PENGUSAHA terjun ke dunia politik? Itu bukan sesuatu yang tabu. Di negeri yang sering dijadikan kiblat dunia, Amerika Serikat, banyak pengusaha yang menjadi menteri. Yang paling gres adalah Menteri Keuangan Amerika Serikat, Paul O'Neill. Sebelum duduk di kabinet Presiden Bush, O'Neill adalah Chairman dan Chief Executive Officer (CEO) Alcoa—dikenal sebagai perusahaan aluminium terbesar di dunia dengan 140 ribu karyawan yang tersebar di 36 negara.
Menurut Wilson Nababan, konsultan bisnis yang juga Presiden Direktur PT Cisi Raya Utama—perusahaan riset bisnis—dunia bisnis memang bisa menjadi salah satu pemasok pemimpin nasional. Bahkan, Wilson menilai dunia bisnis mampu memberi bekal yang lebih bagus kepada seseorang ketimbang mereka yang cuma punya pengalaman di militer atau birokrasi. "Soal inovasi atau kreativitas, para pengusaha ini lebih unggul," katanya. Apakah ini berlaku pula untuk para pengusaha Indonesia?
Masalahnya, dunia bisnis di negeri ini sedang babak-belur. Betul, di masa Presiden Soeharto, para pengusaha papan atas sering disebut sebagai motor pembangunan. Kini? Banyak orang mungkin lebih melihat mereka sebagai penjahat yang telah menyeret perekonomian negeri ini ke jurang yang sangat dalam. Usaha mereka yang selama ini tampak kinclong ternyata luar biasa keropos karena lebih banyak dibangun dengan utang, baik dari bank-bank di luar negeri maupun di dalam negeri. Begitu krisis menghajar, usaha mereka pun babak-belur.
Tak bisa dimungkiri, perekonomian Indonesia berkembang bak meteor selama kurun waktu 1980-an sampai pertengahan 1990-an. Pertumbuhan ekonomi selalu di atas tujuh persen. Ketika itu, sejengkal lagi Indonesia sudah bisa menyejajarkan diri dengan negara-negara yang disebut macan Asia, seperti Cina, Taiwan, Korea Selatan, dan Malaysia. Tapi semua impian itu buyar.
Begitu krisis ekonomi menghantam Indonesia pada akhir 1997, perekonomian negara berpenduduk 210 juta jiwa ini kolaps. Dunia usaha adalah yang pertama kali terkena imbas krisis. Melemahnya rupiah membuat utang luar negeri mereka membengkak 3-4 kali lipat. Pembayaran utang pun macet. Padahal, saat ini utang luar negeri swasta mencapai tak kurang dari US$ 66 miliar, sementara utang di dalam negeri yang macet mencapai Rp 272 triliun. Ren-tetannya kemudian, dunia perbankan ikut hancur.
Pemerintah turun tangan, menambah modal baru (rekapitalisasi) dengan obligasi senilai Rp 426 triliun kepada sejumlah bank. Dana untuk menghidupkan dunia usaha itu, mau tidak mau, harus dibayar rakyat karena sebagian anggaran negara dipergunakan untuk membayar bunga obligasi tersebut.
Semua malapetaka ekonomi itu pun melahirkan pertanyaan: di manakah peran para pendiri dan manajer hebat yang mengoperasikan semua perusahaan yang pernah tampak berkilau-kilau itu. Tak mudah men-jawab pertanyaan ini. Menurut Wilson, manajer yang hebat sekalipun akan sulit keluar dari krisis seperti yang terjadi di Indonesia. Krisis yang sudah menjadi lingkaran setan ini seperti tak berujung. Kendati demikian, kata Wilson, ada benang merah yang bisa menunjukkan betapa kesalahan terbesar tetap berada di tangan para pemilik atau manajernya. Menurut Wilson, mereka terlalu ekspansif, padahal bermodal cekak.
Sebut saja kelompok usaha Bakrie, yang pada kurun waktu itu masuk ke bisnis telekomunikasi dan petrokimia, atau Grup Sinar Mas, yang terus memperbesar kapasitas produksi pulp dan kertasnya. Grup-grup usaha yang lain pun kurang-lebih melakukan hal yang sama. Perilaku itu dipermudah oleh kebijakan pemerintah melonggarkan izin pendirian bank baru. Para pengusaha pun berlomba-lomba mendirikan bank sendiri. Karena modalnya pas-pasan, bank-bank itu dijadikan pemiliknya sebagai alat untuk meraup dana masyarakat yang kemudian dipakai memperbesar skala bisnisnya. Pada saat itulah banyak perusahaan mulai tidak fokus. "Ini sangat terkait dengan visi pemiliknya," kata Wilson.
Selain memakai dana dari banknya sendiri, mereka juga mengeduk utang se-banyak-banyaknya. Ekonom Danareksa, Rino Agung Effendi, pernah menghitung, dalam kurun waktu 6-7 tahun, utang swasta meningkat delapan kali lipat pada per-tengahan 1997. Dan perusahaan Indonesia gemar menyambar segala macam utang, termasuk yang berjangka pendek. "Sebut apa saja jenis surat utang, Sinar Mas pasti punya," kata Erwan Teguh, analis SG Securities Indonesia. Padahal, risiko berutang semacam itu sangat besar. Sinar Mas, misalnya, kini sedang menegosiasikan utangnya sebesar US$ 13,4 miliar di Asia Pulp & Paper yang macet total.
Ekspansi usaha yang dilakukan para konglomerat juga ditopang pemberian fasilitas oleh pemerintah: dari hak monopoli, konsesi, pembebasan pajak, sampai proteksi. Pada bagian ini, Keluarga Cendana dan kroni-kroninya merupakan orang-orang yang paling menikmatinya. Lihat saja bagaimana Hutomo (Tommy) Mandala Putra mendapatkan proyek mobil nasional dengan memperoleh pembebasan pajak yang membuat harga sedannya separuh dari merek lain.
Swastanisasi sejumlah sektor infrastruktur juga menjadi makanan empuk Keluarga Cendana. Di sektor telekomunikasi, seperti di bisnis sambungan langsung internasional (SLI), Satelindo (Bambang Trihatmodjo) langsung menyambar bisnis itu setelah pemerintah memberlakuan duopoli bersama Indosat. Setali tiga uang di sektor listrik. Hampir semua proyek listrik swasta di-kuasai Keluarga Cendana. Pemerintah memberikan proteksi dalam bentuk kewajiban Perusahaan Listrik Negara membeli listrik dari mereka. Demikian pula di jalan tol dan bisnis televisi.
Dari semula, pemerintahan Soeharto memang sudah dekat dengan pengusaha. Hubungannya yang lama dengan Liem Sioe Liong dan Bob Hasan menjadi contoh klasik bagaimana hubungan kekuasaan dan bisnis berlangsung sangat erat dan korup. Dari Soeharto, Liem mendapatkan monopoli penggilingan tepung terigu, impor cengkeh, ekspor kopi dan karet. Yang terjadi kemudian adalah kerugian di pihak negara yang sangat besar, dan konsumen terpaksa membayar terigu lebih mahal. Sementara itu, Bob, teman main golf Soeharto, mendapat banyak konsesi hak pengusahaan hutan (HPH). Dana reboisasi, yang seharusnya dipakai untuk program penghutanan kembali, pun bisa dipinjamkan kepada Kiani Kertas, milik Bob.
Bentuk fasilitas yang didapat pengusaha tak hanya itu. Sebut, misalnya, fasilitas yang diberikan Ginandjar Kartasasmita saat menjabat Menteri Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri. Ketika itu, sejumlah pengusaha muda seperti Aburizal Bakrie, Kongsi Delapan (Kodel), dan beberapa yang lain mendapatkan kemudahan menjadi mitra pemerintah. Mereka kini dikenal sebagai "Ginandjar's boys". Aburizal, misalnya, mengaku mendapatkan proyek pengadaan pipa. "Kami memang dapat fasilitas. Tapi ada ruginya juga, karena Pak Ginandjar minta kami menurunkan harga agar bisa memenangi tender," kata Aburizal. Fahmi juga meng-akui hal yang sama, meskipun dia menolak tudingan bahwa kelompoknya mendapatkan keistimewaan dari Ginandjar.
Jadi, apa yang bisa diharapkan dari perusahaan yang besar karena utang dan fasilitas? Tidak ada. Menurut Erwan, mereka sangat rentan karena daya tahan dan daya saingnya sangat lemah. Chandra Asri adalah contoh yang sangat jelas. Sejak beroperasi pada 1995 sampai sekarang, pabrik petrokimia itu tak pernah untung. Padahal, pe-merintah sudah habis-habisan di sana. Selain memberikan proteksi berupa bea masuk untuk produk sejenis, bank-bank pemerintah juga memberikan pinjaman yang tidak sedikit. Contoh yang lain adalah stasiun televisi TPI. Perusahaan televisi swasta pertama di Indonesia ini gagal bersaing dengan Indosiar, yang masuk ke bisnis ini jauh lebih belakang.
Sebaliknya, perusahaan yang tak pernah mendapatkan proteksi apa pun, seperti perusahaan-perusahaan rokok, justru mampu bertahan sampai sekarang. Gudang Garam dan Sampoerna adalah dua dari sedikit perusahaan yang tak pernah rugi selama krisis. Sementara itu, raja makanan Indofood, yang di atas kertas mestinya bisa selamat dari krisis, ternyata merugi cukup besar.
Menurut Wilson, faktor pemimpin me-megang peranan penting, terutama dalam menetapkan visi ke depan. Seperti yang terjadi pada Sinar Mas. Sejak 1976, Eka Tjipta sudah ingin mengembangkan bisnis pulp dan kertas. Dan itu direalisasikan sehingga Sinar Mas menjadi perusahaan pulp dan kertas terbesar di Asia di luar Jepang. Atau Liem, yang membidik bisnis yang terkait dengan sandang, papan, dan pangan. Selain itu, kreativitas dan inovasi juga menjadi salah satu kunci keberhasilan seorang pemimpin. Putera Sampoerna adalah salah satu contohnya. Sampoerna sudah memproduksi Mild, rokok dengan kandungan tar dan nikotin yang rendah, jauh sebelum perusahaan rokok lain memikirkannya. Di kemudian hari, langkahnya ini diikuti oleh yang lain, tapi Sampoerna sudah berlari jauh ke depan.
Alhasil, jika dicermati, mereka yang sukses kebanyakan pengusaha yang fokus dengan bisnisnya dan memiliki visi yang jelas. Lihat saja Husein Djojonegoro dengan ABC-nya, Tan Siong Kie dengan Rodamas/Asahimas yang menguasai pasar kaca, Sudamek Agung dengan Kacang Garuda-nya. Atau Wings, yang dengan gagah berani menantang dominasi barang-barang konsumsi kebutuhan sehari-hari oleh Unilever di Indonesia. Mereka semua, kata Wilson, praktis tak banyak mendapatkan fasilitas dari pemerintah sebagaimana yang lain.
Sangat berbeda dengan pengusaha-pengusaha yang dekat dengan kekuasaan atau bahkan menjadi bagian dari kekuasaan itu sendiri. Bisa dikatakan, bisnis mereka tidak berkembang. Hal ini mudah dipahami karena keberhasilan mereka rata-rata bergantung pada patronnya. Jika patronnya masih oke, bisnis mereka juga akan dengan cepat berkembang. Begitu sebaliknya. Selain itu, daya saing mereka juga sangat bergantung pada fasilitas yang diperolehnya dari pemerintah. Contohnya, Sedan Timor. Begitu fasilitas perpajakannya dicabut, yang unggul justru Suzuki Baleno.
Sayang, tak banyak pengusaha sekelas Putera atau Julius Tahija, yang punya talenta dan perhitungan bisnis bagus, mau terjun ke pemerintahan. Kebanyakan yang ber-sedia masuk ke sana justru pengusaha yang kepemimpinannya di dunia bisnis agaknya belum teruji betul. Tanri Abeng, eksekutif yang pernah berjuluk Manajer Satu Miliar, pun tak bisa dibilang sukses ketika terjun ke pemerintahan. Usahanya menjual badan usaha milik negara tak berhasil sebagaimana direncanakan. Kantornya malah dituding sebagai sarang korupsi, terutama dalam kasus penjualan saham Pelindo II kepada Hutchison Whampoa (Hong Kong)—meskipun sampai kini belum bisa dibuktikan. Begitu pula prestasi Bob Hasan. Selama dua bulan menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan, praktis dia cuma menuai demonstrasi.
Pertanyaannya, mengapa para pengusaha bisnis yang hebat tak masuk dalam pemerintahan? Ada beberapa kemungkinan. Mungkin presiden sendiri yang tak mau memilih mereka, atau partai politik yang tidak mau mengajukan nama-nama di luar pengusaha yang menjadi penyokongnya. Kemungkinan lain, para pengusaha itu sendiri yang tidak mau. Pengusaha seperti Putera atau Tan Siong Kie, misalnya, lebih memilih tidak terlalu menonjolkan diri. Selain itu, muncul prasangka yang kuat di masyarakat bahwa pengusaha yang jadi menteri selalu berusaha memperkaya dirinya, sehingga resistansi terhadap mereka juga kuat.
Agaknya ada hambatan psikologis yang membuat para pengusaha atau manajer terbaik enggan masuk ke pemerintahan. Ditambah lagi, di zaman Soeharto dunia usaha menjadi sasaran pemerasan pemerintah. Soeharto sering memanfaatkan mereka untuk berbagai hal, dari urusan pembagian saham untuk koperasi sampai menjadi penyumbang untuk kegiatan sosial dan berbagai yayasan yang dipimpinnya. Bisa dibilang, tidak ada insentif bagi para pengusaha tangguh untuk masuk ke pemerintahan. Dan rupanya sampai kini masih sulit mengharapkan putra-putri terbaik di dunia bisnis tampil menjadi salah satu pemimpin nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini