Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pembatasan persenjataan dulu & kini

Usaha pembatasan senjata dulu dan kini. (sel)

23 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UPAYA pembatasan persenjataan, yang menjadi ramai khususnya antara negara-negara besar dewasa ini, rupanya bukan barang baru. Sudah pernah dilakukan sekitar 60 tahun berselang, meski belum menyangkut persenjataan nuklir seperti sekarang. Perjanjian yang pertama di dunia itu melibatkan 'lima besar' di lautan: AS, Inggris, Jepang, Prancis, dan Italia. Hari penandatanganan tercatat 6 Februari 1922. Yang hendak dituju: pembatasan persenjataan laut, terutama armada kapal perang di masa ketika senjata nuklir masih angan-angan itu, kapal perang memang dinilai paling ampuh dan membahayakan perdamaian. 'Tiga besar' AS, Inggris, dan Jepang setuju segera mencoret sekitar separuh dari jumlah kapal perang mereka, dan membekukan pembikinan kapal perang baru dalam masa sepuluh tahun. Adapun yang disepakati kelima negara adalah pembatasan jumlah tonase kapal perang dan kapal pengangkut pesawat terbang. Juga ukuran kapal tertentu, serta kaliber maksimum meriam kapal. Keleluasaan mendirikan pangkalan angkatan laut di kawasan Pasifik juga disepakati untuk dibatasi. "Cukup banyak persamaan antara perjanjian pembatasan senjata dulu dan kini," tulis Gaddis Smith dalam The New York Times Magazine. "Yaitu antara perlombaan pembuatan kapal perang dan senjata nuklir." Debat kusir 60 tahun yang lalu, dan yang sedang berlangsung kini, memang mirip. Sama-sama ingin mempertahankan keamanan masing-masing secara strategis. Memang, kapal perang zaman dulu maupun senjata nuklir masa sekarang sama-sama mampu menciptakan teror. Di zaman kapal layar kayu, perkembangan teknologi hampir belum terasa. Tetapi dengan datangnya masa tenaga uap, abad XIX, perlengkapan perang angkatan laut memasuki era modern. Peralatan dibuat dari baja, sedang meriamnya memiliki jarak tembak lebih jauh dan lebih tepat. Penerapan teknologi itu membuat kapal jenis lama tidak terpakai lagi. Dan dalam keadaan begitu tak ada satu negara pun yakin bahwa anggaran militer yang paling besar bisa memadai. Menjadi semacam perburuan yang tak habis-habisnya. Selalu ada hantu yang membayang-bayangi -- berupa sebuah negara yang satu langkah lebih tangguh. "Ancaman pokok dalam perang laut adalah daya tembak radius yang mematikan," tulis Smith, yang mengajar sejarah maritim dan diplomasi di Yale University. Jika sebuah negeri memiliki meriam kapal yang mampu menembak lebih jauh, yaitu meriam dengan radius tembak yang maut, negeri lainnya juga ingin menyamai, kalau mungkin melampaui. Jika dua negara yang bermusuhan memiliki meriam yang sama yahudnya, masirg-masingnya tentu ingin mencari kelebihan di segi lain. Misalnya, bagaimana agar kecepatan kapal bisa bertambah, lincah berkelit dari tembakan. Atau jumlahnya lebih banyak. Atau memiliki perlengkapan lain yang lebih efektif. Bisa juga bagaimana memiliki pangkalan angkatan laut yang strategis, tak peduli di negeri orang. Sebelum 1914, dua saingan paling garang di bidang perlombaan itu adalah Inggris dan Jerman. Pada 1906 Inggris membikin Dreadnought, jenis kapal perang besar yang lain dari yang lain. Ia antaranya diperlengkapi dengan sejumlah meriam dengan daya, jarak, dan ketepatan tembak yang sangat besar. Lalu dalam Perang Dunia I, armada Inggris dan Jerman terlibat dalam pertempuran besar di Jutland, dekat Laut Utara, 1916 -- yang kemudian saling menarik diri. Pertempuran itu menciptakan inovasi lebih jauh di pihak angkatan laut