HANYA sekitar 360 km dari Pelabuhan Ratu, pantai selatan Jawa
Barat, menyibak Lautan Hindia, kita bertemu sebuah pulau kecil.
Pulau Natal namanya. Dekat, memang. Namun pulau yang hanya
terpisah dari daratan kita oleh jarak yang hampir sama dengan
Jakarta-Semarang itu, secara administratif berhubungan dengan
sebuah ibu kota yang berjarak lebih sepuluh ribu kilometer ke
sebelah tenggara: Sydney, Australia. Christmas Island memang
bagian dari negara benua itu.
Sangat kecil, hanya punya luas tanah 135 km2, pulau ini
penghasil fosfat. Namun yang barangkali lebih menarik ialah
bahwa penduduk di sini -- seluruhnya hanya 3.214 orang -- sudah
terbiasa berbagi hidup dengan kepiting. "Binatang ini berserakan
di rumah mereka, di sekolah, dan di lapangan bola," tulis John
Hicks dalam majalah Journey. "Tak ada pilihan lain bagi mereka."
Ini memang pulau kepiting, yang jumlahnya jauh berlipat dari
jumlah insan.
Pada musim pembiakan kepiting merah (Gecarcoidea Natalis), yang
berlangsung tiap tahun, hampir seluruh wilayah tertutup binatang
itu. Saat itulah binatang bercapit ini berduyun-duyun melakukan
migrasi serempak menuju tepi laut, untuk menetaskan telur. Bagi
para pendatang, ini merupakan pemandangan yang menakjubkan. Tapi
bagi penduduk, ini bisa berarti ban kendaraan bertambah banyak
yang bocor. "Pernah terjadi, dalam sehari satu mobil mengalami
13 kali bocor. Ini rekor yang belum terpecahkan," tulis John
Hicks, melucu.
Ada 14 jenis kepiting tanah dan kepiting air tawar di situ --
termasuk dua jenis endemik. Dan mereka ini memiliki peranan
penting dalam pelestarian hutan. Sebagai pemakan remah-remah,
mereka mencecerkan sisa-sisa makanan yang tentu saja menyuburkan
tanah. Dan sementara itu cara makan mereka yang serampangan,
sambil meliang, ikut menyemaikan biji-bijian sisa.
Lebih dari itu pulau terisolasi ini tetangga Kepulauan Kokos,
lebih ke barat daya, yang juga masuk Australia -- layak pula
disebut sarang terbesar di dunia bagi burung laut, burung cengok
(boobies), frigate, dan burung pengantuk. Sepuluh dari 18 macam
penghuni sana termasuk jenis yang langka. Tiga di antaranya
dikategorikan berbahaya: burung hantu elang (hawk-owl), abbott's
booby, dan frigate Natal.
Malah ada pula tiga jenis burung yang hanya lahir di situ. Yaitu
Abbott's booby yang tadi (Sula abbotti), Andrew's frigate
(Fregata andrewsi), dan golden bosun (Phaethon lepturus fulvus).
Curah hujan dalam setahun rata-rata 2.000 milimeter.
Kelembabannya tinggi. Suhu berkisar sekitar 27 derajat Celcius.
Semua ini menggenjot pertumbuhan tanaman perdu. Meski tidak kaya
dengan jenis tanaman hanya sekitar 200 jenis pohon dan
paku-pakuan -- struktur hutannya termasuk unik.
Permukaan tanahnya bersih terbuka, lantaran ulah para kepiting.
Selain pohon-pohon jelatang (Dendrocnide sp.) yang aneh, dan
sarang-sarang tawon kuning yang bergelantungan rendah, hutan
tropis di situ tidak ada lintah maupun ularnya. Setiap suara
gemerisik dalam semak bisa dipastikan berasal dari tingkah
kepiting. Hanya kepiting.
"Yang memikat dari pulau ini tentu tidak sekadar kondisi
ekologinya yang khas itu," kata John Hicks. Melainkan juga
kenyataan bahwa pulau ini merupakan salah satu dari sedikit
pulau di kawasan tropis yang tidak ada penduduk aslinya. Manusia
masuk ke sana baru pada 1888. Dan kini, meski sudah dihuni lebih
dari 90 tahun, kehidupan liarnya tetap tak berubah: binatang tak
kelihatan takut terhadap manusia, dan tentu mudah diobservasi.
Adalah Kapten William Mynors, sejenis pedagang model Inggris,
yang pertama kali melihat pulau ini, sewaktu ia dalam perjalanan
pulang dari India Barat. Kejadiannya tepat pada Hari Natal 1643.
Kapten William rupanya tidak tahu, bahwa pada Hari Natal pula
Kapten Cook "menemukan" sebuah pulau di Lautan Pasifik -- yang
tentu saja kemudian diberi nama Christmas Island. Jadi ada dua
Pulau Natal, saling berebut.
Akibatnya, seseorang yang berkirim surat ke Christmas Island
harus mencantumkan pula alamat lautannya -- yang di Samudra
Hindia atau yang di Pasifik. "Kalau tidak begitu pak pos bisa
kalang kabut," tutur si John.
Tapi Kapten William tidak mendarat. Pendaratan pertama yang
tercatat baru terjadi pada 1688, yaitu ketika William Dampier
singgah dalam perjalanan pulang dari Sumatera. Para pelautnya
merengkuh satwa di pulau itu dengan semangat seorang tukang
masak mengumpulkan bahan dapur. "Mereka menangkapi burung-burung
booby dan frigate, dengan jumlah yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan seluruh warga kapal. Juga menyambar binatang-binatang
melata yang mirip udang karang."
Pada 1820-an, keluarga Clunies-Ross mulai menggunakan pulau ini
sebagai tempat pemberhentian reguler, dalam pelayarannya ke
Cocos-Keeling. Mereka, di pulau itu, mengambili sejumlah burung
laut dan kepiting sebagai bahan makanan. Getah kayu juga mereka
angkut untuk dimanfaatkan di Cocos.
Baru pada 1888 Andrew Clunies-Ross dan sekelompok orang Melayu
dari Pulau Cocos mulai mendiami sebagian Pulau Natal ini.
Persisnya di Cove, di bagian timur laut. Sementara itu John
Murray, seorang penyelidik alam, dalam ekspedisi oseanografi
(1872-1876) dengan kapal Challenger, menyusun contoh-contoh
batuan.
Dari sekumpulan contoh batuan tersebut bisa disimpulkan, pulau
ini mengandung banyak sekali fosfat. Ini sebenarnya sudah diduga
sebelumnya olah Murray. Menyusul penyerobotan pulau ini oleh
Kerajaan Inggris pada 1888, Clunies-Ross dan Murray berlomba
mendapatkan hak usaha di situ. Di belakang hari mereka berunding
untuk bergabung memiliki hak sewa.
Murray yakin, sejarah alam pulau ini mesti diteliti lebih dahulu
sebelum rusak dilabrak manusia. Maka pada 1897 ia memberi
sponsor Andrew dari British Museum untuk melakukan survei ilmiah
secara cermat.
Dan pada tahun yang sama penambangan fosfat secara
sungguh-sungguh dimulai. Sebanyak 200 orang keturunan Cina
didatangkan sebagai buruh. Tiga tahun kemudian, 1900, fosfat
dari sini dikapalkan ke Eropa dan Australia. Penambangan terus
berlangsung sampai hari ini. Gangguan terjadi sebentar sewaktu
Jepang menduduki kawasan kecil itu pada Perang Dunia II.
Tenaga kerjanya kemudian ditambahi pula dengan orang Melayu. Dan
bersama keturunan Cina mereka kemudian membentuk kelompok etnik
utama. Menurut data akhir Maret 1981, perincian warga pulau ini
adalah: 1.854 keturunan Cina, 859 Melayu, 369 Eropa dan 132
lain-lain. Tidak ada pribumi.
Maka selain Territory Day (1 Oktober) sebagai hari raya resmi,
masih ada hari-hari libur resmi lainnya: Hari Raya Haji, Tahun
Baru Cina, dan -- tentu saja -- Hari Natal. Tak jelas mengapa
Idul Fitri tak ada.
Pengelolaan administrasi Pulau Natal pada 1 Januari 1958 oleh
Singapura ditransfer ke Inggris, sembari menunggu penyerahan
final ke Australia. Pulau ini menjadi daerah kekuasaan Australia
pada 1 Oktober 1958. Administraturnya ditunjuk oleh Gubernur
Jenderal Australia. Ia bertanggung jawab kepada Menteri Dalam
Negeri dan Lingkungan Hidup, yang kantornya sangat jauh itu.
Dari ujung terdekat Benua Australia (North West Cape) saja,
jarak pulau ini 1.408 kilometer.
Perubahan dengan cepat terjadi pada dasawarsa terakhir ini,
menurut John Hicks. Kalangan umum dan pemerintah makin tertarik
pada ciri-ciri alamiah pulau itu, kegiatan penambangan, dan
perkembangan politik. Kongsi dagang dibentuk pada 1975, dan
telah memberikan banyak manfaat kepada para anggota.
Menyusul pada 1980, Komisi Kerajaan untuk Kelestarian Industri
Fosfat, perluasan kewenangan pemerintah dalam memutuskan hal-hal
industri penambangan, dan masalah kewarganegaraan Australia,
diputuskan. Kini seluruh penduduk di sana memperoleh status
sebagai warga negara Australia, sementara para komisaris British
Phosphate didudukkan sebagai para manajer penambangan oleh
Phosphate Mining Company of Christmas Island Limited --
perusahaan negara milik Australia.
Yang dilakukan pemerintah sekarang ini adalah penyelidikan untuk
mendapatkan kemungkinan-kemungkinan jangka panjang, pada saat
pulau dengan deposit fosfat berjumlah besar ini nanti --
beberapa tahun mendatang -- kehabisan sumber industri utamanya.
Christmas Island sebenarnya puncak sebuah gunung api. Ia lahir
dari retakan di dasar Samudra Hindia, 60 juta tahun lalu.
Menjulang setinggi 4.500 meter dari kerak lautan, tonjolannya
yang tertinggi -- dan nampak di permukaan laut -- adalah 361
meter, yaitu Bukit Murray. Dulu batu kapur secara perlahan-lahan
melapisi puncak gunung ini -- lalu terbentuklah karang atol.
Perubahan-perubahan bentuk selanjutnya berlangsung sekitar 10
juta tahun lalu. Secara bertubi-tubi muncul tonjolan-tonjolan
pada pulau ini, dengan di sana-sini jumbai-jumbai yang
meruncing. Bercuaca gunung berapi, berbatu kapur, dan mengandung
pembusukan benda-benda organik, pulau ini berlapiskan tanah
merah. Kemudian terjadi fosfatisasi oleh burung guano. Maka
terbentuklah pusat industri itu.
Perbukitan batu kapur yang bergerigi hampir menutup pulau ini:
jarang sekali orang berlabuh di sana. Bahkan Cove, satu-satunya
pelabuhan di pulau itu, selalu dihantam ombak dengan dahsyat.
Dengan kondisi begitu, tiga sisi pantainya dimanfaatkan oleh
penyu hijau (Chelonia myda). Di ketiga kawasan itu mereka
bersarang dengan tenang.
Memang, kehidupan satwa liar di Christmas Island lebih baik
ketimbang di pulau-pulau terpencil lain. Dengan kekecualian pada
dua endimik tikus besar dan satu endimik clurut, semuanya hidup
nyaman. Ketiga jenis tikus tersebut musnah setelah menetap di
sana selama 20 tahun.
"Bisa jadi karena tikus pendatang masuk membawa penyakit yang
tidak bisa diatasi tikus lokal," kata John Hicks. "Memasukkan
suatu jenis ke dalam ekosistem di pulau terpencil bisa
mengakibatkan malapetaka." Untunglah sekarang sudah ada lembaga
pengontrol untuk menyeleksi tanaman dan binatang yang masuk.
Yang menyebabkan semua satwa liar di Pulau Natal bertahan adalah
habitatnya yang mengandung simpanan sumber hidup. Dalam hal ini
hutan tropis yang menyelimuti kawasan tersebut. Adalah nasib
baik, setelah 80 tahun penambangan berlangsung terus-menerus,
masih saja ada 70% hutan tropis di pulau ini. Dan tidak
terganggu.
"Meski begitu keprihatinan tetap ada," tulis John Hicks,
sekretaris Christmas Island Natural History Association itu.
"Pembebasan penambangan fosfat bisa mengancam kehidupan Abbott's
booby. Ketentuan-ketentuan untuk melindungi habitat
perkembangbiakkannya kini sudah dimasukkan dalam perhitungan
setiap rencana penambangan."
Pengakuan akan pentingnya ekosistem khusus di pulau ini sudah
diberikan pada 1980. Yaitu dengan penyediaan wilayah yang
terawat, di bagian barat daya pulau, sebagai Taman Nasional
Pulau Natal bernaung di bawah Undang-undang Penyelamatan dan
Satwa Liar dan Taman Nasional, 1975.
Taman tersebut meliputi daerah seluas 1.600 hektar, sekitar 12%
luas pulau. Dengan makin berkurangnya timbunan fosfat di pulau
itu, perhatian kini beralih ke bayangan masa depan. Termasuk
untuk kehidupan para pribuminya yang sejati -- para satwa liar
yang menakjubkan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini