Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Membendung ancaman video

Impor film mandarin dan eropa amerika dengan sistem paket mulai ditinggalkan diganti dengan sistem pemilihan bebas. tapi dari belakang ada video gelap yang semakin mengancam bisnis bioskop. (fl)

23 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POSTER-poster besar film Octopussy muncul bersamaan di beberapa kota di Indonesia dan belahan bumi lainnya -- serentak mengisyaratkan dua hal penting. Pertama, adanya pengurus Asosiasi Importir Film Eropa Amerika yang baru (mulai aktif Maret 1983). Kedua, adanya pola kerja baru. Jadi bukan satu kebetulan jika Octopussy bisa ditonton di sini tidak lama setelah malam perdananya di London. Untuk prioritas semacam ini Asosiasi -- membeli Octopussy dengan harga tidak kurang dari US$ 800.000 (sekitar Rp 800 juta). Inilah harga film termahal yang -- maaf -- belum tentu sukses di peredaran. Rugi? Bukan mustahil. Untuk menghindari bencana seperti itulah, pengurus Asosiasi yang lama (di antaranya PT Archipellago Film) bertahan dengan sistem paket. Artinya, mereka membeli beberapa film sekaligus, tanpa berhak memilih judul satu-persatu. Akibatnya, Asosiasi membawa pulang satu film bagus di antara beberapa film lain yang nilai komersial dan estetikanya rendah. Harganya pun rendah (rata-rata US$ 100-200 per film). "Sistem paket tersebut memungkinkan film yang tidak laku di negara asal, bisa laku di negara konsumen," ungkap Widodo Sukarno dari Archipellago Film. Keuntungan sistem paket ialah film jadi lebih murah. Kerugiannya, penonton hanya sekali-sekali bisa menonton film bagus. Tapi yang teramat bikin kesal ialah filmnya selalu terlambat. Warga Singapura, misalnya, sudah menonton Missing setahun lebih dahulu. Karena film yang beredar kurang bisa dipertanggungjawabkan mutunya, penonton di kota-kota besar lalu lari ke video. Akibatnya, bioskop semakin sepi saja. Untuk mengatasi keadaan itu, kini pengurus baru Asosiasi menganut sistem pembelian bebas. Jika dulu pembelian dimonopoli sendiri oleh pelaksana yakni Archipellago Film, sekarang tiap importir boleh saja belanja film bersama-sama ke luar negeri. Sesudah itu masing-masing importir disilakan memilih filmnya sendiri-sendiri, dengan catatan, pembelian diserahkan pihak pelaksana yaitu Nusantara Film. Pola kerja ini mirip sekali dengan pola kerja Asosiasi Importir Film Mandarin yang sudah berlaku sejak lama. Suptan Film sebagai pelaksana tiap kali pergi belanja film bersama-sama anggota Asosiasi lainnya: Tobali Isae, Bola Mas, Safari, dan Sufi. Oleh pihak penjual di Hong Kong dan Taiwan, mereka dipersilakan menonton film, sebanyak-banyaknya sesanggup mereka. "Dari 200 judul biasanya per hari kami habiskan untuk meneliti 10 film," ujar Marius Nizart, petugas hubungan masyarakat Suptan Film. Biasanya mereka membeli 20 film yang jumlahnya dibagi rata antara sesama anggota dan jadwal pemutarannya juga diatur sedemikian rupa hingga tidak bentrok. Adapun film Mandarin tiap tahun memperoleh kuota impor 50 judul, Eropa Amerika 100 judul. Tapi karena pasarannya kuat di Indonesia, 50 judul yang cukup selektif itu, sudah menjamin laba besar. Sebab kondisi pasar cukup menunjang. Tidak heran bila importir film Mandarin dari Indonesia dianggap cukup potensial bagi industri film di Hong Kong dan Taiwan. Sebaliknya yang terjadi dengan importir film Eropa Amerika. Bagaimana kalau kembali ke sistem keagenan, seperti yang terjadi di zaman AMPAI (American Motion Pictures Association in Indonesia) Malik Darpi, sekretaris Asosiasi Importir Film Eropa Amerika berpendapat sistem ini bisa mendikte importir untuk membeli film yang belum tentu cocok dengan penonton di sini, juga punya kemungkinan mendiktekan harga. Dalam situasi serba tidak menguntungkan seperti sekarang, cara terbaik dalam menangani film impor Eropa Amerika ialah melakukan pembelian dengan sistem bebas. Lewat sistem ini diperjuangkan membeli film yang bagus-bagus saja, hingga masyarakat penonton kembali ke bioskop. Untuk mempercepat proses ini, kata Malik, harga karcis bioskop harus diturunkan dan media massa diimbau untuk menggalakkan minat penonton. Untuk menggiring penonton kembali ke bioskop tampak tak mudah. Apalagi masyarakat masih dilanda demam video. Tapi sejauh yang menyangkut film Mandarin, hal itu tidaklah merepotkan benar. Seperti kata Marius, untuk memvideokan film Mandarin, izinnya harus dimintakan dulu pada Asosiasi. Jadi, secara resmi boleh dibilang tidak ada masalah. Namun pembajakan bukan tidak ada, karena rekaman langsung dikerjakan dari Singapura atau Hong Kong. "Yang seperti inilah yang mengacau bisnis kami," keluh Marius. Video gelap semacam itu juga dikhawatir kan Malik Darpi. "Bisnis perfilman, termasuk bioskop dan produser film nasional, bisa hancur melawan video gelap," katanya "Karena itu video seharusnya dikelola oleh sebuah badan yang juga mengelola film." Setidaknya, perlu kerja sama, seperti yang diutarakan Soenarto, ketua Aspevi (Asosiasi Pengusaha Video). Dalam garis besar, pengaturan bagi rezeki antara film dan video, jelas adanya. Sebuah film baru boleh divideokan jika film yang bersangkutan sudah masuk bioskop kelas rendah. (Catatan: 2 tahun untuk film nasional, 5 tahun untuk film impor). Jika ada kaset video yang merekam film yang masih nyangkut di kelas menengah ke atas, berarti video itu ilegal, hasil pembajakan. Perusahaan yang berhak merekam video ada sembilan di antaranya, Panca, Summa Trio Tara, Asaka, dan Citra. Tjandra Herawati Widjaja, 51 tahun, direktur pemasaran PT Trio Video Tara juga mengkhawatirkan video gelap, hingga tidak berani menaikkan harga jual kaset video. "Kalau mereka (maksudnya pengusaha video gelap) bisa menjual ke toko penyewaan dengan harga lebih murah, tentu mereka lebih laku," tuturnya. Tjandra tampak kurang menghayati ancaman video geiap yang mengancam kelangsungan usaha para importir (terutama film Eropa Amerika) dan pemilik bioskop. Bukankah pengusaha video tidak dibebani rupa-rupa sumbangan (wajib dan suka rela) seperti yang dikenakan terhadap para importir film?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus