Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Diplomasi tim-tim di australia

Kbri di australia menjadi sasaran para demonstrasi anti indonesia. situasi tambah gawat setelah terbunuhnya 4 wartawan australia di timor timur. masalah itu akan dibawa ke mahkamah internasional.

3 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ROBERT Ian Viher, Menteri Urusan Penduduk Aseli (Aborigin) Australia berkunjung ke Indonesia -- disertai 5 anggota Parlemen. Menteri Viner minggu lalu ternyata bicara juga soal Timor Timur dengan Menteri Hankam Panggabean, meskipun tujuan utama tamu-tamu Australia itu adalah menyaksikan pelaksanaan program bantuan Australia di sini. "Bila seorang Indonesia ketemu seorang Australia di hari-hari ini" tulis Goenawan Mohamad dari TEMPO yang baru berkunjung ke Australia selama 16 hari, "mereka paling gampang bicara dua hal: soal cuaca dan soal Timor" Di bawah ini laporan Goenawan selanjutnya: Tiap malam, lampu berpendar-pendar meriah dari gedung KBRI di Canberra. Tapi sejak beberapa minggu ini, tiap malam pula gedung yang tak teramat besar itu terus dijaga dua orang polisi Australia -- biarpun musim dingin di Canberra bisa mencapai 4 derajat di bawah nol. Gedung ini pernah didemonstrasi pemuda dan mahasiswa beberapa waktu yang lalu. Pemerintah Australia dan para diplomat Indonesia tak mau ambil risiko. Apalagi dengan pengalaman serbuan pemuda "RMS" di Negeri Belanda tempo hari ke konsulat RI di Amsterdam. Maka di bagian dalam pintu masuk, para petugas KBRI memasang sebuah kaca spion besar bergaris-tengah 0,5 meter. "Dari situ bisa dilihat lebih dulu siapa yang minta dibukakan pintu", seorang pejabat menjelaskan . Meskipun tak tampak wajah-wajah tegang pada para diplomat Indonesia,tapi pengalaman atase pendidikan kebudayaan Moh. Sudjiman memang tak enak. Bulan lalu, rumahnya yang berstatus kontrakan didatangi para demonstran. Jumlahnya kita-kira 30 orang. Mereka membawa poster dan berteriak, mendesak agar Sudjiman diusir dari Australia. Tuduhan: Sudjiman memata-matai kegiatan para mahasiswa. Meskipun kemudian para mahasiswa yang berdemonstrasi itu -- yang tergabung dalam AUS, persatuan mahasiswa Australia -- minta maaf secara terbuka, kalau perbuatan mereka mengganggu ketenteraman keluarga Sudjiman, mereka toh masih menyebut, bahwa Sudjimanlah yang "bertanggungjawab". Monitor Benarkah Sudjiman memata-matai? Maret yang lalu ia memang mengirimkan surat terbatas ke enam alamat orang-orang Indonesia - yang isinya antara lain agar "memonitor" aksi-aksi menentang tindakan Indonesia di Timor Timur dalam "Hari Moratorium" bulan itu. Salah satu "surat rahasia" itu rupanya jatuh ke tangan seorang mahasiswa Australia. Ia menterjemahkannya. Kata "memonitor" rupanya ditafsirkan sama dengan "memata-matai". Maka Sudjiman pun dituntut agar dipersona-nongrata-kan dari Australia, karena melakukan "kegiatan mata-mata". Di Australia, beberapa kedutaan -- khususnya Singapura -- memang ada dianggap selalu mengawasi gerak-gerik para mahasiswa berhubung ada yang suka melancarkan protes anti pemerintah mereka. Anggapan yang sama ditujukan ke KBRI. "Persatuan Mahasiswa Australia itu salah tafsir terhadap selebaran Sudjiman", kata seorang mahasiswa Indonesia di Monash University, Melbourne. "Mereka hanya sekedar mencari alasan untuk mempertajam aksi-aksi mereka", komentar seorang pejabat KBRI. "Kami bersikap tak melayani mereka dengan polemik, melainkan dengan nada rendah", kata atase pers Alaydroes. Sikap "tidak melayani" memang rupanya jadi sikap umumnya orang Indonesia -- pejabat, mahasiswa, dosen dan lain-lain -- yang kini di Australia. bila persoalan Timor Tirnur dibangkitkan. Ini sesuai dengan permintaan KBRI. Banyak juga karena tak tertarik. Atau menganggap tak ada gunanya berdiskusi dengan yang sudah bersikap apriori Tapi ada juga yang berkata: "Kalau mencoba berdebat, biasanya kita terdesak -- misalnya dalam soal istilah 'sukarelawan Indonesia'di Timor itu". Umumnya memang agak sulit buat menandingi kegiatan simpatisan Fretilin dalam mempengaruhi opini publik. Di beberapa kota berdiri "Campain for Independent East Timor" (CIET), atau "Friends of East Timor" dan "Australian-East Timor Association" Sebuah buletin bernama Timor Information Service muncul cukup teratur, yang diolah oleh orang-orang Australia. Sementara itu terbunuhnya 4 wartawan Australia menyebabkan beberapa pers makin agak "miring" ke arah yang kurang mengenakkan Indonesia. Ketua Persatuan Wartawan Australia, Jeff Clegghorn, di kantornya di harian terkemuka The Age di Melbourne misalnya menyatakan akan terus mendesak pemerintah Australia buat, bila perlu, mengadukan pemerintah Indonesia ke Mahkamah Internasional. "Kami tak menentang Indonesia, tak pula mencampuri politik Indonesia di Timor Timur", kata Clegghorn, "tapi kami mendesakkan perkara ini buat perlindungan keselamatan wartawan dalam menjalankan tugasnya". Isteri Cantik Sampai sejauh mana niat "mendesakkan" itu terdapat dengan tekad yang penuh di kalangan pers, memang sukar diduga. Persoalan Timor betapapun juga cuma salah satu topik, walaupun di Australia perhatian tentang itu lebih kuat ketimbang di negeri lain. Orang kini misalnya lagi lebih tertarik pada kerusuhan rasial di Afrika Selatan. Waktu saya ketemu Clegghorn, berita terhangat bahkan soal perpisahan Andrew Peacock, Menteri Luar Negeri yang muda dan ganteng itu, dari isterinya yang cantik. Jadi perkara Timor Timur, siapa tahu, bisa akhirnya tenggelam juga dari perhatian publik Australia. Sebagaimana juga kini soal ini tak diperhatikan lagi di AS atau Jepang. Apalagi sebagian besar orang Australia nampaknya masih acuh tak acuh. Mereka bicara soal TimTim seperti bicara tentang suhu udara tadi malam. Meskipun begitu, pejabat tinggi Departemen Luar Negeri Australia Lance Joseph yang oleh sementara wartawan Canberra dicap "terlalu pro Indonesia",menyebut bahwa "9 dari 10 surat yang kami terima dari masyarakat, isinya mengecam Indonesia". Ia memang menambahkan bahwa hal itu mungkin karena fihak yang "anti" biasanya lebih terorganisir ketimbang yang 'pro". Namun ia menambahkan, bahwa bisa saja menjelang pertengahan Agustus nanti isyu soal Tim-Tim hangat kembali. "Parlemen kami saat itu akan bersidang", katanya. Betapapun baik di KBRI maupun di Deparlu Australia terdapat anggapan bahwa banyak perkara lain yang tetap diurus di samping perbedaan sikap Australia dengan sikap Indonesia dalam soal Timor Timur. "Kami tak hanya menyibukkan diri dengan soal Timor saja", kata salah seorang pejabat Australia yang mengurus hubungan dengan Indonesia -- meskipun di kantornya itu, yang menyolok tergantung ialah peta Timor gaya antik. Dan kata Martono Kadri, pejabat yang kini mengepalai kantor KBRI di Canberra selama Dutabesar baru belum datang: "Indonesia dan Australia sama-sama negeri dewasa -- kita tak perlu selalu sependirian dalam tiap masalah". Mungkin itulah thema buat Dutabesar Indonesia yang baru nanti, (kabarnya Nurmantyas), pengganti Her Tasning, yang oleh banyak orang dinilai sebagai "Dubes Indonesia yang mungkin terbaik selama ini".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus