POSTER-poster besar film Octopussy muncul bersamaan di beberapa
kota di Indonesia dan belahan bumi lainnya -- serentak
mengisyaratkan dua hal penting. Pertama, adanya pengurus
Asosiasi Importir Film Eropa Amerika yang baru (mulai aktif
Maret 1983). Kedua, adanya pola kerja baru.
Jadi bukan satu kebetulan jika Octopussy bisa ditonton di sini
tidak lama setelah malam perdananya di London. Untuk prioritas
semacam ini Asosiasi -- membeli Octopussy dengan harga tidak
kurang dari US$ 800.000 (sekitar Rp 800 juta). Inilah harga film
termahal yang -- maaf -- belum tentu sukses di peredaran.
Rugi? Bukan mustahil. Untuk menghindari bencana seperti itulah,
pengurus Asosiasi yang lama (di antaranya PT Archipellago Film)
bertahan dengan sistem paket. Artinya, mereka membeli beberapa
film sekaligus, tanpa berhak memilih judul satu-persatu.
Akibatnya, Asosiasi membawa pulang satu film bagus di antara
beberapa film lain yang nilai komersial dan estetikanya rendah.
Harganya pun rendah (rata-rata US$ 100-200 per film). "Sistem
paket tersebut memungkinkan film yang tidak laku di negara
asal, bisa laku di negara konsumen," ungkap Widodo Sukarno dari
Archipellago Film.
Keuntungan sistem paket ialah film jadi lebih murah.
Kerugiannya, penonton hanya sekali-sekali bisa menonton film
bagus. Tapi yang teramat bikin kesal ialah filmnya selalu
terlambat. Warga Singapura, misalnya, sudah menonton Missing
setahun lebih dahulu.
Karena film yang beredar kurang bisa dipertanggungjawabkan
mutunya, penonton di kota-kota besar lalu lari ke video.
Akibatnya, bioskop semakin sepi saja.
Untuk mengatasi keadaan itu, kini pengurus baru Asosiasi
menganut sistem pembelian bebas. Jika dulu pembelian dimonopoli
sendiri oleh pelaksana yakni Archipellago Film, sekarang tiap
importir boleh saja belanja film bersama-sama ke luar negeri.
Sesudah itu masing-masing importir disilakan memilih filmnya
sendiri-sendiri, dengan catatan, pembelian diserahkan pihak
pelaksana yaitu Nusantara Film.
Pola kerja ini mirip sekali dengan pola kerja Asosiasi Importir
Film Mandarin yang sudah berlaku sejak lama. Suptan Film sebagai
pelaksana tiap kali pergi belanja film bersama-sama anggota
Asosiasi lainnya: Tobali Isae, Bola Mas, Safari, dan Sufi. Oleh
pihak penjual di Hong Kong dan Taiwan, mereka dipersilakan
menonton film, sebanyak-banyaknya sesanggup mereka. "Dari 200
judul biasanya per hari kami habiskan untuk meneliti 10 film,"
ujar Marius Nizart, petugas hubungan masyarakat Suptan Film.
Biasanya mereka membeli 20 film yang jumlahnya dibagi rata
antara sesama anggota dan jadwal pemutarannya juga diatur
sedemikian rupa hingga tidak bentrok.
Adapun film Mandarin tiap tahun memperoleh kuota impor 50 judul,
Eropa Amerika 100 judul. Tapi karena pasarannya kuat di
Indonesia, 50 judul yang cukup selektif itu, sudah menjamin laba
besar. Sebab kondisi pasar cukup menunjang. Tidak heran bila
importir film Mandarin dari Indonesia dianggap cukup potensial
bagi industri film di Hong Kong dan Taiwan. Sebaliknya yang
terjadi dengan importir film Eropa Amerika. Bagaimana kalau
kembali ke sistem keagenan, seperti yang terjadi di zaman AMPAI
(American Motion Pictures Association in Indonesia) Malik
Darpi, sekretaris Asosiasi Importir Film Eropa Amerika
berpendapat sistem ini bisa mendikte importir untuk membeli film
yang belum tentu cocok dengan penonton di sini, juga punya
kemungkinan mendiktekan harga.
Dalam situasi serba tidak menguntungkan seperti sekarang, cara
terbaik dalam menangani film impor Eropa Amerika ialah melakukan
pembelian dengan sistem bebas. Lewat sistem ini diperjuangkan
membeli film yang bagus-bagus saja, hingga masyarakat penonton
kembali ke bioskop. Untuk mempercepat proses ini, kata Malik,
harga karcis bioskop harus diturunkan dan media massa diimbau
untuk menggalakkan minat penonton.
Untuk menggiring penonton kembali ke bioskop tampak tak mudah.
Apalagi masyarakat masih dilanda demam video. Tapi sejauh yang
menyangkut film Mandarin, hal itu tidaklah merepotkan benar.
Seperti kata Marius, untuk memvideokan film Mandarin, izinnya
harus dimintakan dulu pada Asosiasi. Jadi, secara resmi boleh
dibilang tidak ada masalah. Namun pembajakan bukan tidak ada,
karena rekaman langsung dikerjakan dari Singapura atau Hong
Kong. "Yang seperti inilah yang mengacau bisnis kami," keluh
Marius.
Video gelap semacam itu juga dikhawatir kan Malik Darpi. "Bisnis
perfilman, termasuk bioskop dan produser film nasional, bisa
hancur melawan video gelap," katanya "Karena itu video
seharusnya dikelola oleh sebuah badan yang juga mengelola film."
Setidaknya, perlu kerja sama, seperti yang diutarakan Soenarto,
ketua Aspevi (Asosiasi Pengusaha Video).
Dalam garis besar, pengaturan bagi rezeki antara film dan video,
jelas adanya. Sebuah film baru boleh divideokan jika film yang
bersangkutan sudah masuk bioskop kelas rendah. (Catatan: 2
tahun untuk film nasional, 5 tahun untuk film impor). Jika ada
kaset video yang merekam film yang masih nyangkut di kelas
menengah ke atas, berarti video itu ilegal, hasil pembajakan.
Perusahaan yang berhak merekam video ada sembilan di antaranya,
Panca, Summa Trio Tara, Asaka, dan Citra.
Tjandra Herawati Widjaja, 51 tahun, direktur pemasaran PT Trio
Video Tara juga mengkhawatirkan video gelap, hingga tidak berani
menaikkan harga jual kaset video. "Kalau mereka (maksudnya
pengusaha video gelap) bisa menjual ke toko penyewaan dengan
harga lebih murah, tentu mereka lebih laku," tuturnya.
Tjandra tampak kurang menghayati ancaman video geiap yang
mengancam kelangsungan usaha para importir (terutama film Eropa
Amerika) dan pemilik bioskop. Bukankah pengusaha video tidak
dibebani rupa-rupa sumbangan (wajib dan suka rela) seperti yang
dikenakan terhadap para importir film?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini