SUASANANYA bagaikan sebuah pesta. Kota Dili pagi itu, 24 Juni
lalu dipenuhi ribuan rakyat yang berjejal di pinggir jalan-jalan
yang dilalui rombongan delegasi RI. Poster dan spanduk serta
teriakan "viva Indonesia, viva Presiden Soeharto, Viva
integracao" berkumandang hingga mencapai puncaknya di luar
gedung Majelis Rakyat di ibukota Timor Timur itu. Dan tepat jam
10.00 WIT, Arnaldo Dos Reis Araujo, Ketua Eksekutif Pemerintahan
Sementara Timor Timur (PSTT), membacakan sambutannya dalam
bahasa Portugis. Mengenakan seragam safari kecoklat-coklatan,
berkacamata hitam, Arnaldo kembali mengemukakan tekad rakyat
Timor Timur untuk bergabung dengan RI tanpa referendum.
"Salahkah bagi seorang anak untuk kembali ke pangkuan ibunya,
setelah dipisahkan sekian lama?", tanya Arnaldo. "Dan salahkah
bagi seorang ibu untuk menerima anaknya yang memang ingin
kembali itu?".
Maka tibalah giliran Menteri Dalam Negeri Amirmachmud, yang
mengetuai Delegasi besar itu untuk bicara. "Tak perlu ada
kesangsian lagi untuk membenarkan kenyataan dalam petisi
tersebut. Karena telah nyata-nyata diputuskan oleh kehendak
rakyat Timor Timur sccara demokratis". Maka, lanjut
Amirmachmud, "delegasi ini tak bermaksud untuk meneliti,
memeriksa ataupun menguji kebenaran petisi itu".
Dari Dili delegasi pencari fakta yang terbagi 3 rombongan dan
masing-masing dipimpin oleh Amirmachmud, Dr. Sumarlin dan Wakil
Ketua DPR Domo Pranoto, berangkat menuju Okusi, Viueque, Ermera
dan Balibo. Di Ermera, lakyat rupanya sudah menunggu sejak jam 7
pagi. Pekik yang serba "viva dikumandangkan tak henti-hentinya.
Bahkan teriakan berlagu integracao ho Indonesia yang artinya:
integrasi dengan Indonesia, berulang-ulang diucapkan. Dari
rnulai bayi sampai kakek-kakek hari itu memenuhi jalan yang
menuju kantor Bupati Ermera. Wajah-wajah yang tak cerah, karena
kekurangan gizi, anak-anak yang kurus dengan pakaian yang nyaris
compang-camping merupakan pemandangan yang tak sedap untuk
dilihat. Sekalipun mereka nampaknya cukup gembira hari itu.
"Cukuplah sudah penderitaan kami dan kami tak tahan lebih lama
lagi", kata Thomas Goncalves (30 tahun). Bupati Ermera dalam
bahasa daerah Tatung. Dan ini langsung disambut oleh Domo
Pranoto yang mengulangi lagi pidato Mendagri ketika di Dili:
"kami datang ke mari bukan mencari bukti". "Kami datang ke mari
hanya untuk melepas rindu dan untuk bertemu muka dengan
saudara-saudara kami sekandung", ujar Domo.
Memang bagi rakyat Ermera, yang sebagian besar masih buta huruf
itu dan hidup dalam kemiskinan, pekik "merdeka" mungkin saja
diartikan perobahan nasib. "Saya senang sekali", kata Kepala
Suku Ermera Alipio Marin de atima yang sudah pernah berkunjung
ke Jakarta. Begitu juga pendapat seorang anggota DPR Kabupaten
Ermera, Moizes: "Kami sangat bergembira dengan integrasi ini".
Sebagai seorang guru dia sudah bisa berbahasa Indonesia,
walaupun masih terpatah-patah. Menurut dia sekarang rakyat tak
perlu beli beras. "Setiap hari ada pembagian", katanya. Maka itu
ketika ditanyakan harga beras, dengan tegas dia menjawab,"tak
tahu".
Di Balibo, keadaannya sama saja. Sambutan rakyat cukup meriah,
bahkan untuk acara penyambutan itu disediakan dapur umum.
"Rakyat sudah menunggu sejak jam 5 pagi", kata seorang petugas.
Di tempat terbunuhnya empat wartawan Australia itu, sekali lagi
Domo Pranoto berjanji di hadapan rapat umum, "akan menyelesaikan
perundang-undangannya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya".
Dan pekik merdekapun kembali disuarakan. Sambil melompat-lompat
bagai dalam tarian Afrika rakyat menyambut janji yang
disampaikan Domo Pranoto itu. Luapan sambutan rakyat itu saking
spontannya tak menunggu lagi terjemahan yang disampaikan
penterjemah. Dan ini selalu terjadi. Maka tak heran kalau setiap
sambutan mendapat keplok 2 kali.
Kini sedikit cerita tentang Dili. Menurut seorang petugas di
sana, barang-barang dari luar negeri banyak juga yang masuk ke
Dili akhir-akhir ini. "Terutama dari Singapura", katanya. Dia
lalu menunjuk pada mobil-mobil landrover yang banyak digunakan
hari itu. "Itu umumnya masuk dari Singapura", tambahnya.
Keterangan orang itu memang tak dibantah seorang petugas dari
Jakarta. "Soalnya sampai sekarang barang-barag impor itu belum
lagi dikenakan bea masuk", kata petugas itu. "Ini dianggap
kesempatan baik untuk bisa dimanfaatkan orang-orang di Dili".
Cerita landrover dan barang Singapura itu mengingatkan akan
kisah 'perdagangan' yang pernah terjadi di Irian Jaya sesaat
setelah masuk ke pangkuan RI. Ketika itupun banyak barang-barang
yang masuk dari luar. Mulai dari mobil, kulkas sampai barang
kelontong dari Singapura. Tapi barang-barang yang waktu itu
masuk tanpa bea itu dengan cepatnya muncul di Jakarta sebagai
barang bawaan atau dagangan. Adakan kisah Irian Jaya akan
terulang lagi, entahlah. Seorang petugas Hankam ketika ditanya,
menjawab pasti: "Hal itu akan kita cegah".
Selain barang-barang dari Singapura, yang juga menarik hari itu
adalah arak-arakan barongsay yang dimainkan penduduk keturunan
Cina di Dili. Mereka turut memeriahkan karnaval yang diadakan
PSTT dalam menyambut delegasi RI itu. Tak kurang menarik adalah
para kepala suku, yang selain berpakaian adat rata-rata juga
mengenakan kacamata hitam. Seorang diplomat senior dari sebuah
Kedubes di Jakarta tak membuang kesempatan untuk mengabadikan
karnaval itu dengar kameranya. Adapun para duta besar yang
turut serta dengan delegasi adalah Datuk Zainal bin Sulong dari
Malaysia, Moh. Ali Sokouhian dari Iran, dubes Suriah, dubes
Korea Selatan. Sedang India, Pilipina, Yaman Selatan,
Afghanistan dan Irak -- masing-masing diwakili oleh seorang
diplomat seniornya. Republik Panama diwakili oleh orang
pertamanya di Jakarta, konsul jenderal Sr. Arnuifo Stanziola.
Dari kelompok ASEAN, adalah Muangthai dan Singapura yang tak
mengutus wakilnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini