Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pucuk Dicita, <font color=#CC3333>Neolib Tiba</font>

1 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERBAJU hitammerah, Megawati Soekarnoputri berdiri di hadapan sekitar seribu pengusaha yang memenuhi Grha Sabha Buana Surakarta, Jumat pekan lalu. ”Tak usah khawatir, Anda juga rakyat,” ka­ta kandidat presiden koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Gerakan Indonesia Raya itu. Lalu, sambil mengepalkan tangan, Mega berkata lagi, ”Ekonomi kerakyatan bi­sa berjalan jika petani, buruh, pengusaha bekerja sama.” Malamnya, deklarasi ekonomi kerakyatan dibacakan di Pasar Gede Hardjonagoro, Kota Solo.

Sejak perang tanding antarcalon ­pre­siden dimulai, kata ”kerakyatan” me­rebak bagai cendawan. Ia seolah menjadi kebalikan dari istilah ”neolib”, akro­nim neoliberalisme, yang mencuat setelah terpilihnya Boediono sebagai pendamping Yudhoyono awal Mei lalu.

Oleh lawan politiknya, Boediono dituding sebagai biang neolib. Mazhab ekonomi ini secara sederhana dipahami sebagai sesuatu yang mengharamkan peran negara dalam pengelolaan ekonomi. Pasar adalah penentu satusatunya.

Boediono menyangkal tudingan itu. ”Masak, saya dituduh neolib,” katanya ketika bertemu dengan civitas academica Universitas Gadjah Mada, pekan lalu. Dalam wawancara dengan Tempo sesaat sebelum deklarasi pencalonannya sebagai kandidat wakil presiden, ia mengaku prorakyat kecil dan tetap memandang perlu intervensi negara. ”Ketika program Bantuan Langsung Tunai dirumuskan, saya adalah Menteri Koordinator Perekonomian,” katanya. Bantuan Langsung Tunai adalah program yang mensubsidi orang miskin akibat kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak.

Tapi, bagi penentang Boediono, neolib adalah ”pucuk dicita ulam tiba”. Isu ini dianggap ampuh merontokkan popularitas Yudhoyono, yang menurut prediksi sejumlah lembaga survei masih tinggi. ”Pokoknya, isu neolib akan kami buat seperti komunisme,” kata seorang sumber dalam tim sukses KallaWiranto. Maksudnya, semua yang jelek akan ditimpakan pada neolib.

Di Bandung, saat pasangan SBY-Boediono dideklarasikan, spanduk dan pamflet antineolib bertebaran. Akhir pekan lalu, muncul iklan layanan masyarakat televisi yang menekankan ”bahaya” neoliberalisme. Di akhir iklan, Kwik Kian Gie, Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional di era Megawati Soekarnoputri, muncul menjelaskan soal bahaya neoliberalisme. Anehnya, Kwik Kian Gie mengaku tidak tahumenahu soal iklan itu. ”Bisa saja nama saya dica­tut,” katanya.

Yang terangterangan menuding Boediono neolib adalah Fuad Bawazier, Menteri Keuangan di era Orde Ba­ru, yang kini menjadi anggota tim kampanye Jusuf KallaWiranto. ”Neolib itu konsensus Washington, dekat dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan mafia Berkeley,” katanya. Fu­ad membantah memakai isu neolib sebagai materi kampanye. ”Tanpa isu itu, Boediono memang neolib sejati. Pengangkatan Boediono sebagai calon wakil presiden makin menunjukkan SBY pendukung neolib,” ka­ta­nya.

Menurut Fahmi Idris, ketua tim kampanye KallaWiranto, Boediono setidaknya mengakui neoliberalisme punya peran dalam ekonomi Indonesia belakangan ini. ”Dalam pidatonya di Bandung, Boediono mengatakan akan memo­derasi perkembangan ekono­mi. Artinya, dia mengakui ada yang ekstrem dari pasar bebas. Akan memode­rasi itu artinya Boediono mengakui ada­nya neolib,” kata Fahmi.

Tapi Fahmi menyangkal akan menggunakan isu ini untuk ”menembak” Yudhoyono Boediono. Katanya, pasangan JKWin—begitu nama KallaWiranto kini disingkat—bahkan tak mengutamakan isu eko­nomi dalam kampanye. ”Isu politik, sosial, dan keamanan lebih menarik karena justru di situ JK unggul,” ujar­nya.

Jadi benarkah Boediono neolib? Tony Prasetiantono, Ketua Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, menyebutkan rekannya cenderung neo­klasik yang percaya kepada pasar. Kebijakan apa pun yang diambil, Boediono tak melepas pasar begitu saja. ”Pak Boed juga percaya intervensi pemerintah sangat penting,” katanya.

Dwidjo U. Maksum, Akbar Tri Kurniawan (Jakarta), Ahmad Rafiq (Surakarta), Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus