Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat sorotan lantaran dinilai pilih kasih dalam menangani kasus dugaan gratifikasi. Lembaga antirasuah itu penuh integritas saat mengusut hidup hedon Mario Dandy, yang berujung pada terbongkarnya tindakan korup sang ayah, Rafael Alun Trisambodo –mantan pejabat Kementerian Keuangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, hari-hari ini KPK tampak melempem kala mengusut kasus dugaan gratifikasi penggunaan jet pribadi yang ditumpangi anak Jokowi, Kaesang Pangarep kala pelesir ke Amerika Serikat bersama istrinya, Erina Gudono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adalah Dosen Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun. Satu dari dua pihak yang melaporkan dugaan gratifikasi Kaesang ini menilai KPK lamban mengusut kasus tersebut. Ubedilah menyebut KPK kehilangan taji. Padahal, menurut dia, telah ada contoh yang bisa jadi pedoman KPK dalam mengusut dugaan gratifikasi itu.
Dia mencontohkan kasus flexing atau pamer harta anak Rafael Alun. Dalam kasus itu, KPK bisa mengusut dugaan korupsi yang dilakukan Rafael melalui laporan dari netizen. Pola kerja serupa harusnya bisa dilakukan KPK dalam mengusut dugaan gratifikasi jet pribadi Kaesang.
“Mestinya KPK benar-benar menerapkan prinsip equality before the law, jadi tidak tebang pilih,” kata Ubed saat dihubungi, Sabtu, 14 September 2024.
Menurut Ubed, bukti yang beredar di publik bisa menjadi rujukan KPK, sebab sifatnya telah notoire feiten notorious atau telah diketahui umum. Bukti itu semestinya cukup untuk KPK bergerak cepat. Kasus ini seharusnya sudah naik statusnya dari penyelidikan ke penyidikan.
“Dalam peristiwa yang ceto welo-welo atau terang benderang itu, KPK harusnya menaikkan ke penyelidikan dan dilanjutkan ke penyidikan,” ujarnya.
Dia juga mengingatkan agar KPK menyadari semangat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Ditegaskan bahwa penyelenggara negara dan keluarga penyelenggara negara itu termasuk subjek hukum dalam perkara gratifikasi.
Setali tiga uang dengan Ubed, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat juga menyoroti sikap KPK yang lamban mengusut kasus dugaan gratifikasi Kaesang, yang juga Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia. Padahal, lembaga antikorupsi itu gercep kala menyelidiki kasus Rafael Alun.
“Kasus Rafael Alun menjadi contoh nyata bagaimana KPK berhasil menggunakan gaya hidup hedon anak pejabat untuk menelusuri sumber-sumber kekayaan tidak wajar,” kata Achmad.
Munculnya nama Rafael Alun Trisambodo berawal dari anaknya perilaku Mario Dandy yang menjadi sorotan. Mario langsung viral usai videonya tengah menganiaya Cristalino David Ozora tersebar luas. Akibat penganiayaan itu, David sempat mengalami koma.
Setelah kasus penganiayaan tersebut muncul, foto-foto Mario Dandy yang memiliki gaya hidup mewah beredar. Bahkan saat menganiaya David, anak Rafael itu menggunakan mobil mewah Rubicon yang menjadi sorotan.
Hasil penyelidikan mengungkapkan bahwa Rafael Alun memiliki aset yang tidak sebanding dengan gajinya sebagai pejabat eselon III di Kementerian Keuangan, yang kemudian mengarah pada kasus pencucian uang dan gratifikasi. KPK bergerak cepat setelah mencium adanya ketidakberesan ini. Hasilnya, Rafael dijatuhi hukuman 14 tahun penjara atas tindak pidana korupsi.
Pengungkapan kasus Rafael menegaskan bahwa korupsi sering kali terungkap melalui gaya hidup anggota keluarga pejabat yang mencolok, meskipun mereka bukan pejabat negara. Dalam hal ini, KPK menunjukkan kapasitasnya untuk melakukan penegakan hukum yang tegas, tanpa memandang status sosial keluarga yang terlibat.
Di sisi lain, menurut Achmad, dugaan gratifikasi yang melibatkan Kaesang, yang terkait penggunaan jet pribadi, menimbulkan spekulasi mengenai adanya tebang pilih dalam penanganan kasus oleh KPK. Mahfud MD dan aktivis anti korupsi sampai menyuarakan kekecewaannya terhadap KPK. Mereka menyatakan status Kaesang sebagai bukan pejabat tidak seharusnya menjadi alasan untuk tidak mengusut kasus ini.
“Bukan sekadar anak Presiden, tapi juga ketua partai yang mendapatkan pajak rakyat,” kata Achmad.
Oleh sebab itu, Achmad mengatakan KPK harus bersikap konsisten dalam menindak dugaan gratifikasi, terlepas dari apakah seseorang anak Presiden yang memegang jabatan resmi atau tidak. Demi menjaga kepercayaan publik terhadap penegakan hukum. Jika KPK tak menyelidiki kasus Kaesang hanya lantaran statusnya bukan pejabat, ini akan menjadi preseden buruk.
“Hal ini bisa membuka celah hukum yang memungkinkan pejabat publik menggunakan anggota keluarga mereka untuk menerima gratifikasi, tanpa takut dijerat hukum,” katanya.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | DINDA SHABRINA