masing-masing. Setelah perjanjian perdamaian 1919, Jerman menyingkirkan sisa kapal-kapalnya, yang dianggap ketinggalan zaman. Sementara itu AS dan Jepang mulai melakukan pembangunan besar-besaran di bidang angkatan laut. Ini pada gilirannya menimbulkan ancaman tidak saja terhadap keamanan nasional negara-negara lain, tapi juga bagi supremasi Angkatan Laut Inggris yang sudah mentradisi. Dan pihak Inggris memandang dengan penuh waswas. Beberapa tahun kemudian ketegangan antara 'tiga besar' meningkat. Ini disebabkan oleh rencana ekspansi Jepang terhadap Cina, prasangka rasial AS-Jepang, dan kekhawatiran Amerika terhadap persekutuan militer Jepang-lnggris. Ketika presiden dari Partai Republik, Warren G. Harding, mulai memerintah di bulan Maret 1921, ia dan para penasihatnya mulanya berteguh melanjutkan pembangunan AL-AS. Tetapi Harding menghadapi tantangan tak terduga dari gerakan nasional pendukung konperensi internasional tentang pembatasan senjata laut. Pemimpin gerakan ini, Senator William E. Borah, anggota Partai Republik moderat dari Idaho. Melalui perdebatan di Senat, ia berhasil menggolkan resolusi tentang pemotongan 50% rencana pembangunan AL. Resolusi itu sendiri menimbulkan gaung yang berantai di seluruh negeri. Kaum wanita konon berada di barisan pembela paling depan. Dalam konvensi Liga Wanita Pemilih, April 1921, Carrie Chapman Catt mencanangkan seruan terhadap pengurangan persenjataan. "Setiap orang pada masa ini sangat hati-hati dalam mengambil sikap memihak," ujar suffragist dan penganjur perdamalan terkemuka itu. "Saya tidak peduli didamprat. Saya memihak pengurangan persenjataan. Saya percaya terhadap aksi massa . . . dan itu tidak soal partai mana yang memerintah dan siapa yang menjadi presiden." Gereja, buruh yang terorganisasi, para usahawan, kalangan cendekiawan, dan anggota DPR, ikut bergabung dalam gerakan. Maka di Juli 1921, AS menyebarkan undangan konperensi, yang diselenggarakan di Washington, untuk pembatasan persenjataan AL serta sebab-sebab kegawatan di Asia. Di samping kelima peserta yang sudah disebut sebenarnya disertakan juga empat negeri lain: satu Asia (Cina) dan tiga yang ada kepentingannya dengan Asia: Belanda, Portugal, dan Belgia. Jadi, keseluruhannya ada sembilan negara peserta. Presiden Harding mengangkat Menteri Luar Negeri Charles Evans Hughes sebagai ketua delegasi. Rekomendasi pertama datang dari Dewan Jenderal AL-AS. Kelompok penasihat ini, umumnya terdiri dari para laksamana senior, menginginkan AS memperkukuh kembali -- bahkan meningkatkan -- pembangunan AL, sebagai persyaratan awal untuk maju ke meja perundingan. Hughes menolak. Bekerja secara rahasia dalam kelompok kecil perwira muda AL, dan berkonsultasi dengan para anggota delegasi AS, ia malah memutuskan untuk mengajukan usul yang ternyata lebih radikal dari resolusi Senator Borah. Isinya: pengurangan besar-besaran kekuatan kapal perang dari tiga negara utama dan pembekuan pembangunan baru AL selama 10 tahun. Presiden Harding menerima usul tersebut. Juga setuju hal itu akan diumumkan Hughes pada hari pertama konperensi. Hughes boleh jadi yakin usulnya akan diterima negeri-negeri lain -- berbeda dengan seluruh anggota delegasinya. Senator Henry Cabot Lodge bahkan mendukung rencana itu karena ia percaya bahwa Inggris dan Jepang pasti akan menolak. Aneh juga. Pemerintah AS, setelah menunjukkan "kesetiaannya" kepada khalayak dan Congress, kini dengan leluasa dapat meneruskan pembangunan AL-nya. "Presiden Harding sendiri berniat serupa," komentar Smith. Pada bulan November 1921, konperensi pembatasan persenjataan AL bersidang di kompleks Gedung Revolusi Amerika di 17th Street, Washington. Beratus orang penting dan wartawan menyumpal di panggung penonton. Pada 12 November itu Menteri Luar Negeri Hughes bangkit dari kursinya, dan sesumbar: "Perlombaan persenjataan harus berhenti," serunya bersemangat. "Kita tidak boleh terlalu mengumbar diri dengan tilikan, pengumpulan data statistik, laporan dan omong kosong sok tahu. Telah datang waktunya untuk lebih bersungguh-sungguh, dan untuk itu konperensi ini diadakan. Bukan untuk resolusi-resolusi yang bersifat umum atau mempertukarkan nasihat, tapi untuk suatu tindakan .... Hanya ada satu jalan keluar yang patut dan wajar, yaitu mengakhiri perlombaan senjata sekarang juga ...." Lalu muncul perinciannya. Tiga kekuatan utama -- AS, Inggris, dan Jepang- masing-masing akan meniadakan separuh dari sekitar 70 kapal perang, yang sedang dibangun atau direncanakan. Dalam masa sepuluh tahun tidak boleh ada pembangunan baru ataupun modernisasi kapal. Pada akhir masa sepuluh tahun, pembuatan kapal perang baru diizinkan -- kalau kapal-kapal tua sudah dihapus. Kemudian, tidak sepotong kapal pun boleh melampaui ukuran di atas 35 ribu ton. Tak boleh sepucuk senjata berada di atas kaliber 16 inci untuk diameter moncongnya. Tonase keseluruhan kapal-kapal besar -- di atas 10 ribu ton -- sendiri menempatkan AS dan Inggris pada posisi sepadan, sementara Jepang 60% dari tonase kedua negara itu. Rasionya adalah 5:5:3. Para delegasi lain tentu saja terperangah dengan usul yang dinilai berani itu. Juga dengan sambutan hangat dari seluruh dunia. Minggu-minggu tawar-menawar yang alot berlangsung. Beberapa perubahan dilakukan terhadap usul aslinya. Prancis dan Italia tidak diminta menghapus kapal-kapalnya yang ada, dan diperbolehkan memiliki tonase sepertiga dari milik AS dan Inggris. Sebagai suatu konsesi terhadap Jepang, yang diperlukan untuk memenangkan persetujuan, AS dan Inggris sepakat tidak mendirikan pangkalan-pangkalan baru di barat Hawaii atau di timur Singapura. Dan ini menjamin superioritas Jepang di Pasifik Barat, menurut Smith. Kapal-kapal swasta berikut pembatasan tonasenya juga disesuai kan dengan ketentuan yang berlaku terhadap kapal pengangkut pesawat udara. Lalu persetujuan ditandatangani. Sementara itu, Inggris dan Jepang sepakat mengganti perjanjian kerja sama mereka dengan persetujuan antarempat kekuatan -- Jepang, AS, Inggris, dan Prancis. Di sini mereka bersetuju saling berkonsultasi dalam setiap pertikaian paham di kawasan Pasifik. Konperensi ini, kata Presiden Harding pada pidato penutupan, "menandai awal era baru yang lebih baik . . . pernyataan kekuatan besar yang pertama kali dan paling efektif . . . terhadap kesiasiaan perang yang mahabesar." Masa 10 tahun larangan membikin kapal dinilainya tepat. Pada 1970 sistem perimbangan yang diterapkan meningkat ke kapal perang biasa dan penjelajah, ukuran maksimum 10 ribu ton, dengan diameter moncong meriamnya hanya delapan inci. Tetapi keadaan mulai menghambat menjelang Perang Dunia II. Jepang diam-diam menarik diri dari persetujuan pembatasan peralatan AL itu sejak 1934. Tujuh tahun kemudian terjadi pemgeboman Pearl Harbour yang mengejutkan. Perang Dunia II benar-benar sudah di ambang pintu. Persetujuan Washington dirancang, sebagai upaya pencegahan. Banyak rakyat Amerika yakin, penandatanganan persetujuan itu bisa menimbulkan anggapan, AS telah campur tangan di kawasan Pasifik. Dan ini dapat mengundang invasi Jepang. "Pada 1946, Presiden Harry S. Truman berkata, perjanjian pembatasan persenjataan AL itulah biang pecahnya Perang Dunia II ," tulis Smith lebih jauh. Kaum "realis" turut mengumandangkan tafsiran suram Truman. Mereka menyebut, kesepakatan 1922 itu hanya memojokkan pengawasan total penggunaan senjata dan berdalih: kekuatan adalah jalan menuju keselamatan. Persetujuan itu dianggap tidak fair. Persetujuan 1922 itu memang tidak memecahkan semua masalah, komentar penulis karangan ini. "Tapi mampu mengembangkan iklim yang baik di bidang ekonomi dan politik. Soalnya kan, langkah-langkah ini yang tidak dilakukan." Sisa imperialisme dan kekacauan dalam negeri meramu menjadi satu, kemudian muncul menjadi masalah gawat di Cina. Kenyataan inilah yang konon mengentuti harapan persetujuan 1922, dan membuka pintu bagi invasi Jepang di sana. Pada saat yang sama, AS memelopori kenaikan tarif angkutan, disusul pengusiran imigran Jepang pada 1924 -- tindakan rasial yang pahit. Setelah 1924, kegawatan yang ditimbulkan oleh resesi dunia mendorong kelompok pemimpin yang agresif dan pendek akal di Tokyo dan Berlin untuk merebut kekuasaan. Bagaimanapun, persetujuan Washington memang dibayang-bayangi Perang Dunia II -- dan upaya untuk mencegahnya. Tetapi ini tidak mengurangi minat Amerika untuk menggarap bidang nuklir. Sesungguhnya banyak hal menyebabkan generasi pendahulu lebih mudah mengawasi atau membekukan pemakaian persenjataan perang. Pertama, semua pemerintah berada di bawah tekanan opini publik -- sementara pendapat umum sendiri berdiri di pihak pembatasan pemakaian senjata. Kedua, negeri perunding tidak mengunci diri di dalam "peti" perang dingin -- atau terperangkap dalam suasana kebencian ideologis. Perang antara Inggris dan Amerika memang mustahil. Ketegangan antara Jepang dan AS mereda pada 1922. Tambahan pula, suasana multilateral perundingan itu sendiri merupakan penyekat timbulnya antagonisme Jepang-AS. Dan ketiga, semua pemenuhan keperluan konperensi -- akomodasi dan makan minum, misalnya -- bukan masalah serius. Karena kelima negara sokoguru konperensi mencerminkan kerja sama yang baik dalam menjamin keamanan para penandatangan persetujuan, mencegah timbulnya godaan untuk berselingkuh atau main curang. Jangan coba-coba menyembunyikan sebuah kapal perang pun, terutama di sebuah negeri yang lebih terbuka dari Uni Soviet. Mustahil membangun sebuah pangkalan AL yang besar dan tak dapat dilacak. Keempat, kapal perang banyak persamaannya satu sama lain. Para ahli AL di berbagai negeri, karena itu, dapat memahami mengapa harus ada pembatasan jumlah kapal. Kelima, kapal perang nyaris merupakan senjata pamungkas. Pertama, mereka ampuh untuk menghancurkan kapal perang lain. Ia bukan senjata pembantaian massal. Dan keenam, AL-AS pada 1921 masih kecil pengaruhnya di Pentagon, ketimbang sekarang. Ketika 'dewan jenderal' AL pada 1921 ditolak, para laksamana cuma mampu angkat bahu, kemudian terdiam di pojok. Meskipun semua ini merupakan faktor hitungan, tetap masih banyak persamaan antara upaya pembatasan pemakaian senjata dulu dan sekarang. "Selama mereka tidak mengancam keberlangsungan kehidupan di bumi, mereka tidak akan menjadi ancaman bagi keberlangsungan bangsa-bangsa," tulis Smith. Kini, beberapa di antara mereka yang mengatakan ingin adanya pengurangan senjata nuklir juga berkata bahwa AS pertama-tama harus memperbanyak senjata strategisnya. Ini, kata mereka, agar AS memiliki kekuatan di dalam perundingan atau secara blak-blakan, agar dapat mengintimidasi pihak lain untuk mengadakan pengurangan. Saat ini, seperti di tahun 1922, kita juga memiliki pihak yang berpendapat bahwa untuk mengurangi bahaya perang nuklir setiap negeri harus menghentikan pacuan senjata. Yaitu berupa pembekuan, penghentian sekarang juga, kemudian beralih ke masalah paling serius di bidang pengurangan pembuatan senjata. Perbedaan pendapat yang sama juga muncul pada 1921 itu. Tetapi kemudian khalayak umum dan desakan Congress berhasil menekan pemerintahan Harding untuk memilih beleid penghentian perlombaan senjata. Pada 1921, inisiatif ke arah pengawasan senjata datang dari Congress dan khalayak umum, memang. Mulanya, pemerintahan Harding mencoba bersikap keras. Ternyata tidak bertahan lama, karena ia segera melihat di mana kepentingan politik sesungguhnya terletak. Maka Presiden Harding segera memerintahkan diadakannya konperensi. Proses demokrasi berjalan. Apa yang berlangsung sekarang juga mirip. Pendapat umum dan tekanan Congress berpengaruh terhadap pemerintahan Ronald Reagan. Tidak secepat dan sebegitu menentukan seperti terhadap Harding, namun cukup berjalan. Tanpa tekanan publik, DPR AS (Congress) tidak kuasa menelurkan resolusi pembekuan senjata nuklir. Pemerintahan Reagan sendiri sempat mengadakan permainan tarik tambang dengan Uni Soviet berkenaan dengan perjanjian pembatasan pemakaian senjata nuklir. Masing-masing mengancam akan memasang sistem rudal antibalistiknya. Itu siasat saling menggertak sebelum duduk bersama di meja perundingan. Mungkin tidak akan ada hasil dari rangkaian perundingan di Jenewa, dan sistem "kemasan padat" rudal MX tampaknya mencapai hasil. Mungkin tidak akan ada tanda tangan Senat tantangan kelayakan pencalonan Kenneth L. Adelman -- seorang pejabat yang tanpa pengalaman khusus di bidang pengawasan senjata -- sebagai kepala Lembaga Pengawasan dan Perlucutan senjata. Ketika pemerintahan Harding dulu menyiapkan posisi AS untuk konperensi, mereka memperagakan campuran ketulusan itikad perlucutan senjata dengan kehendak mengalihkan tanggung jawab kegagalan kepada negara lain. "Untungnya, Menteri Luar Negeri Hughes yang menanganinya," tulis Smith di akhir ulasannya. Perbawa intelektualnya dan integritas moralnya konon membawa pengaruh baik di hari-hari perundingan. "Pelajaran pertama: Kepada siapa presiden mempercayakan tanggung jawab pengawasan persenjataan, membawa perubahan," kata Smith. Menurut Smith, perjanjian pembatasan yang pertama itu menemui kegagalan karena para pemerintah tidak memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Mereka juga tidak menyadari bahwa persetujuan pengawasan persenjataan harus terus menerus dikembangkan dan ditingkatkan. "Ini juga pelajaran berharga dari perjanjian perlucutan senjata yang pertama," katanya. Sejarawan berkewajiban mengulas pelajaran dari sejarah yang tidak diberikan oleh sejarah itu sendiri, masih menurut Smith. "Analogi yang sederhana dan digampangkan, berbahaya," katanya. Misalnya, membandingkan seenaknya antara Hitler dengan kepemimpinan Uni Soviet sekarang ini. Atau mempersamakan antara peredaan dan kampanye pembekuan senjata. "Salah dan menyesatkan untuk menyatakan bahwa perlucutan senjata pertama, 1922, sebagai pedoman yang sekarang. Di pihak lain, juga keliru untuk menyatakan perjanjian perlucutan senjata 1922 itu sebagai sama relevan atau sama pentingnya. Atau sebagai satu-satunya contoh ketololan pengawasan persenjataan." Ia lalu menilai, bahwa perlucutan senjata yang pertama itu adalah suatu prestasi -- dari segi isi maupun caranya. "Itu adalah contoh soal pertama proses cara kerja yang demokratis di bidang pengawasan persenjataan. Itu suatu hal yang pantas untuk diingat dan dipelajari".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus