INI bukan "dongeng subversif": orang Amerika pada kelaparan.
Selama tahun lalu jumlah orang Amerika yang memerlukan bantuan
pangan dari pemerintah melonjak dari 40% -- di beberapa tempat
sampai 600%.
Mereka bukanlah gelandangan seperti pengertian kita di sini.
Mereka semua punya tempat tinggal -- meskipun apartemen bobrok,
masih ada listrik, air leding, dan lemari es. Dan banyak di
antara mereka yang punya pekerjaan. Tapi karena gajinya tak
cukup, sementara biaya hidup terus melonjak, mereka tak mampu
beli makanan. Lalu mereka datang kepada organisasi-organisasi
amal swasta yang menyalurkan bantuan pangan, termasuk sumbangan
pemerintah.
Salah seorang dari mereka bernama Frank Corleone (bukan nama
sebenarnya), penduduk kota satelit Bergen County, New Jersey.
Frank, 46 tahun, bekerja sebagai ahli mesin dengan gaji US$ 824
sebulan. Tapi untuk sewa rumah, listrik, dan air leding, ia
menghabiskan lebih dari US$ 500 sebulan. Belum lagi biaya
kesehatan. Sedangkan istrinya, Margaret, 42 tahun, tak bisa
kerja karena cacat penglihatan.
Tahun lalu Frank dan istrinya beberapa kali mengalami tak punya
uang untuk beli makanan. Seorang pendeta mengantarkannya ke
Pusat Bantuan Pangan (CFA) -- badan amal swasta yang berkantor
di sebuah gereja Bergen County. Mereka harus puas menerima
bantuan pangan ala kadarnya: spaghetti, makaroni, keju semuanya
dalam kaleng.
Tak pernah Frank sebelumnya membayangkan hidupnya harus
tergantung pada belas kasihan orang karena tak mampu beli
makanan. "Saya rajin menabung, tak pernah foya-foya, apalagi
jalan-jalan," katanya. Begitu terguncang batinnya sehingga ia
jatuh sakit dan harus keluar dari pekerjaan. Karena dapat
pesangon, ia tak memenuhi syarat untuk menerima bantuan sosial.
Kini pasangan suami istri itu hidup dari jatah bantuan pangan
dan sedekah orang.
Frank dan Margaret termasuk dalam sepertiga keluarga Amerika
yang memerlukan bantuan pangan. "Mereka adalah orang-orang
miskin baru," kata Ny. Adele Halsch-La Tourette, direktur CFA,
yang menghubungkan klien mereka dengan badan-badan pemerintah.
Mulanya CFA memberikan bantuan pada orang-orang yang benar-benar
miskin atau para korban bencana alam. Orang-orang yang bernasib
seperti Frank datang dan pergi di CFA -- tergantung nasib baik
mereka selanjutnya. Tapi Frank dan istrinya jadi klien tetap.
Di Upper East Side, New York, badan amal Yorkville Common Pantry
melayani klien yang tiga kali lipat jumlahnya dari tahun lalu.
Karena itu mereka mendirikan semacam dapur umum.
Celakanya, orang-orang bernasib malang itu tak boleh antre
sampai ke luar pekarangan gereja Holy Trinity, pusat bantuan
pangan itu. Para tetangga di sekitar gereja keberatan.
Akibatnya, sejak subuh orang sudah berkerumun di depan kantor
gereja.
Mereka itu datang untuk minta jatah makanan selama 2-3 hari,
karena tunjangan sosial mereka terlambat, dikurangi, atau
dicuri. Atau dihapuskan sama sekali karena salah mengerti. Tapi
ada juga yang datang karena baru dipecat dari pekerjaan atau
gajinya tak cukup untuk makan. Ada yang menamakan mereka ini
korban "sindrom habis bulan", jatah makanan atau uang mereka
sudah habis sebelum bulan berakhir.
Meningkatnya orang kelaparan di Chicago tercermin dari angka
ini: Badan Penyimpanan Pangan di sana menyalurkan bantuannya
lewat 375 organisasi amal setempat, sementara 200 organisasi
lagi masih tercatat dalam daftar tunggu. Dan di ibu kota AS,
Washington, di satu jalan yang jauhnya hanya sembilan blok dari
Gedung Putih, organisasi Breadfor the City(Roti untuk Kota)
membagikan makanan kaleng atau bungkusan kepada 800 klien
sebulan -- naik 25% dibandingkan tahun lalu. Sementara di St.
Louis kini terdapat 200 pusat bantuan pangan.
Dengan keadaan ini semakin banyak orang Amerika menyadari bahwa
kelaparan bukan semata-mata persoalan negara berkembang saja.
Kelaparan dan kemiskinan saling berkaitan erat. Meski tak
seorang pun tahu pasti berapa jumlah orang Amerika yang
kelaparan, terdapat bukti bahwa semakin bertambah kemiskinan
berarti semakin bertambah kelaparan. Penderitaan mereka
diperberat lagi oleh memburuknya ekonomi dan meningkatnya
pengangguran. "Penciutan anggaran belanja pemerintahan Reagan,
membuat nasib orang-orang ini semakin parah," kata para ahli di
sana.
Ini, antara lain, dicerminkan dari meningkatnya pencurian
makanan. Dalam dua tahun terakhir pencurian di supermarket New
York meningkat antara 25 sampai 35%. "Di daerah miskin ghetto,
persentasenya bahkan lebih tinggi," kata Ketua Badan Keamanan
Supermarket di New York Jack Squicciarini.
Di antara maling yang tertangkap, ada yang dapat tunjangan
sosial dari pemerintah hanya US$ 63.
"Bagaimana mereka bisa hidup?" tambah Squicciarini.
Tertangkap pula anak-anak usia 8, 9, dan 10 tahun, yang disuruh
mencuri di supermarket oleh orang tua mereka. Di South Bronx,
daerah paling hitam dan tempat pembuangan sampah di New York, 40
orang setiap malam mengorek-ngorek sampah. Menurut Squicciarini
wilayah operasi para pengais sampah ini sudah meluas ke
daerah-daerah yang dihuni penduduk lebih kaya di New York.
Kelaparan di Amerika jadi problem besar sejak akhir 1960-an.
Ketika itu sekelompok dokter yang disponsori organisasi riset
swasta, Field Foundation, menemukan kasus-kasus kwashiorkor dan
sejumlah penyakit lain akibat kelaparan di Delta Mississippi
serta daerah miskin di selatan dan barat daya AS.
Tahun 1977 tim kedua riset lagi. Jumlah yang kurang makan sudah
jauh berkurang, tapi program bantuan pemerintah diterima hanya
oleh separuh jumlah yang memerlukannya. Mereka berkesimpulan,
kelaparan di AS tetap ada, tetapi masalah kurang gizi merupakan
"problem yang lebih rumit".
Keadaan di negara paling maju di dunia itu ternyata sama saja
dengan di negeri-negeri lain yang masih terbelakang. "Si miskin
tak punya suara di sini," kata Dr. Mitchell B. Wallerstein,
direktur muda Program Pangan dan Gizi Institut Teknologi
Massachusetts (MIT). Dan kebanyakan orang yang kekurangan gizi
itu tidak mau ke rumah sakit. Dr. Wallerstein yakin masalah
kekurangan gizi akan lebih banyak ditemukan di AS. Tapi untuk
membuktikannya perlu penelitian. "Biaya penelitian inilah yang
tak mungkin disediakan Pemerintahan Reagan," katanya.
Pertumbuhan badan yang kerdil dan kekurangan zat besi dalam
darah merupakan petunjuk utama kekurangan gizi di AS dewasa ini.
"Keadaan ini tak banyak berubah meskipun selama belasan tahun
Pemerintah Federal melancarkan program gizi," ujar Arnold
Schaefer, direktur pelaksana Swanson Center for Nutrition Inc.,
di Omaha, Nebraska.
Di antara anak-anak golongan miskin yang mendapat bantuan dari
program kesehatan, terdapat 8 sampai 10% yang pertumbuhannya
kerdil, dan 11 sampai 18% yang kekurangan zat besi, kata Dr.
Trowbridge, direktur urusan gizi Pusat Perbaikan dan Pendidikan
Kesehatan dan Pencegahan Penyakit, Jawatan Kesehatan Rakyat di
Atlanta. Di kalangan penduduk umumnya, terdapat 5% yang diduga
menderita gejala tersebut.
Kasus kurang darah, berat, serta tinggi badan yang tak sesuai
dengan umur hanya dapat menunjukkan sebagian kecil saja keadaan
sesungguhnya -- yang lebih gawat. Dr. Paul Zeedari Rumah Sakit
Riset Anak-anak St. Jude, Tennessee mengatakan munculnya bayi
yang kekurangan gizi secara sporadis di rumah sakit dikarenakan
faktor sosial yang dipaksakan yang menyebabkannya demikian.
Misalnya, karena bapaknya nganggur ....
Penelitian di berbagai tempat menunjukkan bukan hanya kelaparan
yang tak dapat diatasi, juga karena para penduduk miskin itu
tidak mudah memperoleh pangan yang cukup. Tunjangan pangan untuk
satu keluarga rata-rata sebulan adalah US$ 346 -- setiap kali
makan setiap orang hanya dapat tunjangan US$ 0,45.
Keluarga yang berpendapatan rendah seringkali tak punya uang
cukup untuk membeli makanan dalam jumlah banyak sehingga lebih
murah. Mereka juga tak mungkin mendatangi supermarket di daerah
golongan menengah untuk bisa membeli obralan dan mendapatkan
potongan harga. Di toko dekat rumah, mereka harus bayar harga
yang lebih mahal.
Melonjaknya pengeluaran lain -- sewa rumah, listrik, air leding,
biaya angkutan, dokter, dan pakaian hanya meninggalkan sedikit
sisa uang mereka untuk makan. Mereka harus membelanjakan
seperempat sampai sepertiga dari pendapatan mereka untuk listrik
atau air. Sementara jumlah tunjangan sosial dan bantuan pangan
tak dapat mengejar harga yang terus naik.
Diane, seorang janda di New York, bersama tiga anaknya selama 10
tahun hidup dengan makan lemak dan tulang. Tinggal di kampung
kotor Brooklyn, Diane tak bisa bekerja karena sakit ginjal dan
radang pembuluh darah balik. Tanggal 22 setiap bulan, jatah
pangan yang diterimanya dua pekan sebelumnya, sudah habis. Untuk
mencari uang ia beli lotto -- yang kalau dapat lumayan buat
menutup kebutuhan beberapa hari. Tapi ia tentu tak selalu dapat.
Sekali-sekali, dengan cara sembunyi-sembunyi, ia bekerja di toko
lotto: Sehari ia digaji US$ 35 -- itu kalau tidak ketahuan
polisi.
Kadang-kadang Diane yang keluarganya hanya makan farina, makanan
Amerika paling murah yang terbuat dari terigu dicampur kacang
atau umbi-umbian. Sebagai penyedap mereka pakai bouillon (kaldu)
dan mi . "Yang penting kami bisa makan dan kenyang. Bisa tetap
hidup," kata Diane. "Soal gizi urusan belakang."
Anehnya, pendapat Diane mengenai tunjangan sosial ada miripnya
dengan kebijaksanaan Reagan. "Tunjangan sosial seperti sekarang
harus dihapuskan," katanya. "Itu tidak mendidik, tidak
memberikan apa-apa".
Rita Webb Smith yang dulu menerima tunjangan sosial, kini
mengurus satu badan yang membantu orang-orang semacam itu. Ia
mengajarkan kepada mereka supaya berusaha menolong diri sendiri
dan jangan terlalu bergantung pada bantuan pemerintah. "Kita
selalu memberi sedekah kepada si miskin, dan bukan membantu
mereka mengatasi sendiri kesulitannya," katanya. Itulah sebabnya
ia, juga Diane, tak suka program bantuan untuk si miskin.
Donald W. Moran, salah seorang direktur anggaran di Jawatan
Manajemen dan Anggaran Pemerintahan Reagan, mengelak bahwa
mereka telah berusaha membuat anggaran 1981 sebaik mungkin. Bagi
dia, anggaran untuk si miskin (yang sudah dipotong itu) tentu
saja cukup.
Di zaman Presiden Jimmy Carter, program bantuan dan tunjangan
ini meliputi 50% dari seluruh anggaran. Dan bantuan diberikan
secara merata kepada semua golongan, seperti tunjangan sosial,
perawatan kesehatan, pensiun militer, dan pegawai negeri.
Program jatah pangan dan untuk keluarga miskin hanya 10% dari
anggaran. Sedang oleh Reagan justru porsi inilah yang banyak
dikurangi, sehingga "terlalu drastis" seperti kata Ny. Smith.
Program bantuan untuk penduduk berpendapatan rendah di masa
Pemerintahan Carter berjumlah US$ 100 milyar. Tahun ini Reagan
hanya menyediakan sekitar US$ 82 milyar akibat inflasi nilainya
merosot sampai 28%.
Berdasarkan angka-angka dari Kongres dan pemerintah,
diperkirakan program penghematan anggaran belanja Reagan akan
mengakibatkan hampir satu juta orang tidak lagi menerima bantuan
pangan. Di samping itu hampir 20 juta orang menerima jatah
bantuan pangan dalam jumlah lebih sedikit dibanding peraturan
yang sebelumnya. Sekitar 80% penghematan Reagan itu dilakukan
dengan mengurangi tunjangan atau subsidi pada keluarga-keluarga
yang pendapatan kotornya berada di bawah garis kemiskinan US$
7.760 setahun untuk keluarga yang terdiri atas tiga orang.
Tunjangan untuk keluarga yang masih menanggung anak (AFDC) kini
lebih kecil jumlahnya bagi 260.000 keluarga. Sekitar 365.000
keluarga lagi sudah kehilangan tunjangan. Kurang lebih 750.000
anak dari keluarga berpenghasilan rendah tidak lagi bisa dapat
makan siang gratis di sekolah, dan 500.000 anak tak bisa ikut
dalam program makan cuma-cuma di musim panas. Sejumlah lembaga
penitipan anak terpaksa mengurangi pelayanannya, menaikkan
tarif, atau tutup sara sekali karena dikuranginya bantuan
pemerintah (sekitar30%) untuk bayi dan anak-anak golongan
miskin.
Akibat diciutkannya program bantuan pangan dan gizi pengaruhnya
terasa pada susunan makanan keluarga miskin -- menu tak
diganti-ganti dan dibuat dari bahan murah.
Ada hal-hal mengenai masalah kelaparan yang tak bisa diukur dari
segi biokimia atau menurut hasil survei gizi saja. Dari segi
statistik, orang yang kelaparan di Amerika mungkin tak seberapa.
Jika seseorang memakan makanan anjing atau kucing selama sebulan
dari segi kesehatan mungkin tak jadi soal -- di Amerika, makanan
binatang ini sudah jadi produk pabrik, dikalengkan, dan nilai
gizinya sama. Tapi dari segi etika dan moral apa pantas?
Reagan belum lama berselang berseru kepada organisasi
sukarelawan dan amal swasta untuk membantu pemerintah. Yang
paling dulu menanggapi adalah organisasi agama. "Tidak mungkin
gereja bisa mengisi kekurangan bantuan pemerintah," kata Uskup
Joseph Sullivan dari New York. Kurang lebih sepertiga paroki,
terutama di daerah penduduk miskin, juga menghadapi banyak
kesulitan. Antara lain, mereka juga perlu uang untuk memperbaiki
bangunan gereja. Padahal di daerah ini permintaannya bantuan
pangan paling besar.
Tambahan lagi, gereja harus membantu pula organisasi amal lain.
Misalnya, Yayasan Anak-anak. Dulu yayasan ini dibiayai oleh
Jawatan Pelayanan Masyarakat -- sekarang sudah dibubarkan. Kini
dana diterima dari badan usaha yayasan lain, dan perorangan.
Hingga Yayasan ini,yang menganjurkan peningkatan gizi anak dan
perawatan anak di rumah, kini membuka proyek yang mendatangkan
uang seperti menjual asuransi jiwa dan kesehatan, serta
menerbitkan buku.
Karena si miskin sudah banyak berkorban supaya dompet pemerintah
tidak kosong, golongan lainlah yang harus berkorban. Misalnya,
pihak militer dan orang-orang kaya yang selalu sanggup
berkorban, tetapi selalu dapat rezeki nomplok. Ini saran Robert
Greenstein dari Pusat Prioritas Anggaran Belanja dan
Kebijaksanaan Pemerintah. "Kalau program bantuan bagi si miskin
lagi yang di potong, aki batnya akan buruk dan sulit
dibayangkan," katanya.
Walau bagaimanapun, orang yang kekurangan gizi dan kurang makan
akan selalu terdapat di Amerika, demikian pendapat seorang
pejabat Departemen Pertanian. Penyebabnya adalah faktor-faktor
sosial dan psikologis. Pemerintah bukanlah satusatunya pemecah
kesulitan atas problem ini. "Kekurangan gizi akibat kemiskinan
hanya bisa dipecahkan dengan meniadakan kemiskinan itu sendiri,"
katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini