Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pujian untuk masa lampau

Pameran peninggalan kebudayaan islam "the heritage of islam", di amerika. untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi orang amerika terhadap islam. (sel)

14 Januari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM sejarah Islam, kekhalifahan silih berganti. Dan masing-masing meninggalkan warisan kongkret berwujud kekayaan kesusastraan dan seni, sementara kekuatan politik dan militer mereka menguap dalam debu sejarah. Kekhalifahan Abbasiah di Baghdad, pemerintahan Mamluk di Mesir dan Syria, Kekaisaran Safavid di Iran, para penguasa Mughal, dan Ottoman, semua telah mencapai taraf yang mengagumkan dalam bidang ilmu, sastra, seni, arsitektur - ciptaan gemilang yang merupakan monumen abadi keyakinan bersama. Salah satu usaha yang ambisius telah dicoba untuk menangkap esensi semua itu. Yaitu melalui pameran yang bernama The Heritage of Islam, diselenggarakan secara berantai di Amerika Serikat, dan berlangsung pula di Smithsonian's Museum of Natural History. Sejumlah 250 contoh ditampilkan dalam pameran, meliputi: keramik, manuskrip berilustrasi, kaligrafi, perkakas ilmiah, tekstil, ukir-ukiran, perhiasan, dan koin dari para pengrajin Muslim. Yang menarik, dari rangkaian pameran yang berlangsung tahun kemarin itu, ialah bahwa setiap abad, sejak Nabi Muhammad menancapkan ajarannya, diusahakan terwakili meskipun tidak setiap negeri Islam. Barang-barang itu telah dipinjam dari pelbagai museum dan koleksi pribadi di Amerika sendiri, Eropa, dan negeri-negeri Timur-Tengah. Dengan sendirinya pameran menyuguhkan keanekaragaman bentuk, gaya, teknik, dan pendekatan artistik dari sejumlah karya yang lahir dari berbagai kurun, yang lalu tidak bisa dihadapi dengan satu sikap yang sama atau main pukul rata. Tapi satu hal, menurut Smithsonian, bisa kita ambil sebagai kerangka pijakan: agama yang dianut para penciptanya. Kalau tidak, tentu tak bisa diketahui apa, misalnya, yang menjadi jalur penghubung antara tekstil abad ke-12 Spanyol dan perkakas bedah dari Mesir abad ke-9, pecah belah dari Samarkand, kotak batu iok berbentuk mana dari India. dan lukisan abstrak pelukis kontemporer Turki. Barang-barang yang dipamerkan - didukung dengan panel-panel, pelbagai model dan foto - disusun sedemikian rupa, sehingga tergambar tema-tema dasar dan teknik yang berkembang sepanjang sejarah. Di situ keislaman bisa dilihat melalui gambaran dan artefak Nabi, kesucian Mekah, naskah Quran dan masjid-masjid agung. Tertera juga empat elemen dekorasi khas Islam: kaligrafi, pola geometris, ornamentasi dalam pola tumbuhan dan bebungaan, serta figur manusia dan binatang. Dalam beberapa karya, berbagai unsur itu saling melengkapi. Satu contoh adalah sebuah panel arsitektur yang dihiasi desain geometris abstrak. Ketika diamati lebih dekat, pola geometris itu ternyata tulisan Arab, yaitu kalimah syahadat. Kalimah syahadat, seperti juga kutipan ayat dari Quran, tampak banyak sekali pada karya yang dipamerkan. Inilah pertanda terpenting adanya kesatuan para penciptanya dari segala tempat dan zaman. Hal itu justru menambah daya pikat sebuah karya. Lihat, misalnya, lampu masjid yang terbuat dari beling enamel, karya dari Syria abad ke-14. Maksud pembuatannya sudah jelas untuk menerangi ruang masjid. Tapi kita tentu juga tak boleh mengesampingkan kutipan ayat Quran yang menempel pada lampu itu: "Allah cahaya langit dan bumi. Lambang cahaya-Nya bagai misykat, di dalamnya pelita . . . " dan seterusnya. Misykatadalah ceruk di dinding tempat meletakkan lampu, seperti di masjid tua atau biara-biara. Menyangkut urusan katalog pameran ini, ada sedikit kekisruhan. Eleanor Sims, kurator pameran, dan the Wational Committee to Honor the Fourteenth Centennial of Islam, yang mensponsori, mengakui ada yang mengganjal. Yaitu, bagaimana sebaiknya cerita yang mesti ditulis dalam katalog, dan pendekatan apa yang mesti diambil. Persoalan ini tak bisa dielakkan, memang, mengingat para pendukung kegiatan besar ini - sponsor, kurator, dan kolektor punya pendapat berlainan mengenai fokus pameran sendri. Sang sponsor, Islam Centennial Fourteen, adalah organisasi nonprofit yang beranggotakan para sarjana, pensiunan diplomat, dan para eksekutif bisnis yang sudah akrab dan mencintai warisan peradaban Islam masa lampau. Tujuan Komite adalah meningkatkan kesadaran dan apresiasi orang Amerika terhadap Islam. Sedangkan para pendukungnya terdiri antara lain dari pelbagai perusahaan minyak raksasa, para kontraktor yang membuka usaha di Timur Tengah, dan King Faisal Foundation. Dalam hal ini pihak Komite berhati-hati sekali untuk menghindari politik alias propaganda. Berhubung semua benda yang dipergelarkan merupakan pinjaman kanan-kiri, urusannya pun repot. "Kami mau tak mau harus menaati segala petunjuk pemiliknya," tutur Eleanor Sims. "Kami tidak bisa begitu saja mendapatkan 250 karya terindah kesenian Islam yang bisa didapat di suatu negeri. Demi tujuan pendidikan, obyeknya pun tidak sembarangan dipilih." Untuk itu semua, Sims telah menggunakan segala koneksinya selama ia berkarier bertahun-tahun sebagai kurator profesional. Pendidikan Sims sebagai sejarawan seni berfokus pada Iran. Ini tak lepas dari kenyataan bahwa karya pilihannya sejumlah besar terdiri dari karya Persia, yang memiliki gaya estetika berbeda dari karya Arab. Islam Syiah, yang merupakan kepercayaan resmi Iran, terhitung lebih emosional dan lebih merupakan kepercayaan kepada pribadi yang duduk dalam hirarki keagamaan, menurut tulisan ini. Sebuah ilustrasi manuskrip Persia abad ke-16 yang dalam pameran hanya ditampilkan reproduksinya, dalam foto yang dibesarkan - memberikan contoh adanya perbedaan estetika itu. Subyek lukisannya adalah mi'raj Nabi Muhammad, yang bertolak dari sebuah bukit tempat kini Masjidil Aqsa tegak berdiri. Dalam lukisan itu, beberapa ciri gambaran Muslimin tradisional terlihat: pohon-pohon palma, padang pasir, masjid, Ka'bah, pemisahan antara laki-laki dan wanita. Cuma, di situ tergambar juga tokoh suci yang, seperti lazimnya dalam karya Persia, berwajah Asia Tengah alias non-Arab. Dan tokoh ini bersayap transparan, seperti gambaran bidadari dari lukisan Eropa. Yang mengejutkan di situ - setidaknya bagi yang biasa dengan sikap orang Islam non-Syi'i dalam seni rupa - adalah ditampakkannya gambaran Nabi Muhammad. Beliau dilukiskan mengenakan surban putih dan berjubah hijau, mengendarai buraq - sejenis kuda terbang berkepala wanita, dengan wajah bidadari Asia. Bahwa tidak semua barang yang dipamerkan merupakan karya asli, melainkan reproduksi, itu karena kesulitan membawa yang asli. Atau, yah, demi keamanan. "Untuk ini, Sims, sebagai kurator, minta maaf," kata Thomas Lippman, penulis karangan ini. Bisa dimaklumi. Bagaimana mungkin, misalnya menggotong langit-langit Alhambra yang hebat itu ke pameran? Tentu cukup potretnya saja, meski potret itu malah membikin orang bingung dan tidak menantang inspirasi seperti aslinya. Untunglah, potret-potret lainnya, yang menggambarkan prestasi dunia Islam, bisa mewakili citra yang sebenarnya. Yang menyangkut prestasi ilmiah, misalnya. Para Astronom dalam Observatorium adalah judul reproduksi ilustrasi sebuah manuskrip Turki yang menggambarkan kegiatan para ilmuwan menggunakan astrolab - alat pengukur tinggi matahari di Zaman Pertengahan - garis busur, bola bumi, dan perkakas lain. Sewaktu Nabi Muhammad mengajar, masyarakat Arab pada abad ke-7 itu merupakan kelompok manusia semiprimitif - kasar, dipimpin para kepala suku, dan saling mendendam. Namun, dua abad setelah wafat beliau, Islam sudah menyebar ke orang-orang Yunani, Yahudi, Rum, Persia, dan Hindu. Mereka mengadopsi agama ini, sementara orang-orang Islam menyerap pengetahuan mereka. Maka, sewaktu Eropa Barat di Zaman Kegelapan tak berarti apa-apa, Baghdad dan kota-kota Islam lainnya menjadi pusat kegemilangan filsafat dan ilmu. Quran mendorong semangat penelitian ilmiah, menurut Smithsonian. Para sarjana Muslim menerima tantangan kitab suci, menggali karya-karya pendahulu mereka dari Yunani dan Babilonia lalu mematutkannya dengan karya sendiri. Jadilah ilmu baru yang mewah. "Itulah pengetahuan yang benar-benar bersifat internasional yang pertama," kata Howard Turner, kurator pameran yang membidangi barang-barang keilmuan. Dan, ketika sampai ke Eropa, pengetahuan itu "telah mempercepat gerak Renaisans, yang kemudian membantu melahirkan kemajuan ilmu pada masa kita ini." Barang-barang seperti yang menyangkut kosmologi, matematika, optik, astronomi, astrologi, kimia, sejarah alam, kedokteran, geografi, dan teknologi, bisa dilihat contohnya dalam pameran ini. Di antaranya, yang paling dramatis, adalah diagram anatomi mata - dari sebuah teks kedokteran Mesir abad ke-13. Ilustrasi itu mengungkapkan kemajuan penelitian ilmiah mereka dalam bidang optik. Tak kalah pula daya pikatnya adalah gambar anatomi tubuh dari abad ke-15, dikopi dari ensiklopedia kedokteran Ibnu Sina. Ibnu Sina, yang meninggal 1037, "mewariskan risalah yang merupakan teks basis bagi dunia kedokteran Islam dan Barat sampai abad ke-19," tulis Lippman. Gambar tadi - sketsa sosok manusia - memperlihatkan jalur pencernaan dan onderdil-onderdil lain dalam jasad. Yang mengejutkan, kata Turner, gambar itu dengan jelas memaparkan pula pembuluh yang mengangkut darah dari paru-paru ke seluruh tubuh. "Ini fakta fisiologi yang sudah diketahui orang Islam 350 tahun sebelum William Harvey menemukannya." Menyertai prestasi kedokteran dalam pameran adalah gambar-gambar rancangan rumah sakit, masjid, dan makam di Kairo abad ke-13 - sewaktu Qalawun dari Kesultanan Mamluk berkuasa. "Ini menunjukkan, di Abad Pertengahan itu pola pembuatan rumah sakit oleh orang Islam bisa dianggap sudah demikian maju. Bangsal laki-laki dan perempuan dipisahkan. Ada ruang-ruang khusus untuk pembedahan, sakit mental, dan penderita penyakit menular. Fasilitas farmakologi dan sarana pengembangan keterampilan sudah standar," kata Turner lagi. Seperti juga dalam karya-karya lain, di situ pun unsur keagamaan tak sunyi. Sebab, demikianlah, karya-karya itu dibuat atas kehendak Allah. Ada pula koleksi astrolab. Perkakas ini, yang mekanismenya seperti komputer, merupakan alat dasar dalam navigasi sebelum ditemukan kompas. "Memang kaum Muslimin tidak menemukan astrolab, tapi mereka memperhalus dan menyempurnakannya," tulis Lippman. Sebelumnya alat itu memerlukan pelat dasar yang berlainan untuk menentukan garis lintang yang spesifik. Orang Islam mengembangkannya menjadi astrolab yang lebih universal, yang bisa menentukan pelbagai garis lintang secara akurat tanpa keharusan mengganti piring landasannya. Dalam pameran ini ada 14 astrolab yang pantas diacungi jempol untuk kerapian pembuatan dan ornamentasinya. Satu di antaranya adalah astrolab universal bikinan Syria 1328. Pada era klasik, dalam Islam tidak ada perbedaan jelas antara ilmu pengetahuan dan agama, seperti juga tidak ada perbedaan antara agama dan negara, kata Lippman. "Kini, tentu, para insinyur Islam akan bilang bahwa yang namanya pembuatan baja secara Islam dan pesawat sistem Islam itu tidak ada." Tapi, memang, tak ada gejala alam, aktivitas manusia, pandangan dan ide-ide yang lepas dari agama. Semua itu ada karena Allah menciptakannya "dan semua prestasi tercapai karena Tuhan maha besar dan welas asih." Tak bisa dipungkiri bahwa ilmu pengetahuan para Muslim tidak hanya menganalisa gejala-gejala yang kasat mata. Tapi juga segala kemungkinan supernatural yang berada di kawasan tak terjangkau alias extraterrestrial. Contoh keunggulan astrologi dan kosmologi itu bisa kita dapati dalam pameran ini, di bagian science. Salah satu yang memukau adalah ilustrasi dari satu ensiklopedi keilmuan yang ditulis di Iran pada abad ke-13. Di situ terpampang dua jenis makhluk angkasa. Satu berbentuk kuda bersayap. Yang lain adalah makhluk semacam manusia, mengenakan sayap di kedua bahu, seperti yang kemudian tampak pada gambaran malaikat dalam seni rupa Kristen Zaman Renaisans. Di luar Iran, dan barangkali juga di India pada masa Moghul, kebudayaan Islam bagaimanapun tak akan menggambarkan figur-figur seperti itu, tapi lebih menonjolkan benda-benda keagamaan: Ka'bah, ayat Quran, dan motif-motif dekoratif yang mengutip hadis Nabi. Yah, ada juga yang merupakan perkakas yang bisa dimanfaatkan, atau pernik-pernik lain. Ini tak secara khusus menekankan karakter religius, dan lebih merupakan wakil suatu gaya atau teknik, dari suatu tempat dan waktu, dalam sejarah Muslimin. Dari kelompok itu, satu yang memukau adalah tempayan keramik putih, cantik, dengan goresan-goresan spiral bermotif bebungaan berwarna biru. Barang ini berasal dari masa pemerintahan Ottoman abad ke16, saat imperium itu mencapai puncak kejayaannya. Benda yang juga disebut olden horn ini biasanya terbuat dari logam, bukan keramik. Pada lahirnya, ia tak menampakkan dekorasi yang religius. Tapi hiasannya ternyata sama dengan hiasan pada lembaran-lembaran maklumat keagamaan, juga pada halaman Quran - dari masa yang sama, kata Eleanor Sims, dalam katalog. Di luar itu, ada sebuah mangkuk dari Iran abad ke-10 yang dilukis dalam pola bersilangan yang sangat artistik. Ini juga dihiasi kalimat berbahasa Arab dengan kaligrafi Kufi, yang berbentuk siku itu, dan berbunyi: "Dia yang yakin akan kebesarannya akan mantap dengan kekuatannya." Nya yang pertama itu, kalau tidak juga yang kedua, mungkin dimaksud sebagai ganti Allah. Ini dipinjam dari Avery Brundage Collection of the Asian Art Museum, San Francisco. "Tampak ia menunjukkan selera Islam yang cermat, penggunaan huruf Arab sebagai dekorasi, dengan semangat estetika gaya abstrak modern," kata Sims memuji-muji. Karangan ini memang penuh pujian. Sebuah mangkuk keramik dari Iran juga menjadi sasaran puji-pujian Sims. "Contoh paling cantik dari karya sejenis di mana pun," katanya. Mangkuk ini terbuat bukan dari lempung biasa, tapi dari bahan-bahan tiruan yang mengandung kuarsa (yang sudah dikembangkan), tanah istimewa yang sangat liat, dan elemen-elemen lain, yang membentuk kombinasi halus dan cemerlang. "Sebuah karya seni Islam yang luar biasa," kata nona (atau nyonya?) itu lagi. Bagi para pengunjung pameran yang tak paham seluk-beluk kemusykilan pembuatan keramik, barangkali yang lebih memikat adalah barang-barang harian yang tidak memancarkan keagungan. Misalnya: baju pos berantai, yang setiap kaitnya bercap nama Allah, Muhammad, atau Imam Husain. Atau "Quran duduk" dari Afrika Utara. Atau gambar rusa jantan yang berjingkrak dari risalah Persia Abad Pertengahan, bertuliskan: "Keberuntungan bersumber pada binatang." Yang tak kalah pentingnya, pameran ini nonpolitis. Dari sini tak tercermin kegalauan politik dunia Islam modern. Malah, sebaliknya, merupakan perkenalan yang memikat untuk menjelaskan bahwa yang menopang ketahanan Dunia Islam adalah pemusatan kepercayaan akan kehidupan, kesetiaan pemeluknya, tradisi Quran, upacara haji atau ziarah lain, dan keingintahuan kaum intelektualnya, yang melekat pada prestasi-prestasi besar sarjana dan seniman Muslim. Itu sepanjang yang dicatat dan ditafsirkan dari abad-abad lampau.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus