ROBERT Ian Viher, Menteri Urusan Penduduk Aseli (Aborigin)
Australia berkunjung ke Indonesia -- disertai 5 anggota
Parlemen. Menteri Viner minggu lalu ternyata bicara juga soal
Timor Timur dengan Menteri Hankam Panggabean, meskipun tujuan
utama tamu-tamu Australia itu adalah menyaksikan pelaksanaan
program bantuan Australia di sini.
"Bila seorang Indonesia ketemu seorang Australia di hari-hari
ini" tulis Goenawan Mohamad dari TEMPO yang baru berkunjung ke
Australia selama 16 hari, "mereka paling gampang bicara dua hal:
soal cuaca dan soal Timor" Di bawah ini laporan Goenawan
selanjutnya:
Tiap malam, lampu berpendar-pendar meriah dari gedung KBRI di
Canberra. Tapi sejak beberapa minggu ini, tiap malam pula gedung
yang tak teramat besar itu terus dijaga dua orang polisi
Australia -- biarpun musim dingin di Canberra bisa mencapai 4
derajat di bawah nol. Gedung ini pernah didemonstrasi pemuda dan
mahasiswa beberapa waktu yang lalu. Pemerintah Australia dan
para diplomat Indonesia tak mau ambil risiko. Apalagi dengan
pengalaman serbuan pemuda "RMS" di Negeri Belanda tempo hari ke
konsulat RI di Amsterdam. Maka di bagian dalam pintu masuk, para
petugas KBRI memasang sebuah kaca spion besar bergaris-tengah
0,5 meter. "Dari situ bisa dilihat lebih dulu siapa yang minta
dibukakan pintu", seorang pejabat menjelaskan .
Meskipun tak tampak wajah-wajah tegang pada para diplomat
Indonesia,tapi pengalaman atase pendidikan kebudayaan Moh.
Sudjiman memang tak enak. Bulan lalu, rumahnya yang berstatus
kontrakan didatangi para demonstran. Jumlahnya kita-kira 30
orang. Mereka membawa poster dan berteriak, mendesak agar
Sudjiman diusir dari Australia. Tuduhan: Sudjiman memata-matai
kegiatan para mahasiswa. Meskipun kemudian para mahasiswa yang
berdemonstrasi itu -- yang tergabung dalam AUS, persatuan
mahasiswa Australia -- minta maaf secara terbuka, kalau
perbuatan mereka mengganggu ketenteraman keluarga Sudjiman,
mereka toh masih menyebut, bahwa Sudjimanlah yang
"bertanggungjawab".
Monitor
Benarkah Sudjiman memata-matai? Maret yang lalu ia memang
mengirimkan surat terbatas ke enam alamat orang-orang Indonesia
- yang isinya antara lain agar "memonitor" aksi-aksi menentang
tindakan Indonesia di Timor Timur dalam "Hari Moratorium" bulan
itu. Salah satu "surat rahasia" itu rupanya jatuh ke tangan
seorang mahasiswa Australia. Ia menterjemahkannya. Kata
"memonitor" rupanya ditafsirkan sama dengan "memata-matai". Maka
Sudjiman pun dituntut agar dipersona-nongrata-kan dari
Australia, karena melakukan "kegiatan mata-mata". Di Australia,
beberapa kedutaan -- khususnya Singapura -- memang ada dianggap
selalu mengawasi gerak-gerik para mahasiswa berhubung ada yang
suka melancarkan protes anti pemerintah mereka. Anggapan yang
sama ditujukan ke KBRI. "Persatuan Mahasiswa Australia itu salah
tafsir terhadap selebaran Sudjiman", kata seorang mahasiswa
Indonesia di Monash University, Melbourne. "Mereka hanya sekedar
mencari alasan untuk mempertajam aksi-aksi mereka", komentar
seorang pejabat KBRI. "Kami bersikap tak melayani mereka dengan
polemik, melainkan dengan nada rendah", kata atase pers
Alaydroes.
Sikap "tidak melayani" memang rupanya jadi sikap umumnya orang
Indonesia -- pejabat, mahasiswa, dosen dan lain-lain -- yang
kini di Australia. bila persoalan Timor Tirnur dibangkitkan. Ini
sesuai dengan permintaan KBRI. Banyak juga karena tak tertarik.
Atau menganggap tak ada gunanya berdiskusi dengan yang sudah
bersikap apriori Tapi ada juga yang berkata: "Kalau mencoba
berdebat, biasanya kita terdesak -- misalnya dalam soal istilah
'sukarelawan Indonesia'di Timor itu".
Umumnya memang agak sulit buat menandingi kegiatan simpatisan
Fretilin dalam mempengaruhi opini publik. Di beberapa kota
berdiri "Campain for Independent East Timor" (CIET), atau
"Friends of East Timor" dan "Australian-East Timor Association"
Sebuah buletin bernama Timor Information Service muncul cukup
teratur, yang diolah oleh orang-orang Australia. Sementara itu
terbunuhnya 4 wartawan Australia menyebabkan beberapa pers makin
agak "miring" ke arah yang kurang mengenakkan Indonesia. Ketua
Persatuan Wartawan Australia, Jeff Clegghorn, di kantornya di
harian terkemuka The Age di Melbourne misalnya menyatakan akan
terus mendesak pemerintah Australia buat, bila perlu, mengadukan
pemerintah Indonesia ke Mahkamah Internasional. "Kami tak
menentang Indonesia, tak pula mencampuri politik Indonesia di
Timor Timur", kata Clegghorn, "tapi kami mendesakkan perkara ini
buat perlindungan keselamatan wartawan dalam menjalankan
tugasnya".
Isteri Cantik
Sampai sejauh mana niat "mendesakkan" itu terdapat dengan tekad
yang penuh di kalangan pers, memang sukar diduga. Persoalan
Timor betapapun juga cuma salah satu topik, walaupun di
Australia perhatian tentang itu lebih kuat ketimbang di negeri
lain. Orang kini misalnya lagi lebih tertarik pada kerusuhan
rasial di Afrika Selatan. Waktu saya ketemu Clegghorn, berita
terhangat bahkan soal perpisahan Andrew Peacock, Menteri Luar
Negeri yang muda dan ganteng itu, dari isterinya yang cantik.
Jadi perkara Timor Timur, siapa tahu, bisa akhirnya tenggelam
juga dari perhatian publik Australia. Sebagaimana juga kini soal
ini tak diperhatikan lagi di AS atau Jepang. Apalagi sebagian
besar orang Australia nampaknya masih acuh tak acuh. Mereka
bicara soal TimTim seperti bicara tentang suhu udara tadi malam.
Meskipun begitu, pejabat tinggi Departemen Luar Negeri Australia
Lance Joseph yang oleh sementara wartawan Canberra dicap
"terlalu pro Indonesia",menyebut bahwa "9 dari 10 surat yang
kami terima dari masyarakat, isinya mengecam Indonesia". Ia
memang menambahkan bahwa hal itu mungkin karena fihak yang
"anti" biasanya lebih terorganisir ketimbang yang 'pro". Namun
ia menambahkan, bahwa bisa saja menjelang pertengahan Agustus
nanti isyu soal Tim-Tim hangat kembali. "Parlemen kami saat itu
akan bersidang", katanya.
Betapapun baik di KBRI maupun di Deparlu Australia terdapat
anggapan bahwa banyak perkara lain yang tetap diurus di samping
perbedaan sikap Australia dengan sikap Indonesia dalam soal
Timor Timur. "Kami tak hanya menyibukkan diri dengan soal Timor
saja", kata salah seorang pejabat Australia yang mengurus
hubungan dengan Indonesia -- meskipun di kantornya itu, yang
menyolok tergantung ialah peta Timor gaya antik. Dan kata
Martono Kadri, pejabat yang kini mengepalai kantor KBRI di
Canberra selama Dutabesar baru belum datang: "Indonesia dan
Australia sama-sama negeri dewasa -- kita tak perlu selalu
sependirian dalam tiap masalah". Mungkin itulah thema buat
Dutabesar Indonesia yang baru nanti, (kabarnya Nurmantyas),
pengganti Her Tasning, yang oleh banyak orang dinilai sebagai
"Dubes Indonesia yang mungkin terbaik selama ini".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini