Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Penjelajah yang tak kembali

Buku penulis swedia, per-olof sundman, yang mengkisahkan perjalanan salomon august andree bersama kedua temannya, melintasi kutub dengan balon, 1877, difilmkan. (sel)

14 Januari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BALON yang berisi gas hidrogen itu mulai dilepaskan tali-talinya. Ini kejadian di Hovs Hallar, permukiman nelayan di pantai Swedia awal tahun lalu. Balon bernama Ornen (Rajawali) itu pun segera mencuat hingga ketinggian 75 m di udara. Kemudian, pelan-pelan, dibawa angin sampai jauh, melintasi Laut Utara. alam gondola alias keranjang yang tergantung di bawahnya, berdiri Max von Sydow, bintang film kenamaan. Ia disertai dua aktor pembantu, Goran Stangertz dan Sverre Anker Qusdal. Di darat, seorang juru kamera sibuk merekam semua kegiatan di udara, sementara Sutradara Jan Troell mengamati semuanya dengan cemas. Detik-detik itu memang cukup menegangkan. Yang dipertaruhkan bukan hanya keselamatan ketiga aktor yang di udara, tapi juga suatu jadwal produksi yang ketat yang menyangkut anggaran sebuah film termahal yang pernah dibikin di Swedia. Film yang diberi judul Flight of the Eagle itu didasarkan pada buku penulis Swedia terkemuka, Per-Olof Sundman. Ia mengisahkan perjalanan ke Kutub Utara oleh Salomon August Andree, yang berakhir dengan malapetaka. Sebelumnya, di Swedia sendiri, Troull sudah terkenal lewat penyutradaraan film-film The Emigrants (1972) dan The New Land (1973). Yang pertama dibintangi Liv Ullmann dan memenangkan empat pencalonan untuk Hadiah Academy. Film Troell ini telah dicalonkan bagi Hadiah Academy, kali ini dalam kategori film berbahasa asing terbaik. Andree (di sini diperankan oleh Sydow) bersama dua rekannya, Nils Strindberg dan Knut Freakel, pada tahun 1897 mencoba mencapai Kutub Utara dengan sebuah balon berisikan hidrogen. Mereka lepas landas 11 Juni 1897 dari Pulau Dane di Kepulauan Svalbard (Spitsbergen). Tapi, tiga hari kemudian, mereka terpaksa mendarat di bentangan es yang buas, setelah mencapai sekitar 480 km. Untuk kembali ke pangkalan mereka, selama hampir tiga bulan Andree dan kedua rekannya menempuh perjalanan penuh derita melalui bentangan dingin itu, dan kehilangan semua "rasa arah" di tengah bongkahan es yang mengapung dan menghimpit mereka dari segala jurusan. Akhirnya, mereka lenyap. Pada abad ke-19 itu hasrat mengungkapkan rahasia Kutub Utara itu memang sangat gencar - dengan bantuan teknologi yang belum memadai. Berbeda sekali dengan keadaan sekarang, seperti digambarkan oleh Per-Olof Sundman, penulis cerita yang difilmkan ini, ketika ia turut dalam pelayaran kapal pemecah es Ymer milik Swedia. Kapal Sundman itu menempuh pelayaran 100 hari ke Kutub Utara, pertengahan 1982. Setelah empat minggu berlayar di tengah es dan salju, si penulis merasakan seolah minggu-minggu itu menyatu menjadi satu hari yang teramat panjang. "Sekalipun jadwal makan selalu tetap, di kapal, orang cenderung tak menyadari berlangsungnya waktu dari jam ke jam. Setiap jam dipadu dengan yang berikut, hari disusul malam, tapi malam itu tak pernah ada," tulisnya. "Apa pun tampak putih menyilaukan." Ketika berada di garis lintang ke-82, es semakin padat, tebal, dan ganas. Sundman menyadari, kelompok ekspedisi itu bagai masyarakat kecil yang hidup penuh kenyamanan di tengah alam yang dahsyat itu. "Bahkan baru 50 tahun lalu, siapa saja yang memasuki daerah es di Kutub Utara berarti meninggalkan segala yang pasti dan aman, dan mempertaruhkan nyawa," tulisnya. "Tapi, bagi kita di Ymer, keadaan justru sebaliknya. "Sekitar kami gumpalan es menumpuk, menyusun bentuk yang tak menentu. Garis-garisnya yang tajam kadang semakin lembut, dan menghilang dalam kabut yang tebal. Sungguh suatu dunia penuh kekuatan dan pertentangan. Di satu pihak, es, es, es melulu, es yang tak ada habisnya hingga memuakkan orang. Di pihak lain 8.000 ton baja dan 22.000 daya kuda. "Kami, di dalam kapal, menikmati hidangan sepenuh meja, mandi dengan air atau uap panas, mencuci pakaian dengan mesin cuci, ganti baju menjelang makan malam, memakai seprei dan handuk bersih secara teratur. Satelit dan radio di bumi menghubungkan kami dengan dunia luar, dan setiap saat kami menerima foto tentang lautan es sekitar kami yang diambil dari ribuan kilometer di atas. Kami menerima telegram penuh informasi tentang angin dan cuaca. Kami bisa tukar-menukar berita, dengan bahasa biasa ataupun sandi, dengan Alvsborg Radio. Buletin berita terakhir, sekalipun sudah lewat beberapa hari, setiap hari kami terima." Semua itu tentu tak tersedia bagi Andree dan kawan-kawannya, hampir 90 tahun lalu. Empat hari setelah Andree lepas landas, kapten sebuah kapal nelayan Norwegia menembak jatuh seekor merpati pos. Ternyata, sebuah tabung diikatkan - pada kaki burung itu, dan mereka temukanlah sehelai surat dari Andree yang ditulis dua hari sebelumnya, yang menceritakan ihwal pendaratan mereka. Lalu tahun-tahun berikutnya - 1899 dan 1900 berbagai pelampung berisikan surat dari tim Andree ditemukan pula di tengah laut. Tapi selain komunikasi yang singkat dan jarang seperti ini, kesunyian telah menyelimuti peristiwa penerbangan balon itu. Semua usaha pencarian tak membawa hasil. Hingga sekitar 33 tahun kemudian. Ketika itu, awak sebuah kapal Norwegia mendarat di Kvitva (White Island) alias Pulau Putih yang jarang didatangi manusia, dan menemukan bekas perkemahan Andree yang terakhir. Letaknya hampir 400 km dari tempat Andree dan kawan-kawannya lepas landas semula, dan 330 km dari tempat balon mereka mendarat. Di situ pula didapati jenazah ketiga orang itu, plus buku harian Andree - yang isinya sangat terperinci serta film foto-foto yang diambil Strindberg, salah seorang dari yang tiga. Ketika film itu dicuci, setelah bertahun-tahun terpendam di bawah lapisan salju, kegiatan dan perjuangan ketiga orang itu tiba-tiba kembali hidup secara ajaib. Jenazah mereka pun lalu dibawa pulang ke Swedia. Jan Troell, sutradara film riwayat ini, memang sejak dulu terpesona oleh pribadi Andree, juga oleh dilemma moral yang dipikulnya. "Ada sebuah teori," ujar Troell, "bahwa sesaat menjelang lepas landas, Andree sebenarnya menyadari bahwa ekspedisinya, dengan perlengkapan yang ada, telah ditentukan untuk gagal." Troell juga terangsang oleh perhatian Andree yang saksama atas berbagai detail praktis. "la bahkan merancang sendiri tendanya, juga pakaian yang dikenakannya serta kedua rekannya. Ketiga orang itu tampaknya menyadari betul apa yang mereka pertaruhkan, tapi mereka menolak mengakuinya." Jadi, pada akhirnya, pribadi-pribadi orang itu sendiri yang menjadi penting bagi Troell. Dan itu yang mendorongnya membuat film ini. Orang-orang seperti apa yang berani menempuh perjalanan yang hampir pasti bakal membinasakan mereka itu? Dan macam apapula suasana zaman yang melahirkan keberanian semacam itu? Pada pertengahan kedua abad lalu, perkembangan keilmuan dan teknologi yang semakin pesat - dibanding masa-masa sebelumnya - membuat orang bertambah haus akan pengetahuan yang lebih banyak. Juga perdagangan dan kekuasaan politik mendorong orang mencari jalur perhubungan laut yang baru. Maka, pandangan dialihkan ke Kutub Utara - hendak diwujudkan impian berabad-abad mengenai lintasan laut melalui sumbu dunia itu. Banyak ekspedisi dilakukan, terutama yang meneliti keadaan fisis dan meteorologi kawasan senyap itu. Kebanyakan rombongan seperti itu cukup perlengkapannya, dan dibekali ilmu dan pengalaman. Tahun 1893, misalnya, penjelajah Norwegia tersohor, Fridtjof Nansen, berlayar dengan kapal Framyang khusus dirancang untuk meneliti arah berbagai arus di Samudra Arktik. Ketika itu, orang belum yakin benar bahwa daerah itu memang samudra mereka menyangka Greenland itu melintasi kutub dan bersambung dengan kepulauan di utara Rusia. Kapal Fram terperangkap dalam cengkeraman es, yang memang direncanakan Nansen. Ia serta seorang pembantu lalu meninggalkannya, dan kembali dengan kendaran peluncur yang ditarik anjing, diseling perjalanan dengan kayak alias perahu. Mereka berhasil mencapai Norwegia dengan selamat, demikian juga kapal Fram kemudian, dengan seluruh awaknya. Ini antara lain membuktikan bahwa samudra di kutub itu memang lautan lepas. Nansen dielu-elukan seluruh dunia. Frederick George Jackson dan Alfred Harmsworth (kemudian Lord Northcliffe) menjelajahi wilayah itu pula, dari tahun 1894 hingga 1897. Komodor Robert E. Peary pun memimpin berbagai ekspedisi ilmiah ke sana - 1898,1905, dan 1908 - dan hampir saja kehilangan nyawa. Tapi Andree-lah orang pertama yang ingin mencoba melintasi kutub dengan balon. Sekitar 20 tahun sebelumnya, Henry Coxwell - dokter gigi berkebangsaan Inggris yang kemudian menjadi perwira di kesatuan balon tentara Jerman - pernah menerbitkan rencana mendetail bagi suatu perjalanan ke kutub dengan menggunakan balon, tapi agaknya Andree tak pernah membacanya. Gagasan melintasi kutub dengan balon mungkin timbul pada diri Andree sendiri ketika ia berada di Spitsbergen, 1882, sebagai anggota tim ilmiah Swedia yang dipimpin Nils Ekholm. Ia kembali dengan keyakinan penuh: penelitian Kutub Utara merupakan tugas bangsa Swedia! "Orang Swedia itu dikenal karena keberanian mereka," ujarnya suatu kali. "Mereka juga terbiasa dengan musim dingin yang panjang dan udara menggigil yang sangat, selain berkesempatan lebih baik dari siapa pun untuk memecahkan rahasia cekungan kutub itu. Kutub Utara itu urusan Swedia." Orang patriotik, cerdas, dan berkemauan keras itu - Salomon August Andree - lahir 1854 di Granna dekat Jonkoping, Swedia. Jonkoping adalah nama yang kita kenal lewat korek api Swedia itu. Ingat? Andree dibesarkan dalam suasana rumah yang cukup ketat, menurut ukuran sekarang, yang menekankan kepatuhan serta ketertiban tanpa kesempatan untuk iseng atau bermain-main. Ia seorang murid yang baik. Pada akhir suatu tahun pelajaran, ia memenangkan begitu banyak hadiah hingga orang berkomentar, "Pemuda itu bisa menghabiskan sepasang sepatu hanya untuk berjalan menuju tempat penerimaan sekian banyak hadiah itu." jawab tetangganya, "Biarlah kalau memang harus begitu. Karena ia putraku!" la juga berhasil baik di Universitas Teknik Negara. Andree tak pernah menikah. Agaknya, tak ada persediaan dalam dirinya buat melayani berbagai permintaan seorang istri. Satu-satunya wanita yang mempunyai peranan berarti dalam hidupnya ialah ibunya. Dua tahun setelah selesai dari universitas, Andree pergi ke Amerika Serikat, 1876. Ketika itu, di Philadelphia, perayaan seabad AS sedang memuncak. Ia minta kepada konsul jenderal Swedia di sana untuk mendapatkan surat izin masuk, tapi ia bahkan diberi pekerjaan sebagai tukang sapu di stand negaranya dalam keramaian itu. Ketika itu Andree sudah menaruh perhatian kepada ilmu aeronautika. Di Philadelphia, ia berjumpa dengan seorang aeronaut terkenal, John Wise, yang mengajarinya dasar-dasar penggunaan balon. Tapi kemudian ia sakit keras, dan pulang ke Swedia. Ia mulai bekerja di Kantor Paten Negara di Stockholm, dan menanjak dalam jabatan hingga menjadi insinyur kepala. Tapi itu hanya merupakan sarana mencari nafkah, dan bukan suatu karier yang tak hentinya ia persiapkan dengan belajar sungguh-sungguh tentang aeronautika dan balon. Tahun 1893, Lembaga Lars Hierta menghadiahkan kepadanya sejumlah uang untuk keperluan pembelian sebuah balon. Ia pun lalu membeli barang itu, dari seorang aeronaut Prancis. Balon itu ia namakan Svea. Tak kurang dari sembilan kali ia naik ke udara dengan Svea itu, kesemuanya seorang diri. Tahun 1894 Andree didekati Baron Adolf Erik Nordenskiold, ilmuwan dan pengembara, yang mempersoalkan kemungkinan menggunakan balon yang terikat bagi penelitian di wilayah Arktik. Andree langsung menceritakan kepadanya gagasannya untuk mencapai Kutub Utara dengan balon bebas. Komentar Nordenskiold, "Nah, ini kedengarannya sama sekali tidak jelek." Maka lahirlah ekspedisi Andree itu. Dari mana dana diperoleh? Saat itu Andree menerima telepon dari Alfred Nobel, penemu dinamit yang kemudian tersohor sebagai pendiri lembaga Hadiah Nobel. Ia sempat membaca soal proyek Andree, dan ingin menyumbangkan sejumlah uang - 1.100. Seminggu kemudian, Nobel malah menaikkannya menjadi 3.600, dan itu berarti hampir separuh dari dana yang dibutuhkan. Andree kemudian mengajukan permohonan kepada Raja Oscar ll, dan memperoleh tambahan 1.660. Pihak lain juga mulai menyumbang. Dalam waktu tiga pekan, seluruh dana yang dibutuhkan sudah terkumpul. Maka sebuah balon baru pun dipesan dari H. Lachambre di Paris, dan Andree mulai menyusun tim. Ini mencakup Nils Ekholm, teman yang pergi ke Spitsbergen bersama Andree empat belas tahun sebelumnya, dan Nils Strindber, ahli fisika dan juru foto. Nils ini famili August Strindberg, penulis drama yang naskah-naskahnya juga dikenal kalanan teater di Indonesia. Juga termasuk dalam tim yang berlayar dari Gothenberg 7 Juni 1896 itu Lachambre, dan dua tukang kayu yang bertugas membangun bedeng untuk menempatkan balon itu selama diisi dengan gas. Mereka tiba di Pulau Dane di Spitsbergen 22 Juni. Bedeng dibangun. Dan menjelang awal Agustus tahun itu, semuanya tampak beres. Tapi ternyata tidak demikian. Upaya itu terpaksa dibatalkan. Alasannya, ekspedisi itu terlambat berangkat. Sekalipun baru bulan Agustus, cuaca di Spitsbergen sudah mulai mendingin. Lebih menentukan, tak pernah ada angin yang cocok arahnya. Tahun berikutnya, 18 Mei, kelompok itu kembali siap, tapi kali ini tanpa Ekholm, yang mengundurkan diri karena merasa tidak yakin akan keberhasilan ekspedisi. Ia digantikan oleh Knut Freakel, bekas militer, olahragawan, insinyur, dan penggemar balon. Sebuah kapal perang berbobot 280 ton diperbantukan pada ekspedisi itu oleh Raja Oscar ll. Kapal Svenskundini dibangun kukuh sekali dan mampu menerobos kepungan es. Meskipun demikian, pendapat para pengamat umumnya sinis, seperti halnya pendapat Ekholm. Mereka bilang, keberhasilan tim itu nanti diukur bukan dengan tercapainya Kutub Utara, melainkan dengan kembalinya mereka dengan selamat di tanah air. Andree membawa perbekalan untuk empat bulan. Diperhitungkan, balon itu membawa balas untuk 30 sampai 35 hari. Dengan mengorbankan sebagian peralatan dan perlengkapan, mereka nanti bisa memperpanjang perjalanan dengan 20 hari lagi. Jika terpaksa mendarat, mereka harus kembali melalui bentangan es yang berbahaya. Dan mereka siap. Kembali tiba di Spitsbergen, mereka menemukan bedeng balon itu dalam keadaan baik, bertahan terhadap musim dingin. Mereka mulai mengetes balon: diisi, dikempiskan kembali, demikian berulang kali, sambil memperhitungkan jangka daya tahan gas hidrogen itu. Tapi angin dan cuaca yang tidak menguntungkan memaksa mereka menunggu hingga 11 Juli. Saat itulah Andree memberi aba-aba bertolak. Mereka menyalami awak kapal Svenskund. Tiba-tiba saja Andree menarik diri dari pelukan teman-temannya, menaiki gondola balon, dan berseru dengan suara tegas, "Strindberg. . . Freakel. . . Siap berangkat?" Karung berisikan pasir dilepaskan. Tali penambat diputuskan. Bedeng balon dibongkar. Dan, tiba-tiba, terasa hentakan: Ornen segera naik ke udara setinggi 50 m. Mereka telah berangkat. Tapi ada sesuatu yang seketika itu salah. Sepasang tali yang bergelantungan dengan beban di ujungnya, untuk membatasi ketinggian hingga 150 sampai 200 m, dua pertiganya ternyata putus ketika tali penambat dipotong. Tanpa beban itu, balon Ornen naik semakin tinggi, melampaui gunung-gunung berlapis es. Di depan tampak kabut, kelembaban dan es, ketidakpastian, tanpa cara yang bisa diandalkan untuk mengendalikan balon. Sekalipun begitu, para awak sempat mengalami saat penuh bahagia dan kemenangan. Pada 12 Juli, Andree menulis panjang lebar dalam buku harian, "Rasanya cukup aneh melayang-layang seperti ini di atas Laut Kutub, menyadari diri menjadi orang pertama yang terbang di sini dalam sebuah balon. Secepat apa, aku ingin bertanya, kita akan diikuti pihak lain? Akankah kita dianggap gila, atau contoh kita akan diturut? Aku tak bisa menyangkal, kami bertiga dihinggapi rasa bangga. Kami yakin bisa menghadapi maut setelah melakukan ini.... Inikah yang dinamakan ambisi?" Menjelang 14 Juli, mereka telah terbang selama 65 jam - umumnya ke arah utara - dan baru mencapai sebagian kecil dari jarak ke Kutub. Kelembaban dalam jumlah yang menakjubkan telah menyelimuti segala sesuatu dan menubahnya menjadi beku. Gas dalam balon itu mendingin, dan balon semakin merendah. Akhirnya, mereka putuskan tak bisa lagi melanjutkan penerbangan. Pada hari keempat, Andree membuka katup gas, dan menurunkan Ornen pelan-pelan di atas bentangan yang membeku di bawah mereka. Setiba di daratan, tanpa harapan bisa kembali terbang, ketiga orang itu menyimpulkan, lebih baik menempuh perjalanan melalui bentangan es dan berusaha mencapai Tanah Franz Josef, sekitar 365 km ke arah tenggara, tempat tersimpan sejumlah perbekalan darurat. Selama satu minggu mereka mempersiapkan perjalanan itu, membongkar perbekalan dari dalam balon dan memuatnya kembali di kendaraan peluncur yang mereka bawa Bulan-bulan berikut, hingga mereka mencapai Pulau Kritoya, merupakan masa penuh derita yang hampir tak tertahankan, dengan suhu yang membekukan segala, hujan, angin kencang, kabut, bongkahan es mengapung, dan rasa jemu dalam helaan kendaraan peluncur di bentangan es yang tak ada habisnya. Kebosanan itu terpecahkan ketika Andree menembak seekor beruang es, dan mereka menikmati istirahat dengan daging segar. Andree sempat mengabadikan peristiwa itu dalam foto yang menampilkan Strindberg dan Freakel berdiri di samping si beruang. Mereka menembak beberapa ekor beruang lagi. Andree menulis dalam buku harian, "Jejak beruang terlihat ini hari, dan dua hari sebelumnya dua pasang jejak itu juga terlihat. Ini berarti, bagi kita tersedia toko daging berjalan." Freakel jatuh sakit, mengeluh tentang kejang perut, dan menderita mencret yang sangat. Andree mengurangi kenyerian itu dengan sejumlah opium dan morfin. Ia sendiri juga menderita mencret, "tapi aku rasa sudah sembuh kembali, tanpa obat." Mereka berkemah di suatu bongkahan es mengapung - dan terbawa bongkahan itu - hingga semuanya berantakan ketika es kemudian pecah. Kini mereka sudah mencapai Pulau Kritoya, unggunan karang berselimutkan es sekitar 80 km sebelah timur Spitsbergen, di atas garis lintang 80. Mereka mendarat dan membangun kemah pada 5 Oktober 1897. Di tempat ini mereka merencanakan menunggu selesainya musim dingin kutub. Tapi buku harian Andree di sini tamat, dan tak ada cara untuk mengetahui apa yang terjadi kemudian. Pada musim panas 1930, sebuah tim ilmiah kecil dari Norwegia yang dipimpin Dr. Gunnar Horn, berada di Samudra Arktik, juga sebelah timur Spitsbergen. Mereka menempuh perjalanan itu dengan sebuah kapal layar benama Bratvaag. Di pantai Pulau Kritoya terlihat sekelompok walrus, dan dua regu dikirim dalam sekoci untuk menembak beberapa ekor. Sejumlah walrus kemudian diseret ke pantai untuk dikuliti. Satu jam kemudian, dua anggota regu itu menjelajah ke pedalaman pulau, mencari air minum. Nah, di tepi kali kecil mereka menemukan sebuah perahu terpal. Sebagian tubuh perahu terkubur di dalam salju. Perahu itu penuh perlengkapan, banyak di antaranya yang bertanda Andree's pol. exp. 1896. Itu tahun rencana pemberangkatan mereka. Mereka telah menemukan perkemahan Andree yang terakhir. Tiga kerangka manusia yang kemudian juga didapati, bisa dikenal identitasnya dari tanda di pakaian masing-masing. Kerangka-kerangka itu lantas dibawa kapal Bratvaag ke Norwegia, yakni pelabuhan Tromso, tempat bertolaknya demikian banyak ekspedisi Kutub Utara. Mungkin Dr. Horn sendiri tak menyangka besarnya perhatian yang akan diberikan dunia oleh penemuannya itu. Kota kecil di utara Norwegia itu dilanda para wartawan. Svenskund, kapal perang yang membawa Andree beserta timnya ke Pulau Dane pada tahun 1897, dilengkapi kembali, dan dikirim ke Tromso untuk menjemput jenazah ketiga tokoh itu. Dan di Gothenburg, Swedia, mereka disambut dengan gempita. Svenskund digiring ke pelabuhan oleh armada luar biasa besar kapal-kapal nelayan. Lonceng-lonceng gereja berdentam, ribuan obor dipasang, dan sekitar 125.000 orang berdiri sepanjang dermaga. Gelombang perhatian dan pemujaan pahlawan tak hanya melanda Swedia dan Skandinavia, tapi, kemudian, seluruh Dunia Barat. Surat kabar di setiap negeri bergabung dalam pemujaan. Ketika film Strindberg dapat dikembangkan, surat kabar New York Times mencatat, "Tak ada foto lain yang demikian berharga yang pernah dibangkitkan kembali dari mati menjadi hidup," serta menambahkan, betapa foto-foto itu merangsang "kegagunan dan ketakutan." Tapi teka-teki tak terpecahkan. Setelah menempuh perjalanan yang lama dan berat, ketika mendarat di Pulau Putih serta membuat kemah. Ditempat itu, tak lama kemudian, mereka mati nengapa? Bagaimana? Sudah bisa disimpulkan bahwa Strindberg lebih dulu mati. Jenazahnya ditemukan di sela antara dua batu karang, ditutup sejumlah batu. Ia jelas dikuburkan oleh kedua rekannya. Andree dan Freakel mati berbaring berdampingan dalam kemah mereka. Masing-masing tak berusaha memindahkan, apalagi menguburkan, jenazah temannya. Andree menggunakan sepatu Lapp, Freakel hanya mengenakan kaus kaki. Mungkinkah mereka mati kelaparan? Tidak, agaknya. Berbagai peti perbekalan yang belum dibuka ditemukan dalam perkemahan itu. Mestinya mereka punya cukup persediaan daging. Tambahan lagi, banyak kedapatan tulang beruang sekitar itu - beberapa terpotong-potong - serta dua kerangka anjing laut, yang juga terpotong-potong dengan gergaji. Dengan menggunakan tiga senapan dan sebuah pistol, mereka yang bertiga itu memang bisa saja memperoleh persediaan daging tambahan kapan saja. Barangkali mereka mati karena cuaca? Mungkin. Profesor Nils Lithberg mempelajari isi perkemahan dan daftar perlengkapan. Lalu menyimpulkan, mutu pakaian mereka tak memenuhi tuntutan suatu penjeIajahan yang lama di daerah Kutub Utara. Lagi pula ketiga orang itu ternyata hanya memiliki satu saja kantung tidur. Di samping ketidaknyamanan fisik karena harus menggunakan satu kantung berdua atau bertiga, malam demi malam, dalam keadaan yang penuh derita, ada lagi ketidaknyamanan lain: jika salah seorang sakit. Soal "cara mati" itu dipermasalahkan dalam sejumlah buku dan surat kabar selama tahun-tahun tiga puluhan, bahkan kemudiannya. Tahun 1952, seorang dokter bangsa Dan, E.A. Tryde, menerbitkan sebuah buku, Orang Mati di Pulau Putih. Ia telah membaca buku harian Andree, dan mempelajari secara saksama setiap gejala yang dilukiskan Andree setiap ia mencatat tentang seseorang yang jatuh sakit. Tryde menemukan, sebenarnya semasih di awal perjalanan melalui bentangan es mereka telah menderita demam, kejang, mencret, nyeri di lambung, sakit otot, luka, dan bisul kecil. Menurut dia, gabungan gejala itu menunjukkan bahwa penyakit yang mereka derita ialah trichinosis akibat memakan daging beruang es, yang tak mungkin bisa mereka masak dengan baik hanya dengan kompor Primus. Bahkan kadang-kadang, seperti ditulis Andree sendiri, daging itu dimakan mentah. Jika memang itu kenyataannya, beruang itu menyelamatkan mereka tapi juga membunuh mereka. Andree sendiri seorang pegawai negeri yang bijak dan praktis, tapi dalam luapan semangatnya ia membuat suatu keputusan yang tak bijaksana: berusaha mencapai Kutub Utara dengan sebuah balon berisikan gas hidrogen. Ekspedisi itu telah ditentukan nasibnya sejak dari mula, dan pada satu saat sepanjang perjalanan ia sebenarnya menyadari hal itu. Meski banyak pertanyaan tak terjawab sekitar nasib ketiga orang itu, mereka menduduki tempat terjamin dalam sejarah penelitian Kutub Utara. Petualangan mereka yang berani itu tak diikuti pihak mana pun tak seorang penjelajah kemudian - Amundsen, Peary, Byrd - pernah berusaha mencapai Kutub dengan balon. Andree bertolak dua dasawarsa terlalu awal, dengan teknologi yang masih agak primitif. Ia, dan dua rekannya, secara harfiah menyerahkan nasib kepada angin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus