Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pesta "integracao" itu memang ...

Rombongan presiden soeharto disambut di kota dili. maksud kunjungan untuk menerima tekad rakyat tim-tim bergabung dengan ri tanpa referendum, dibacakan ketua pemerintah sementara tim-tim (pstt).

3 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANANYA bagaikan sebuah pesta. Kota Dili pagi itu, 24 Juni lalu dipenuhi ribuan rakyat yang berjejal di pinggir jalan-jalan yang dilalui rombongan delegasi RI. Poster dan spanduk serta teriakan "viva Indonesia, viva Presiden Soeharto, Viva integracao" berkumandang hingga mencapai puncaknya di luar gedung Majelis Rakyat di ibukota Timor Timur itu. Dan tepat jam 10.00 WIT, Arnaldo Dos Reis Araujo, Ketua Eksekutif Pemerintahan Sementara Timor Timur (PSTT), membacakan sambutannya dalam bahasa Portugis. Mengenakan seragam safari kecoklat-coklatan, berkacamata hitam, Arnaldo kembali mengemukakan tekad rakyat Timor Timur untuk bergabung dengan RI tanpa referendum. "Salahkah bagi seorang anak untuk kembali ke pangkuan ibunya, setelah dipisahkan sekian lama?", tanya Arnaldo. "Dan salahkah bagi seorang ibu untuk menerima anaknya yang memang ingin kembali itu?". Maka tibalah giliran Menteri Dalam Negeri Amirmachmud, yang mengetuai Delegasi besar itu untuk bicara. "Tak perlu ada kesangsian lagi untuk membenarkan kenyataan dalam petisi tersebut. Karena telah nyata-nyata diputuskan oleh kehendak rakyat Timor Timur sccara demokratis". Maka, lanjut Amirmachmud, "delegasi ini tak bermaksud untuk meneliti, memeriksa ataupun menguji kebenaran petisi itu". Dari Dili delegasi pencari fakta yang terbagi 3 rombongan dan masing-masing dipimpin oleh Amirmachmud, Dr. Sumarlin dan Wakil Ketua DPR Domo Pranoto, berangkat menuju Okusi, Viueque, Ermera dan Balibo. Di Ermera, lakyat rupanya sudah menunggu sejak jam 7 pagi. Pekik yang serba "viva dikumandangkan tak henti-hentinya. Bahkan teriakan berlagu integracao ho Indonesia yang artinya: integrasi dengan Indonesia, berulang-ulang diucapkan. Dari rnulai bayi sampai kakek-kakek hari itu memenuhi jalan yang menuju kantor Bupati Ermera. Wajah-wajah yang tak cerah, karena kekurangan gizi, anak-anak yang kurus dengan pakaian yang nyaris compang-camping merupakan pemandangan yang tak sedap untuk dilihat. Sekalipun mereka nampaknya cukup gembira hari itu. "Cukuplah sudah penderitaan kami dan kami tak tahan lebih lama lagi", kata Thomas Goncalves (30 tahun). Bupati Ermera dalam bahasa daerah Tatung. Dan ini langsung disambut oleh Domo Pranoto yang mengulangi lagi pidato Mendagri ketika di Dili: "kami datang ke mari bukan mencari bukti". "Kami datang ke mari hanya untuk melepas rindu dan untuk bertemu muka dengan saudara-saudara kami sekandung", ujar Domo. Memang bagi rakyat Ermera, yang sebagian besar masih buta huruf itu dan hidup dalam kemiskinan, pekik "merdeka" mungkin saja diartikan perobahan nasib. "Saya senang sekali", kata Kepala Suku Ermera Alipio Marin de atima yang sudah pernah berkunjung ke Jakarta. Begitu juga pendapat seorang anggota DPR Kabupaten Ermera, Moizes: "Kami sangat bergembira dengan integrasi ini". Sebagai seorang guru dia sudah bisa berbahasa Indonesia, walaupun masih terpatah-patah. Menurut dia sekarang rakyat tak perlu beli beras. "Setiap hari ada pembagian", katanya. Maka itu ketika ditanyakan harga beras, dengan tegas dia menjawab,"tak tahu". Di Balibo, keadaannya sama saja. Sambutan rakyat cukup meriah, bahkan untuk acara penyambutan itu disediakan dapur umum. "Rakyat sudah menunggu sejak jam 5 pagi", kata seorang petugas. Di tempat terbunuhnya empat wartawan Australia itu, sekali lagi Domo Pranoto berjanji di hadapan rapat umum, "akan menyelesaikan perundang-undangannya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya". Dan pekik merdekapun kembali disuarakan. Sambil melompat-lompat bagai dalam tarian Afrika rakyat menyambut janji yang disampaikan Domo Pranoto itu. Luapan sambutan rakyat itu saking spontannya tak menunggu lagi terjemahan yang disampaikan penterjemah. Dan ini selalu terjadi. Maka tak heran kalau setiap sambutan mendapat keplok 2 kali. Kini sedikit cerita tentang Dili. Menurut seorang petugas di sana, barang-barang dari luar negeri banyak juga yang masuk ke Dili akhir-akhir ini. "Terutama dari Singapura", katanya. Dia lalu menunjuk pada mobil-mobil landrover yang banyak digunakan hari itu. "Itu umumnya masuk dari Singapura", tambahnya. Keterangan orang itu memang tak dibantah seorang petugas dari Jakarta. "Soalnya sampai sekarang barang-barag impor itu belum lagi dikenakan bea masuk", kata petugas itu. "Ini dianggap kesempatan baik untuk bisa dimanfaatkan orang-orang di Dili". Cerita landrover dan barang Singapura itu mengingatkan akan kisah 'perdagangan' yang pernah terjadi di Irian Jaya sesaat setelah masuk ke pangkuan RI. Ketika itupun banyak barang-barang yang masuk dari luar. Mulai dari mobil, kulkas sampai barang kelontong dari Singapura. Tapi barang-barang yang waktu itu masuk tanpa bea itu dengan cepatnya muncul di Jakarta sebagai barang bawaan atau dagangan. Adakan kisah Irian Jaya akan terulang lagi, entahlah. Seorang petugas Hankam ketika ditanya, menjawab pasti: "Hal itu akan kita cegah". Selain barang-barang dari Singapura, yang juga menarik hari itu adalah arak-arakan barongsay yang dimainkan penduduk keturunan Cina di Dili. Mereka turut memeriahkan karnaval yang diadakan PSTT dalam menyambut delegasi RI itu. Tak kurang menarik adalah para kepala suku, yang selain berpakaian adat rata-rata juga mengenakan kacamata hitam. Seorang diplomat senior dari sebuah Kedubes di Jakarta tak membuang kesempatan untuk mengabadikan karnaval itu dengar kameranya. Adapun para duta besar yang turut serta dengan delegasi adalah Datuk Zainal bin Sulong dari Malaysia, Moh. Ali Sokouhian dari Iran, dubes Suriah, dubes Korea Selatan. Sedang India, Pilipina, Yaman Selatan, Afghanistan dan Irak -- masing-masing diwakili oleh seorang diplomat seniornya. Republik Panama diwakili oleh orang pertamanya di Jakarta, konsul jenderal Sr. Arnuifo Stanziola. Dari kelompok ASEAN, adalah Muangthai dan Singapura yang tak mengutus wakilnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus