Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pulau kepiting di selatan jawa

Sebuah pulau bagian dari benua australia, seluas 135 km. merupakan pulau kepiting yang jumlahnya jauh berlipat dari jumlah penduduknya. (sel)

23 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HANYA sekitar 360 km dari Pelabuhan Ratu, pantai selatan Jawa Barat, menyibak Lautan Hindia, kita bertemu sebuah pulau kecil. Pulau Natal namanya. Dekat, memang. Namun pulau yang hanya terpisah dari daratan kita oleh jarak yang hampir sama dengan Jakarta-Semarang itu, secara administratif berhubungan dengan sebuah ibu kota yang berjarak lebih sepuluh ribu kilometer ke sebelah tenggara: Sydney, Australia. Christmas Island memang bagian dari negara benua itu. Sangat kecil, hanya punya luas tanah 135 km2, pulau ini penghasil fosfat. Namun yang barangkali lebih menarik ialah bahwa penduduk di sini -- seluruhnya hanya 3.214 orang -- sudah terbiasa berbagi hidup dengan kepiting. "Binatang ini berserakan di rumah mereka, di sekolah, dan di lapangan bola," tulis John Hicks dalam majalah Journey. "Tak ada pilihan lain bagi mereka." Ini memang pulau kepiting, yang jumlahnya jauh berlipat dari jumlah insan. Pada musim pembiakan kepiting merah (Gecarcoidea Natalis), yang berlangsung tiap tahun, hampir seluruh wilayah tertutup binatang itu. Saat itulah binatang bercapit ini berduyun-duyun melakukan migrasi serempak menuju tepi laut, untuk menetaskan telur. Bagi para pendatang, ini merupakan pemandangan yang menakjubkan. Tapi bagi penduduk, ini bisa berarti ban kendaraan bertambah banyak yang bocor. "Pernah terjadi, dalam sehari satu mobil mengalami 13 kali bocor. Ini rekor yang belum terpecahkan," tulis John Hicks, melucu. Ada 14 jenis kepiting tanah dan kepiting air tawar di situ -- termasuk dua jenis endemik. Dan mereka ini memiliki peranan penting dalam pelestarian hutan. Sebagai pemakan remah-remah, mereka mencecerkan sisa-sisa makanan yang tentu saja menyuburkan tanah. Dan sementara itu cara makan mereka yang serampangan, sambil meliang, ikut menyemaikan biji-bijian sisa. Lebih dari itu pulau terisolasi ini tetangga Kepulauan Kokos, lebih ke barat daya, yang juga masuk Australia -- layak pula disebut sarang terbesar di dunia bagi burung laut, burung cengok (boobies), frigate, dan burung pengantuk. Sepuluh dari 18 macam penghuni sana termasuk jenis yang langka. Tiga di antaranya dikategorikan berbahaya: burung hantu elang (hawk-owl), abbott's booby, dan frigate Natal. Malah ada pula tiga jenis burung yang hanya lahir di situ. Yaitu Abbott's booby yang tadi (Sula abbotti), Andrew's frigate (Fregata andrewsi), dan golden bosun (Phaethon lepturus fulvus). Curah hujan dalam setahun rata-rata 2.000 milimeter. Kelembabannya tinggi. Suhu berkisar sekitar 27 derajat Celcius. Semua ini menggenjot pertumbuhan tanaman perdu. Meski tidak kaya dengan jenis tanaman hanya sekitar 200 jenis pohon dan paku-pakuan -- struktur hutannya termasuk unik. Permukaan tanahnya bersih terbuka, lantaran ulah para kepiting. Selain pohon-pohon jelatang (Dendrocnide sp.) yang aneh, dan sarang-sarang tawon kuning yang bergelantungan rendah, hutan tropis di situ tidak ada lintah maupun ularnya. Setiap suara gemerisik dalam semak bisa dipastikan berasal dari tingkah kepiting. Hanya kepiting. "Yang memikat dari pulau ini tentu tidak sekadar kondisi ekologinya yang khas itu," kata John Hicks. Melainkan juga kenyataan bahwa pulau ini merupakan salah satu dari sedikit pulau di kawasan tropis yang tidak ada penduduk aslinya. Manusia masuk ke sana baru pada 1888. Dan kini, meski sudah dihuni lebih dari 90 tahun, kehidupan liarnya tetap tak berubah: binatang tak kelihatan takut terhadap manusia, dan tentu mudah diobservasi. Adalah Kapten William Mynors, sejenis pedagang model Inggris, yang pertama kali melihat pulau ini, sewaktu ia dalam perjalanan pulang dari India Barat. Kejadiannya tepat pada Hari Natal 1643. Kapten William rupanya tidak tahu, bahwa pada Hari Natal pula Kapten Cook "menemukan" sebuah pulau di Lautan Pasifik -- yang tentu saja kemudian diberi nama Christmas Island. Jadi ada dua Pulau Natal, saling berebut. Akibatnya, seseorang yang berkirim surat ke Christmas Island harus mencantumkan pula alamat lautannya -- yang di Samudra Hindia atau yang di Pasifik. "Kalau tidak begitu pak pos bisa kalang kabut," tutur si John. Tapi Kapten William tidak mendarat. Pendaratan pertama yang tercatat baru terjadi pada 1688, yaitu ketika William Dampier singgah dalam perjalanan pulang dari Sumatera. Para pelautnya merengkuh satwa di pulau itu dengan semangat seorang tukang masak mengumpulkan bahan dapur. "Mereka menangkapi burung-burung booby dan frigate, dengan jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh warga kapal. Juga menyambar binatang-binatang melata yang mirip udang karang." Pada 1820-an, keluarga Clunies-Ross mulai menggunakan pulau ini sebagai tempat pemberhentian reguler, dalam pelayarannya ke Cocos-Keeling. Mereka, di pulau itu, mengambili sejumlah burung laut dan kepiting sebagai bahan makanan. Getah kayu juga mereka angkut untuk dimanfaatkan di Cocos. Baru pada 1888 Andrew Clunies-Ross dan sekelompok orang Melayu dari Pulau Cocos mulai mendiami sebagian Pulau Natal ini. Persisnya di Cove, di bagian timur laut. Sementara itu John Murray, seorang penyelidik alam, dalam ekspedisi oseanografi (1872-1876) dengan kapal Challenger, menyusun contoh-contoh batuan. Dari sekumpulan contoh batuan tersebut bisa disimpulkan, pulau ini mengandung banyak sekali fosfat. Ini sebenarnya sudah diduga sebelumnya olah Murray. Menyusul penyerobotan pulau ini oleh Kerajaan Inggris pada 1888, Clunies-Ross dan Murray berlomba mendapatkan hak usaha di situ. Di belakang hari mereka berunding untuk bergabung memiliki hak sewa. Murray yakin, sejarah alam pulau ini mesti diteliti lebih dahulu sebelum rusak dilabrak manusia. Maka pada 1897 ia memberi sponsor Andrew dari British Museum untuk melakukan survei ilmiah secara cermat. Dan pada tahun yang sama penambangan fosfat secara sungguh-sungguh dimulai. Sebanyak 200 orang keturunan Cina didatangkan sebagai buruh. Tiga tahun kemudian, 1900, fosfat dari sini dikapalkan ke Eropa dan Australia. Penambangan terus berlangsung sampai hari ini. Gangguan terjadi sebentar sewaktu Jepang menduduki kawasan kecil itu pada Perang Dunia II. Tenaga kerjanya kemudian ditambahi pula dengan orang Melayu. Dan bersama keturunan Cina mereka kemudian membentuk kelompok etnik utama. Menurut data akhir Maret 1981, perincian warga pulau ini adalah: 1.854 keturunan Cina, 859 Melayu, 369 Eropa dan 132 lain-lain. Tidak ada pribumi. Maka selain Territory Day (1 Oktober) sebagai hari raya resmi, masih ada hari-hari libur resmi lainnya: Hari Raya Haji, Tahun Baru Cina, dan -- tentu saja -- Hari Natal. Tak jelas mengapa Idul Fitri tak ada. Pengelolaan administrasi Pulau Natal pada 1 Januari 1958 oleh Singapura ditransfer ke Inggris, sembari menunggu penyerahan final ke Australia. Pulau ini menjadi daerah kekuasaan Australia pada 1 Oktober 1958. Administraturnya ditunjuk oleh Gubernur Jenderal Australia. Ia bertanggung jawab kepada Menteri Dalam Negeri dan Lingkungan Hidup, yang kantornya sangat jauh itu. Dari ujung terdekat Benua Australia (North West Cape) saja, jarak pulau ini 1.408 kilometer. Perubahan dengan cepat terjadi pada dasawarsa terakhir ini, menurut John Hicks. Kalangan umum dan pemerintah makin tertarik pada ciri-ciri alamiah pulau itu, kegiatan penambangan, dan perkembangan politik. Kongsi dagang dibentuk pada 1975, dan telah memberikan banyak manfaat kepada para anggota. Menyusul pada 1980, Komisi Kerajaan untuk Kelestarian Industri Fosfat, perluasan kewenangan pemerintah dalam memutuskan hal-hal industri penambangan, dan masalah kewarganegaraan Australia, diputuskan. Kini seluruh penduduk di sana memperoleh status sebagai warga negara Australia, sementara para komisaris British Phosphate didudukkan sebagai para manajer penambangan oleh Phosphate Mining Company of Christmas Island Limited -- perusahaan negara milik Australia. Yang dilakukan pemerintah sekarang ini adalah penyelidikan untuk mendapatkan kemungkinan-kemungkinan jangka panjang, pada saat pulau dengan deposit fosfat berjumlah besar ini nanti -- beberapa tahun mendatang -- kehabisan sumber industri utamanya. Christmas Island sebenarnya puncak sebuah gunung api. Ia lahir dari retakan di dasar Samudra Hindia, 60 juta tahun lalu. Menjulang setinggi 4.500 meter dari kerak lautan, tonjolannya yang tertinggi -- dan nampak di permukaan laut -- adalah 361 meter, yaitu Bukit Murray. Dulu batu kapur secara perlahan-lahan melapisi puncak gunung ini -- lalu terbentuklah karang atol. Perubahan-perubahan bentuk selanjutnya berlangsung sekitar 10 juta tahun lalu. Secara bertubi-tubi muncul tonjolan-tonjolan pada pulau ini, dengan di sana-sini jumbai-jumbai yang meruncing. Bercuaca gunung berapi, berbatu kapur, dan mengandung pembusukan benda-benda organik, pulau ini berlapiskan tanah merah. Kemudian terjadi fosfatisasi oleh burung guano. Maka terbentuklah pusat industri itu. Perbukitan batu kapur yang bergerigi hampir menutup pulau ini: jarang sekali orang berlabuh di sana. Bahkan Cove, satu-satunya pelabuhan di pulau itu, selalu dihantam ombak dengan dahsyat. Dengan kondisi begitu, tiga sisi pantainya dimanfaatkan oleh penyu hijau (Chelonia myda). Di ketiga kawasan itu mereka bersarang dengan tenang. Memang, kehidupan satwa liar di Christmas Island lebih baik ketimbang di pulau-pulau terpencil lain. Dengan kekecualian pada dua endimik tikus besar dan satu endimik clurut, semuanya hidup nyaman. Ketiga jenis tikus tersebut musnah setelah menetap di sana selama 20 tahun. "Bisa jadi karena tikus pendatang masuk membawa penyakit yang tidak bisa diatasi tikus lokal," kata John Hicks. "Memasukkan suatu jenis ke dalam ekosistem di pulau terpencil bisa mengakibatkan malapetaka." Untunglah sekarang sudah ada lembaga pengontrol untuk menyeleksi tanaman dan binatang yang masuk. Yang menyebabkan semua satwa liar di Pulau Natal bertahan adalah habitatnya yang mengandung simpanan sumber hidup. Dalam hal ini hutan tropis yang menyelimuti kawasan tersebut. Adalah nasib baik, setelah 80 tahun penambangan berlangsung terus-menerus, masih saja ada 70% hutan tropis di pulau ini. Dan tidak terganggu. "Meski begitu keprihatinan tetap ada," tulis John Hicks, sekretaris Christmas Island Natural History Association itu. "Pembebasan penambangan fosfat bisa mengancam kehidupan Abbott's booby. Ketentuan-ketentuan untuk melindungi habitat perkembangbiakkannya kini sudah dimasukkan dalam perhitungan setiap rencana penambangan." Pengakuan akan pentingnya ekosistem khusus di pulau ini sudah diberikan pada 1980. Yaitu dengan penyediaan wilayah yang terawat, di bagian barat daya pulau, sebagai Taman Nasional Pulau Natal bernaung di bawah Undang-undang Penyelamatan dan Satwa Liar dan Taman Nasional, 1975. Taman tersebut meliputi daerah seluas 1.600 hektar, sekitar 12% luas pulau. Dengan makin berkurangnya timbunan fosfat di pulau itu, perhatian kini beralih ke bayangan masa depan. Termasuk untuk kehidupan para pribuminya yang sejati -- para satwa liar yang menakjubkan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus