Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Konsultan survei hanya melakukan pengamatan visual pada calon lokasi cetak sawah.
Mayoritas sawah baru ternyata merupakan sawah tadah hujan.
Ada lokasi sawah yang berjarak 10 kilometer dari permukiman dan harus ditempuh dengan perahu.
JAKARTA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan kelemahan pada program cetak sawah yang dicanangkan Presiden Joko Widodo pada 2014. Berbasis uji petik di 14 dari 28 provinsi lokasi program, BPK mengkaji cetak sawah hasil kerja sama Kementerian Pertanian dan TNI Angkatan Darat pada periode 2015-2017. Penelusuran Tempo baru-baru ini juga menemukan pelbagai masalah di sejumlah lokasi cetak sawah itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Auditor negara menemukan adanya kelemahan sejak proyek dimulai. “Kegiatan perluasan sawah tidak didukung kegiatan perencanaan, kesiapan calon petani, dan kesiapan calon lahan secara memadai,” demikian disebutkan dalam laporan hasil pemeriksaan pada Februari tahun lalu itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam proses pra-pelaksanaan, BPK mencatat, petugas survei, investigasi, dan desain (SID) program cetak sawah tidak melakukan pengujian tanah secara menyeluruh. Pada 2015 dan sebagian 2016, SID dilakoni dinas pertanian tingkat kabupaten. Sedangkan pada paruh akhir 2016 hingga 2017, tugas itu diambil alih dinas pertanian provinsi.
Konsultan SID, menurut BPK, hanya melakukan pengamatan secara visual pada sebagian calon lokasi cetak sawah. Praktik itu terjadi di Sumatera Selatan, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, dan Maluku. Perluasan sawah oleh TNI AD itu pun dinilai cenderung mengejar target luasan dan mengabaikan kesiapan lahan. Kondisi ini membuat lahan yang dipilih tidak produktif.
Kajian BPK mengungkap pula kurangnya sarana dan prasarana irigasi. Dari hasil pemantauan di 320 lokasi di 14 provinsi, kelengkapan pengairan dinilai kurang memadai untuk pelaksanaan program. Di sisi lain, mayoritas sawah baru ternyata merupakan sawah tadah hujan. "Ketergantungan pada air hujan dan ketiadaan sumber air alternatif mengakibatkan sawah hanya dapat ditanami pada musim hujan."
Lokasi yang jauh dari permukiman kelompok tani turut menjadi persoalan. BPK menemukan masalah itu di Sumatera Selatan, Lampung, Bangka Belitung, dan Maluku. Pada 2015, sawah yang dibuka di Desa Kuala Sungai Jeruju, Kabupaten Ogan Komering Ilir, berjarak 10 kilometer dari permukiman dan harus ditempuh dengan perahu kecil selama 45 menit. Padahal SID menyebutkan jaraknya hanya 3 kilometer dari sisi luar permukiman.
Program cetak sawah merupakan janji pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla saat berlaga dalam pemilihan presiden-wakil presiden 2014. Salah satu agenda besar Jokowi untuk mewujudkan kemandirian ekonomi Indonesia, disebutnya saat itu, adalah mewujudkan kedaulatan pangan melalui program 1 juta hektare lahan sawah baru di luar Jawa. Ada juga program perbaikan jaringan irigasi di 3 juta hektare sawah, pendirian bank petani, serta penyediaan gudang dengan fasilitas pengolahan pascapanen.
Menteri Pertanian era Kabinet Kerja, Andi Amran Sulaiman, menggandeng TNI AD dalam rencana perluasan sawah itu. Pelaksanaan kegiatan cetak sawah pada 2015 diketahui menghabiskan anggaran Rp 377 miliar. Kebutuhan dana meningkat menjadi Rp 2,05 triliun pada 2016, lalu sebesar Rp 1 triliun pada 2017, sebelum akhirnya dihentikan pada tahun tersebut karena hasilnya tak sesuai dengan target.
Sejak 2020, pemerintah memprioritaskan program lumbung pangan alias food estate untuk menjaga stabilitas pasokan beras. Program yang diawasi Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) dalam daftar proyek strategis nasional itu diusulkan di empat provinsi.
Presiden Joko Widodo di Kapuas, Kalimantan Tengah, 9 Juli 2020. ANTARA/Hafidz Mubarak A.
Koordinator Kepala Project Management Office KPPIP, Yudi Adhi Purnama, mengatakan lumbung pangan berbeda dengan cetak sawah karena hanya berupa intensifikasi dan ekstensifikasi lahan di lokasi tertentu. "Sementara program cetak sawah (lokasinya) mencakup seluruh Indonesia," katanya, kemarin.
Temuan BPK lainnya, yang dibuktikan Tempo, adalah soal area hasil cetak sawah yang terbengkalai. Sawah baru di Desa Welado, Kabupaten Bone, misalnya, berada di atas bukit yang membutuhkan dukungan peralatan khusus pengairan sawah. Sisa vegetasi pun berserakan di area sawah baru. Cerita lain datang dari tanah cetak sawah di Desa Sungai Batang, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, yang penuh ilalang setelah mengeras akibat digilas alat berat.
Direktur Irigasi dan Rawa Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Supardji, menyarankan agar pembukaan sawah dikaji secara ketat. Pasalnya, tak semua area cocok untuk jaringan irigasi. Kesalahan perhitungan bisa membuat sebagian lahan terpaksa membutuhkan air pompa yang memakan biaya. "Ada neraca air. Meski ada 100 ribu hektare lahan yang bisa dibuka, belum tentu semua dapat dialiri irigasi," ujarnya.
Untuk masa kerja 2020-2024, Kementerian Pekerjaan Umum memprogramkan pengerjaan jaringan irigasi baru untuk 500 ribu hektare lahan. Supardji mengatakan lembaganya siap mendukung informasi kajian cetak sawah. Pertanyaan Tempo kepada Kementerian Pertanian belum direspons. Beberapa hari lalu, Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian, Sarwo Edhy, hanya menyatakan telah menindaklanjuti rekomendasi BPK, tanpa merinci upaya tersebut.
DIANANTA SUMEDI (BANJARMASIN) | DIDIT HARIYADI (MAKASSAR) | ROSNIAWANTI FIKRI (KENDARI) | VINDRY FLORENTIN | YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo