya entah ke mana.” Situasi “nevermind, no matter” yang menggambarkan paradoks antara spirit dan tubuh dihadirkan dalam karya ini. Albert berhasil merepresentasikan identitas baru pada karya-karya keramik kontemporernya: karya situasi dan identitas paradoks.
Karya berukuran paling besar dalam pameran ini adalah Infinitude (325 x 2.260 x 3 cm, 2022), instalasi terakota yang dipasang pada dinding sepanjang lebih dari 20 meter. Instalasi ini terdiri atas 2.517 bentuk, seperti tetesan air dengan ornamen lidah api dan mata. Juga ada Helios (700 x 600 x 4,5 cm, 2017) dengan bahan keramik yang dipasang seperti dekorasi ubin yang menutup seluruh dinding. Sementara mandala adalah representasi alam semesta yang kita lihat dari luar ke titik pusat, mata atau Helios agaknya adalah simbol cahaya atau matahari, yang melihat segala-galanya dari dalam ke arah luar.
Pameran Albert Yonathan bertajuk "Capturing Silence" di Jogja National Museum, Yogyakarta, 2023. Courtesy of Albert Yonathan and Mizuma Gallery
Obyek-obyek terakota dan keramik pada karya Albert, seperti ditulis Nurdian Ichsan di pengantar pameran, dibikin dalam ukuran genggaman tangan. Maka bukan terutama soal tema atau rupa simbol yang hendak dihadirkan, melainkan jejak-jejak identitas tubuhnya. “Jarak ideal kita melihat obyek-obyek ini di ruang pameran sama dengan jarak ketika seniman membuatnya,” tulis Ichsan. Dalam karya-karya instalasinya, terutama yang berukuran besar, pengamatan kita pada konfigurasi karya itu akan menjadikan obyek-obyek individual terlihat samar. Sebaliknya, pengamatan pada tiap obyeknya akan membuat keseluruhan susunan menjadi kabur.
Sesuatu yang samar itu kita nikmati melalui sejumlah gambar gouache, tinta, dan pensil dalam pameran ini. Meski interaksi kita dengan gambar dwimatra akan berbeda dengan apa yang teralami melalui karya instalasinya, ada pengalaman serupa untuk mencerap ungkapan bolak-balik seperti memandang cermin. Lihatlah misalnya Numinous Altar (75 x 53 cm, 2016, tiga gambar) dan Zygomorphic Hypnosis (31 x 22 cm, 2020, delapan gambar). Yang pertama adalah konfigurasi simbol-simbol mistis, seperti lidah api, mata, kupu-kupu, burung, ular, mandala, gerbang, dan altar. Yang kedua, kita melihat gambar-gambar mirip dasar dan mahkota bunga dengan tangkai-tangkai putiknya yang memanjang, tak jarang menyerupai organ-organ seksual. Zigomorfik adalah pembagian bentuk dan ukuran menjadi dua bagian simetris melalui sumbu. Pola-pola gambar Albert tampak seperti menghadirkan sumbu antara seni dan matematika. Identitas visual yang sekilas tampak seperti susunan formal yang sempurna pada karya-karyanya adalah wahana bagi sesuatu yang lain: keheningan dan khaos.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Keramik, Kosmos, Keheningan, dan Seterusnya"