Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lapar gaya amerika

Jumlah orang-orang kelaparan di as (orang yang memerlukan bantuan pangan dari pemerintah) makin meningkat. (sel)

23 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI bukan "dongeng subversif": orang Amerika pada kelaparan. Selama tahun lalu jumlah orang Amerika yang memerlukan bantuan pangan dari pemerintah melonjak dari 40% -- di beberapa tempat sampai 600%. Mereka bukanlah gelandangan seperti pengertian kita di sini. Mereka semua punya tempat tinggal -- meskipun apartemen bobrok, masih ada listrik, air leding, dan lemari es. Dan banyak di antara mereka yang punya pekerjaan. Tapi karena gajinya tak cukup, sementara biaya hidup terus melonjak, mereka tak mampu beli makanan. Lalu mereka datang kepada organisasi-organisasi amal swasta yang menyalurkan bantuan pangan, termasuk sumbangan pemerintah. Salah seorang dari mereka bernama Frank Corleone (bukan nama sebenarnya), penduduk kota satelit Bergen County, New Jersey. Frank, 46 tahun, bekerja sebagai ahli mesin dengan gaji US$ 824 sebulan. Tapi untuk sewa rumah, listrik, dan air leding, ia menghabiskan lebih dari US$ 500 sebulan. Belum lagi biaya kesehatan. Sedangkan istrinya, Margaret, 42 tahun, tak bisa kerja karena cacat penglihatan. Tahun lalu Frank dan istrinya beberapa kali mengalami tak punya uang untuk beli makanan. Seorang pendeta mengantarkannya ke Pusat Bantuan Pangan (CFA) -- badan amal swasta yang berkantor di sebuah gereja Bergen County. Mereka harus puas menerima bantuan pangan ala kadarnya: spaghetti, makaroni, keju semuanya dalam kaleng. Tak pernah Frank sebelumnya membayangkan hidupnya harus tergantung pada belas kasihan orang karena tak mampu beli makanan. "Saya rajin menabung, tak pernah foya-foya, apalagi jalan-jalan," katanya. Begitu terguncang batinnya sehingga ia jatuh sakit dan harus keluar dari pekerjaan. Karena dapat pesangon, ia tak memenuhi syarat untuk menerima bantuan sosial. Kini pasangan suami istri itu hidup dari jatah bantuan pangan dan sedekah orang. Frank dan Margaret termasuk dalam sepertiga keluarga Amerika yang memerlukan bantuan pangan. "Mereka adalah orang-orang miskin baru," kata Ny. Adele Halsch-La Tourette, direktur CFA, yang menghubungkan klien mereka dengan badan-badan pemerintah. Mulanya CFA memberikan bantuan pada orang-orang yang benar-benar miskin atau para korban bencana alam. Orang-orang yang bernasib seperti Frank datang dan pergi di CFA -- tergantung nasib baik mereka selanjutnya. Tapi Frank dan istrinya jadi klien tetap. Di Upper East Side, New York, badan amal Yorkville Common Pantry melayani klien yang tiga kali lipat jumlahnya dari tahun lalu. Karena itu mereka mendirikan semacam dapur umum. Celakanya, orang-orang bernasib malang itu tak boleh antre sampai ke luar pekarangan gereja Holy Trinity, pusat bantuan pangan itu. Para tetangga di sekitar gereja keberatan. Akibatnya, sejak subuh orang sudah berkerumun di depan kantor gereja. Mereka itu datang untuk minta jatah makanan selama 2-3 hari, karena tunjangan sosial mereka terlambat, dikurangi, atau dicuri. Atau dihapuskan sama sekali karena salah mengerti. Tapi ada juga yang datang karena baru dipecat dari pekerjaan atau gajinya tak cukup untuk makan. Ada yang menamakan mereka ini korban "sindrom habis bulan", jatah makanan atau uang mereka sudah habis sebelum bulan berakhir. Meningkatnya orang kelaparan di Chicago tercermin dari angka ini: Badan Penyimpanan Pangan di sana menyalurkan bantuannya lewat 375 organisasi amal setempat, sementara 200 organisasi lagi masih tercatat dalam daftar tunggu. Dan di ibu kota AS, Washington, di satu jalan yang jauhnya hanya sembilan blok dari Gedung Putih, organisasi Breadfor the City(Roti untuk Kota) membagikan makanan kaleng atau bungkusan kepada 800 klien sebulan -- naik 25% dibandingkan tahun lalu. Sementara di St. Louis kini terdapat 200 pusat bantuan pangan. Dengan keadaan ini semakin banyak orang Amerika menyadari bahwa kelaparan bukan semata-mata persoalan negara berkembang saja. Kelaparan dan kemiskinan saling berkaitan erat. Meski tak seorang pun tahu pasti berapa jumlah orang Amerika yang kelaparan, terdapat bukti bahwa semakin bertambah kemiskinan berarti semakin bertambah kelaparan. Penderitaan mereka diperberat lagi oleh memburuknya ekonomi dan meningkatnya pengangguran. "Penciutan anggaran belanja pemerintahan Reagan, membuat nasib orang-orang ini semakin parah," kata para ahli di sana. Ini, antara lain, dicerminkan dari meningkatnya pencurian makanan. Dalam dua tahun terakhir pencurian di supermarket New York meningkat antara 25 sampai 35%. "Di daerah miskin ghetto, persentasenya bahkan lebih tinggi," kata Ketua Badan Keamanan Supermarket di New York Jack Squicciarini. Di antara maling yang tertangkap, ada yang dapat tunjangan sosial dari pemerintah hanya US$ 63. "Bagaimana mereka bisa hidup?" tambah Squicciarini. Tertangkap pula anak-anak usia 8, 9, dan 10 tahun, yang disuruh mencuri di supermarket oleh orang tua mereka. Di South Bronx, daerah paling hitam dan tempat pembuangan sampah di New York, 40 orang setiap malam mengorek-ngorek sampah. Menurut Squicciarini wilayah operasi para pengais sampah ini sudah meluas ke daerah-daerah yang dihuni penduduk lebih kaya di New York. Kelaparan di Amerika jadi problem besar sejak akhir 1960-an. Ketika itu sekelompok dokter yang disponsori organisasi riset swasta, Field Foundation, menemukan kasus-kasus kwashiorkor dan sejumlah penyakit lain akibat kelaparan di Delta Mississippi serta daerah miskin di selatan dan barat daya AS. Tahun 1977 tim kedua riset lagi. Jumlah yang kurang makan sudah jauh berkurang, tapi program bantuan pemerintah diterima hanya oleh separuh jumlah yang memerlukannya. Mereka berkesimpulan, kelaparan di AS tetap ada, tetapi masalah kurang gizi merupakan "problem yang lebih rumit". Keadaan di negara paling maju di dunia itu ternyata sama saja dengan di negeri-negeri lain yang masih terbelakang. "Si miskin tak punya suara di sini," kata Dr. Mitchell B. Wallerstein, direktur muda Program Pangan dan Gizi Institut Teknologi Massachusetts (MIT). Dan kebanyakan orang yang kekurangan gizi itu tidak mau ke rumah sakit. Dr. Wallerstein yakin masalah kekurangan gizi akan lebih banyak ditemukan di AS. Tapi untuk membuktikannya perlu penelitian. "Biaya penelitian inilah yang tak mungkin disediakan Pemerintahan Reagan," katanya. Pertumbuhan badan yang kerdil dan kekurangan zat besi dalam darah merupakan petunjuk utama kekurangan gizi di AS dewasa ini. "Keadaan ini tak banyak berubah meskipun selama belasan tahun Pemerintah Federal melancarkan program gizi," ujar Arnold Schaefer, direktur pelaksana Swanson Center for Nutrition Inc., di Omaha, Nebraska. Di antara anak-anak golongan miskin yang mendapat bantuan dari program kesehatan, terdapat 8 sampai 10% yang pertumbuhannya kerdil, dan 11 sampai 18% yang kekurangan zat besi, kata Dr. Trowbridge, direktur urusan gizi Pusat Perbaikan dan Pendidikan Kesehatan dan Pencegahan Penyakit, Jawatan Kesehatan Rakyat di Atlanta. Di kalangan penduduk umumnya, terdapat 5% yang diduga menderita gejala tersebut. Kasus kurang darah, berat, serta tinggi badan yang tak sesuai dengan umur hanya dapat menunjukkan sebagian kecil saja keadaan sesungguhnya -- yang lebih gawat. Dr. Paul Zeedari Rumah Sakit Riset Anak-anak St. Jude, Tennessee mengatakan munculnya bayi yang kekurangan gizi secara sporadis di rumah sakit dikarenakan faktor sosial yang dipaksakan yang menyebabkannya demikian. Misalnya, karena bapaknya nganggur .... Penelitian di berbagai tempat menunjukkan bukan hanya kelaparan yang tak dapat diatasi, juga karena para penduduk miskin itu tidak mudah memperoleh pangan yang cukup. Tunjangan pangan untuk satu keluarga rata-rata sebulan adalah US$ 346 -- setiap kali makan setiap orang hanya dapat tunjangan US$ 0,45. Keluarga yang berpendapatan rendah seringkali tak punya uang cukup untuk membeli makanan dalam jumlah banyak sehingga lebih murah. Mereka juga tak mungkin mendatangi supermarket di daerah golongan menengah untuk bisa membeli obralan dan mendapatkan potongan harga. Di toko dekat rumah, mereka harus bayar harga yang lebih mahal. Melonjaknya pengeluaran lain -- sewa rumah, listrik, air leding, biaya angkutan, dokter, dan pakaian hanya meninggalkan sedikit sisa uang mereka untuk makan. Mereka harus membelanjakan seperempat sampai sepertiga dari pendapatan mereka untuk listrik atau air. Sementara jumlah tunjangan sosial dan bantuan pangan tak dapat mengejar harga yang terus naik. Diane, seorang janda di New York, bersama tiga anaknya selama 10 tahun hidup dengan makan lemak dan tulang. Tinggal di kampung kotor Brooklyn, Diane tak bisa bekerja karena sakit ginjal dan radang pembuluh darah balik. Tanggal 22 setiap bulan, jatah pangan yang diterimanya dua pekan sebelumnya, sudah habis. Untuk mencari uang ia beli lotto -- yang kalau dapat lumayan buat menutup kebutuhan beberapa hari. Tapi ia tentu tak selalu dapat. Sekali-sekali, dengan cara sembunyi-sembunyi, ia bekerja di toko lotto: Sehari ia digaji US$ 35 -- itu kalau tidak ketahuan polisi. Kadang-kadang Diane yang keluarganya hanya makan farina, makanan Amerika paling murah yang terbuat dari terigu dicampur kacang atau umbi-umbian. Sebagai penyedap mereka pakai bouillon (kaldu) dan mi . "Yang penting kami bisa makan dan kenyang. Bisa tetap hidup," kata Diane. "Soal gizi urusan belakang." Anehnya, pendapat Diane mengenai tunjangan sosial ada miripnya dengan kebijaksanaan Reagan. "Tunjangan sosial seperti sekarang harus dihapuskan," katanya. "Itu tidak mendidik, tidak memberikan apa-apa". Rita Webb Smith yang dulu menerima tunjangan sosial, kini mengurus satu badan yang membantu orang-orang semacam itu. Ia mengajarkan kepada mereka supaya berusaha menolong diri sendiri dan jangan terlalu bergantung pada bantuan pemerintah. "Kita selalu memberi sedekah kepada si miskin, dan bukan membantu mereka mengatasi sendiri kesulitannya," katanya. Itulah sebabnya ia, juga Diane, tak suka program bantuan untuk si miskin. Donald W. Moran, salah seorang direktur anggaran di Jawatan Manajemen dan Anggaran Pemerintahan Reagan, mengelak bahwa mereka telah berusaha membuat anggaran 1981 sebaik mungkin. Bagi dia, anggaran untuk si miskin (yang sudah dipotong itu) tentu saja cukup. Di zaman Presiden Jimmy Carter, program bantuan dan tunjangan ini meliputi 50% dari seluruh anggaran. Dan bantuan diberikan secara merata kepada semua golongan, seperti tunjangan sosial, perawatan kesehatan, pensiun militer, dan pegawai negeri. Program jatah pangan dan untuk keluarga miskin hanya 10% dari anggaran. Sedang oleh Reagan justru porsi inilah yang banyak dikurangi, sehingga "terlalu drastis" seperti kata Ny. Smith. Program bantuan untuk penduduk berpendapatan rendah di masa Pemerintahan Carter berjumlah US$ 100 milyar. Tahun ini Reagan hanya menyediakan sekitar US$ 82 milyar akibat inflasi nilainya merosot sampai 28%. Berdasarkan angka-angka dari Kongres dan pemerintah, diperkirakan program penghematan anggaran belanja Reagan akan mengakibatkan hampir satu juta orang tidak lagi menerima bantuan pangan. Di samping itu hampir 20 juta orang menerima jatah bantuan pangan dalam jumlah lebih sedikit dibanding peraturan yang sebelumnya. Sekitar 80% penghematan Reagan itu dilakukan dengan mengurangi tunjangan atau subsidi pada keluarga-keluarga yang pendapatan kotornya berada di bawah garis kemiskinan US$ 7.760 setahun untuk keluarga yang terdiri atas tiga orang. Tunjangan untuk keluarga yang masih menanggung anak (AFDC) kini lebih kecil jumlahnya bagi 260.000 keluarga. Sekitar 365.000 keluarga lagi sudah kehilangan tunjangan. Kurang lebih 750.000 anak dari keluarga berpenghasilan rendah tidak lagi bisa dapat makan siang gratis di sekolah, dan 500.000 anak tak bisa ikut dalam program makan cuma-cuma di musim panas. Sejumlah lembaga penitipan anak terpaksa mengurangi pelayanannya, menaikkan tarif, atau tutup sara sekali karena dikuranginya bantuan pemerintah (sekitar30%) untuk bayi dan anak-anak golongan miskin. Akibat diciutkannya program bantuan pangan dan gizi pengaruhnya terasa pada susunan makanan keluarga miskin -- menu tak diganti-ganti dan dibuat dari bahan murah. Ada hal-hal mengenai masalah kelaparan yang tak bisa diukur dari segi biokimia atau menurut hasil survei gizi saja. Dari segi statistik, orang yang kelaparan di Amerika mungkin tak seberapa. Jika seseorang memakan makanan anjing atau kucing selama sebulan dari segi kesehatan mungkin tak jadi soal -- di Amerika, makanan binatang ini sudah jadi produk pabrik, dikalengkan, dan nilai gizinya sama. Tapi dari segi etika dan moral apa pantas? Reagan belum lama berselang berseru kepada organisasi sukarelawan dan amal swasta untuk membantu pemerintah. Yang paling dulu menanggapi adalah organisasi agama. "Tidak mungkin gereja bisa mengisi kekurangan bantuan pemerintah," kata Uskup Joseph Sullivan dari New York. Kurang lebih sepertiga paroki, terutama di daerah penduduk miskin, juga menghadapi banyak kesulitan. Antara lain, mereka juga perlu uang untuk memperbaiki bangunan gereja. Padahal di daerah ini permintaannya bantuan pangan paling besar. Tambahan lagi, gereja harus membantu pula organisasi amal lain. Misalnya, Yayasan Anak-anak. Dulu yayasan ini dibiayai oleh Jawatan Pelayanan Masyarakat -- sekarang sudah dibubarkan. Kini dana diterima dari badan usaha yayasan lain, dan perorangan. Hingga Yayasan ini,yang menganjurkan peningkatan gizi anak dan perawatan anak di rumah, kini membuka proyek yang mendatangkan uang seperti menjual asuransi jiwa dan kesehatan, serta menerbitkan buku. Karena si miskin sudah banyak berkorban supaya dompet pemerintah tidak kosong, golongan lainlah yang harus berkorban. Misalnya, pihak militer dan orang-orang kaya yang selalu sanggup berkorban, tetapi selalu dapat rezeki nomplok. Ini saran Robert Greenstein dari Pusat Prioritas Anggaran Belanja dan Kebijaksanaan Pemerintah. "Kalau program bantuan bagi si miskin lagi yang di potong, aki batnya akan buruk dan sulit dibayangkan," katanya. Walau bagaimanapun, orang yang kekurangan gizi dan kurang makan akan selalu terdapat di Amerika, demikian pendapat seorang pejabat Departemen Pertanian. Penyebabnya adalah faktor-faktor sosial dan psikologis. Pemerintah bukanlah satusatunya pemecah kesulitan atas problem ini. "Kekurangan gizi akibat kemiskinan hanya bisa dipecahkan dengan meniadakan kemiskinan itu sendiri," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus