PENYAIR mudah marah. Sering karena ia merasa, atau sadar, di
fihak yang benar. Bacalah baris-baris penyair Usman Awang,
ketika sasterawan terkemuka Malaysia (asal Singapura) ini
menghormati seorang rekannya, penyair Said Zahari, yang ditahan
di penjara pemerintah Singapura sejak 1963:
Atas nama 'Keselamatan Umum:Penuhlah penjara ngeri melindungi
Keselamatan mereka segelintir jumlahnya
Sajak itu berjudul Salut Untuk Said Zahari sepuluh tahun di
penjara politik Singapura). Said Zahari sendiri menulis sejumlah
sajak, yang 3 tahun yang lalu diterbitkan di Kuala Lumpur dengan
judul Puisi Dari Penjara. Betapa nasib orang ini, tak cukup kita
ketahui. Tapi di balik situasinya selama 10 tahun di sel itu, ia
menyatakan suatu optimisme. Rakyat, begitu kata sebuah sajaknya,
"akan berkembang/ Mehghancurkan mahusia biadab/Dah rakyat nanti/
Tiada takut lagi
Mungkin sejak penyair Byron menulis Prisoner of Chillon, seorang
tahanan jadi semacam tokoh romantik. Dalam satu esei ringkasnya
tentang tahanan penyair Inggeris Stephen Spender menulis: "Sang
tahanan jadi lambang dari nasionalisme yang tertindas, yang
diilhami keadilan sosial, berapi-api dengan harapan dan dengan
perasaan tentang ketidak-benaran. Sang tahanan, karena
sepenuhnya terlibat dalam cita-cita masyarakat, disucikan dari
kesalahan pribadi. Ia bukan tokoh tragis, sebab ia hidup dalam
sebuah tragedi, untuk mana Sejarah telah menjanjikan akhir yang
bahagia". Dan bila sang tahanan berhasil lulus ujian, yang
membuktikan bahwa ia setia dengan peranannya sebagai lambang
si-tertindas-yang-tak-bersalah, maka ia sebenarnya bukan tahanan
lagi. Melainkankan hakim yang tersembunyi yang menilai
masyarakat di luar sel itu. Bila ia bebas nanti, ia diharapkan
akan menciptakan suatu masyarakat di mana tak ada tahanan lagi.
Sayang, Spender tak secerah itu berharap. Ia mencatat, betapa di
abad ini teknik-teknik rahasia telah dikembangkan, untuk membuat
para tahanan "menghukum diri dengan mulut mereka sendiri".
Pengakuan itu bukan untuk membuktikan bahwa sang tahanan
bersalah, tapi bahwa ia dapat dibikin mengaku. Bahwa ia
ternyata tak punya semangat dan roh yang bebas. Bahwa ia
menghukum diri sendiri, dan bukan mengutuk para penahannya.
Padahal, kata Spender, "bila para penahan dikutuk setahap
harapan akan selalu muncul".
Dengan kata lain, penindasan perlu tetap bisa digugat. Ini
penting. Sebab, seperti kata Lee Kuan Yew, ketika PM Singapura
itu masih jadi oposisi, penindasan "adalah kebiasaan yang
tumbuh". Konon seperti main cinta, selalu lebih gampang di
saat kedua kali. Saat pertama kalinya dilakukan, mungkin akan
ada sentuhan hati nurani, rasa bersalah. Tapi kemudian -- ah,
kita sudah tahu!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini