UPAYA pembatasan persenjataan, yang menjadi ramai khususnya
antara negara-negara besar dewasa ini, rupanya bukan barang
baru. Sudah pernah dilakukan sekitar 60 tahun berselang, meski
belum menyangkut persenjataan nuklir seperti sekarang.
Perjanjian yang pertama di dunia itu melibatkan 'lima besar' di
lautan: AS, Inggris, Jepang, Prancis, dan Italia.
Hari penandatanganan tercatat 6 Februari 1922. Yang hendak
dituju: pembatasan persenjataan laut, terutama armada kapal
perang di masa ketika senjata nuklir masih angan-angan itu,
kapal perang memang dinilai paling ampuh dan membahayakan
perdamaian.
'Tiga besar' AS, Inggris, dan Jepang setuju segera mencoret
sekitar separuh dari jumlah kapal perang mereka, dan membekukan
pembikinan kapal perang baru dalam masa sepuluh tahun. Adapun
yang disepakati kelima negara adalah pembatasan jumlah tonase
kapal perang dan kapal pengangkut pesawat terbang. Juga ukuran
kapal tertentu, serta kaliber maksimum meriam kapal. Keleluasaan
mendirikan pangkalan angkatan laut di kawasan Pasifik juga
disepakati untuk dibatasi.
"Cukup banyak persamaan antara perjanjian pembatasan senjata
dulu dan kini," tulis Gaddis Smith dalam The New York Times
Magazine. "Yaitu antara perlombaan pembuatan kapal perang dan
senjata nuklir." Debat kusir 60 tahun yang lalu, dan yang sedang
berlangsung kini, memang mirip. Sama-sama ingin mempertahankan
keamanan masing-masing secara strategis.
Memang, kapal perang zaman dulu maupun senjata nuklir masa
sekarang sama-sama mampu menciptakan teror. Di zaman kapal layar
kayu, perkembangan teknologi hampir belum terasa. Tetapi dengan
datangnya masa tenaga uap, abad XIX, perlengkapan perang
angkatan laut memasuki era modern. Peralatan dibuat dari baja,
sedang meriamnya memiliki jarak tembak lebih jauh dan lebih
tepat. Penerapan teknologi itu membuat kapal jenis lama tidak
terpakai lagi. Dan dalam keadaan begitu tak ada satu negara pun
yakin bahwa anggaran militer yang paling besar bisa memadai.
Menjadi semacam perburuan yang tak habis-habisnya. Selalu ada
hantu yang membayang-bayangi -- berupa sebuah negara yang satu
langkah lebih tangguh.
"Ancaman pokok dalam perang laut adalah daya tembak radius yang
mematikan," tulis Smith, yang mengajar sejarah maritim dan
diplomasi di Yale University. Jika sebuah negeri memiliki meriam
kapal yang mampu menembak lebih jauh, yaitu meriam dengan radius
tembak yang maut, negeri lainnya juga ingin menyamai, kalau
mungkin melampaui. Jika dua negara yang bermusuhan memiliki
meriam yang sama yahudnya, masirg-masingnya tentu ingin mencari
kelebihan di segi lain. Misalnya, bagaimana agar kecepatan kapal
bisa bertambah, lincah berkelit dari tembakan. Atau jumlahnya
lebih banyak. Atau memiliki perlengkapan lain yang lebih
efektif. Bisa juga bagaimana memiliki pangkalan angkatan laut
yang strategis, tak peduli di negeri orang. Sebelum 1914, dua
saingan paling garang di bidang perlombaan itu adalah Inggris
dan Jerman.
Pada 1906 Inggris membikin Dreadnought, jenis kapal perang besar
yang lain dari yang lain. Ia antaranya diperlengkapi dengan
sejumlah meriam dengan daya, jarak, dan ketepatan tembak yang
sangat besar. Lalu dalam Perang Dunia I, armada Inggris dan
Jerman terlibat dalam pertempuran besar di Jutland, dekat Laut
Utara, 1916 -- yang kemudian saling menarik diri. Pertempuran
itu menciptakan inovasi lebih jauh di pihak angkatan laut
masing-masing.
Setelah perjanjian perdamaian 1919, Jerman menyingkirkan sisa
kapal-kapalnya, yang dianggap ketinggalan zaman. Sementara itu
AS dan Jepang mulai melakukan pembangunan besar-besaran di
bidang angkatan laut. Ini pada gilirannya menimbulkan ancaman
tidak saja terhadap keamanan nasional negara-negara lain, tapi
juga bagi supremasi Angkatan Laut Inggris yang sudah mentradisi.
Dan pihak Inggris memandang dengan penuh waswas.
Beberapa tahun kemudian ketegangan antara 'tiga besar'
meningkat. Ini disebabkan oleh rencana ekspansi Jepang terhadap
Cina, prasangka rasial AS-Jepang, dan kekhawatiran Amerika
terhadap persekutuan militer Jepang-lnggris.
Ketika presiden dari Partai Republik, Warren G. Harding, mulai
memerintah di bulan Maret 1921, ia dan para penasihatnya mulanya
berteguh melanjutkan pembangunan AL-AS. Tetapi Harding
menghadapi tantangan tak terduga dari gerakan nasional pendukung
konperensi internasional tentang pembatasan senjata laut.
Pemimpin gerakan ini, Senator William E. Borah, anggota Partai
Republik moderat dari Idaho. Melalui perdebatan di Senat, ia
berhasil menggolkan resolusi tentang pemotongan 50% rencana
pembangunan AL.
Resolusi itu sendiri menimbulkan gaung yang berantai di seluruh
negeri. Kaum wanita konon berada di barisan pembela paling
depan. Dalam konvensi Liga Wanita Pemilih, April 1921, Carrie
Chapman Catt mencanangkan seruan terhadap pengurangan
persenjataan. "Setiap orang pada masa ini sangat hati-hati dalam
mengambil sikap memihak," ujar suffragist dan penganjur
perdamalan terkemuka itu. "Saya tidak peduli didamprat. Saya
memihak pengurangan persenjataan. Saya percaya terhadap aksi
massa . . . dan itu tidak soal partai mana yang memerintah dan
siapa yang menjadi presiden."
Gereja, buruh yang terorganisasi, para usahawan, kalangan
cendekiawan, dan anggota DPR, ikut bergabung dalam gerakan.
Maka di Juli 1921, AS menyebarkan undangan konperensi, yang
diselenggarakan di Washington, untuk pembatasan persenjataan AL
serta sebab-sebab kegawatan di Asia. Di samping kelima peserta
yang sudah disebut sebenarnya disertakan juga empat negeri lain:
satu Asia (Cina) dan tiga yang ada kepentingannya dengan Asia:
Belanda, Portugal, dan Belgia. Jadi, keseluruhannya ada sembilan
negara peserta. Presiden Harding mengangkat Menteri Luar Negeri
Charles Evans Hughes sebagai ketua delegasi.
Rekomendasi pertama datang dari Dewan Jenderal AL-AS. Kelompok
penasihat ini, umumnya terdiri dari para laksamana senior,
menginginkan AS memperkukuh kembali -- bahkan meningkatkan --
pembangunan AL, sebagai persyaratan awal untuk maju ke meja
perundingan.
Hughes menolak. Bekerja secara rahasia dalam kelompok kecil
perwira muda AL, dan berkonsultasi dengan para anggota delegasi
AS, ia malah memutuskan untuk mengajukan usul yang ternyata
lebih radikal dari resolusi Senator Borah. Isinya: pengurangan
besar-besaran kekuatan kapal perang dari tiga negara utama dan
pembekuan pembangunan baru AL selama 10 tahun.
Presiden Harding menerima usul tersebut. Juga setuju hal itu
akan diumumkan Hughes pada hari pertama konperensi. Hughes boleh
jadi yakin usulnya akan diterima negeri-negeri lain -- berbeda
dengan seluruh anggota delegasinya. Senator Henry Cabot Lodge
bahkan mendukung rencana itu karena ia percaya bahwa Inggris dan
Jepang pasti akan menolak. Aneh juga. Pemerintah AS, setelah
menunjukkan "kesetiaannya" kepada khalayak dan Congress, kini
dengan leluasa dapat meneruskan pembangunan AL-nya. "Presiden
Harding sendiri berniat serupa," komentar Smith.
Pada bulan November 1921, konperensi pembatasan persenjataan AL
bersidang di kompleks Gedung Revolusi Amerika di 17th Street,
Washington. Beratus orang penting dan wartawan menyumpal di
panggung penonton. Pada 12 November itu Menteri Luar Negeri
Hughes bangkit dari kursinya, dan sesumbar:
"Perlombaan persenjataan harus berhenti," serunya bersemangat.
"Kita tidak boleh terlalu mengumbar diri dengan tilikan,
pengumpulan data statistik, laporan dan omong kosong sok tahu.
Telah datang waktunya untuk lebih bersungguh-sungguh, dan untuk
itu konperensi ini diadakan. Bukan untuk resolusi-resolusi yang
bersifat umum atau mempertukarkan nasihat, tapi untuk suatu
tindakan .... Hanya ada satu jalan keluar yang patut dan wajar,
yaitu mengakhiri perlombaan senjata sekarang juga ...."
Lalu muncul perinciannya. Tiga kekuatan utama -- AS, Inggris,
dan Jepang- masing-masing akan meniadakan separuh dari sekitar
70 kapal perang, yang sedang dibangun atau direncanakan. Dalam
masa sepuluh tahun tidak boleh ada pembangunan baru ataupun
modernisasi kapal. Pada akhir masa sepuluh tahun, pembuatan
kapal perang baru diizinkan -- kalau kapal-kapal tua sudah
dihapus.
Kemudian, tidak sepotong kapal pun boleh melampaui ukuran di
atas 35 ribu ton. Tak boleh sepucuk senjata berada di atas
kaliber 16 inci untuk diameter moncongnya. Tonase keseluruhan
kapal-kapal besar -- di atas 10 ribu ton -- sendiri menempatkan
AS dan Inggris pada posisi sepadan, sementara Jepang 60% dari
tonase kedua negara itu. Rasionya adalah 5:5:3.
Para delegasi lain tentu saja terperangah dengan usul yang
dinilai berani itu. Juga dengan sambutan hangat dari seluruh
dunia. Minggu-minggu tawar-menawar yang alot berlangsung.
Beberapa perubahan dilakukan terhadap usul aslinya. Prancis dan
Italia tidak diminta menghapus kapal-kapalnya yang ada, dan
diperbolehkan memiliki tonase sepertiga dari milik AS dan
Inggris.
Sebagai suatu konsesi terhadap Jepang, yang diperlukan untuk
memenangkan persetujuan, AS dan Inggris sepakat tidak mendirikan
pangkalan-pangkalan baru di barat Hawaii atau di timur
Singapura. Dan ini menjamin superioritas Jepang di Pasifik
Barat, menurut Smith. Kapal-kapal swasta berikut pembatasan
tonasenya juga disesuai kan dengan ketentuan yang berlaku
terhadap kapal pengangkut pesawat udara. Lalu persetujuan
ditandatangani.
Sementara itu, Inggris dan Jepang sepakat mengganti perjanjian
kerja sama mereka dengan persetujuan antarempat kekuatan --
Jepang, AS, Inggris, dan Prancis. Di sini mereka bersetuju
saling berkonsultasi dalam setiap pertikaian paham di kawasan
Pasifik.
Konperensi ini, kata Presiden Harding pada pidato penutupan,
"menandai awal era baru yang lebih baik . . . pernyataan
kekuatan besar yang pertama kali dan paling efektif . . .
terhadap kesiasiaan perang yang mahabesar."
Masa 10 tahun larangan membikin kapal dinilainya tepat. Pada
1970 sistem perimbangan yang diterapkan meningkat ke kapal
perang biasa dan penjelajah, ukuran maksimum 10 ribu ton, dengan
diameter moncong meriamnya hanya delapan inci.
Tetapi keadaan mulai menghambat menjelang Perang Dunia II.
Jepang diam-diam menarik diri dari persetujuan pembatasan
peralatan AL itu sejak 1934. Tujuh tahun kemudian terjadi
pemgeboman Pearl Harbour yang mengejutkan. Perang Dunia II
benar-benar sudah di ambang pintu. Persetujuan Washington
dirancang, sebagai upaya pencegahan.
Banyak rakyat Amerika yakin, penandatanganan persetujuan itu
bisa menimbulkan anggapan, AS telah campur tangan di kawasan
Pasifik. Dan ini dapat mengundang invasi Jepang. "Pada 1946,
Presiden Harry S. Truman berkata, perjanjian pembatasan
persenjataan AL itulah biang pecahnya Perang Dunia II ," tulis
Smith lebih jauh.
Kaum "realis" turut mengumandangkan tafsiran suram Truman.
Mereka menyebut, kesepakatan 1922 itu hanya memojokkan
pengawasan total penggunaan senjata dan berdalih: kekuatan
adalah jalan menuju keselamatan. Persetujuan itu dianggap tidak
fair.
Persetujuan 1922 itu memang tidak memecahkan semua masalah,
komentar penulis karangan ini. "Tapi mampu mengembangkan iklim
yang baik di bidang ekonomi dan politik. Soalnya kan,
langkah-langkah ini yang tidak dilakukan."
Sisa imperialisme dan kekacauan dalam negeri meramu menjadi
satu, kemudian muncul menjadi masalah gawat di Cina. Kenyataan
inilah yang konon mengentuti harapan persetujuan 1922, dan
membuka pintu bagi invasi Jepang di sana. Pada saat yang sama,
AS memelopori kenaikan tarif angkutan, disusul pengusiran
imigran Jepang pada 1924 -- tindakan rasial yang pahit. Setelah
1924, kegawatan yang ditimbulkan oleh resesi dunia mendorong
kelompok pemimpin yang agresif dan pendek akal di Tokyo dan
Berlin untuk merebut kekuasaan.
Bagaimanapun, persetujuan Washington memang dibayang-bayangi
Perang Dunia II -- dan upaya untuk mencegahnya. Tetapi ini tidak
mengurangi minat Amerika untuk menggarap bidang nuklir.
Sesungguhnya banyak hal menyebabkan generasi pendahulu lebih
mudah mengawasi atau membekukan pemakaian persenjataan perang.
Pertama, semua pemerintah berada di bawah tekanan opini publik
-- sementara pendapat umum sendiri berdiri di pihak pembatasan
pemakaian senjata.
Kedua, negeri perunding tidak mengunci diri di dalam "peti"
perang dingin -- atau terperangkap dalam suasana kebencian
ideologis. Perang antara Inggris dan Amerika memang mustahil.
Ketegangan antara Jepang dan AS mereda pada 1922. Tambahan pula,
suasana multilateral perundingan itu sendiri merupakan penyekat
timbulnya antagonisme Jepang-AS.
Dan ketiga, semua pemenuhan keperluan konperensi -- akomodasi
dan makan minum, misalnya -- bukan masalah serius. Karena kelima
negara sokoguru konperensi mencerminkan kerja sama yang baik
dalam menjamin keamanan para penandatangan persetujuan, mencegah
timbulnya godaan untuk berselingkuh atau main curang. Jangan
coba-coba menyembunyikan sebuah kapal perang pun, terutama di
sebuah negeri yang lebih terbuka dari Uni Soviet. Mustahil
membangun sebuah pangkalan AL yang besar dan tak dapat dilacak.
Keempat, kapal perang banyak persamaannya satu sama lain. Para
ahli AL di berbagai negeri, karena itu, dapat memahami mengapa
harus ada pembatasan jumlah kapal.
Kelima, kapal perang nyaris merupakan senjata pamungkas.
Pertama, mereka ampuh untuk menghancurkan kapal perang lain. Ia
bukan senjata pembantaian massal.
Dan keenam, AL-AS pada 1921 masih kecil pengaruhnya di Pentagon,
ketimbang sekarang. Ketika 'dewan jenderal' AL pada 1921
ditolak, para laksamana cuma mampu angkat bahu, kemudian terdiam
di pojok.
Meskipun semua ini merupakan faktor hitungan, tetap masih
banyak persamaan antara upaya pembatasan pemakaian senjata dulu
dan sekarang. "Selama mereka tidak mengancam keberlangsungan
kehidupan di bumi, mereka tidak akan menjadi ancaman bagi
keberlangsungan bangsa-bangsa," tulis Smith.
Kini, beberapa di antara mereka yang mengatakan ingin adanya
pengurangan senjata nuklir juga berkata bahwa AS pertama-tama
harus memperbanyak senjata strategisnya. Ini, kata mereka, agar
AS memiliki kekuatan di dalam perundingan atau secara
blak-blakan, agar dapat mengintimidasi pihak lain untuk
mengadakan pengurangan.
Saat ini, seperti di tahun 1922, kita juga memiliki pihak yang
berpendapat bahwa untuk mengurangi bahaya perang nuklir setiap
negeri harus menghentikan pacuan senjata. Yaitu berupa
pembekuan, penghentian sekarang juga, kemudian beralih ke
masalah paling serius di bidang pengurangan pembuatan senjata.
Perbedaan pendapat yang sama juga muncul pada 1921 itu. Tetapi
kemudian khalayak umum dan desakan Congress berhasil menekan
pemerintahan Harding untuk memilih beleid penghentian perlombaan
senjata.
Pada 1921, inisiatif ke arah pengawasan senjata datang dari
Congress dan khalayak umum, memang. Mulanya, pemerintahan
Harding mencoba bersikap keras. Ternyata tidak bertahan lama,
karena ia segera melihat di mana kepentingan politik
sesungguhnya terletak. Maka Presiden Harding segera
memerintahkan diadakannya konperensi. Proses demokrasi berjalan.
Apa yang berlangsung sekarang juga mirip. Pendapat umum dan
tekanan Congress berpengaruh terhadap pemerintahan Ronald
Reagan. Tidak secepat dan sebegitu menentukan seperti terhadap
Harding, namun cukup berjalan.
Tanpa tekanan publik, DPR AS (Congress) tidak kuasa menelurkan
resolusi pembekuan senjata nuklir. Pemerintahan Reagan sendiri
sempat mengadakan permainan tarik tambang dengan Uni Soviet
berkenaan dengan perjanjian pembatasan pemakaian senjata nuklir.
Masing-masing mengancam akan memasang sistem rudal
antibalistiknya. Itu siasat saling menggertak sebelum duduk
bersama di meja perundingan.
Mungkin tidak akan ada hasil dari rangkaian perundingan di
Jenewa, dan sistem "kemasan padat" rudal MX tampaknya mencapai
hasil. Mungkin tidak akan ada tanda tangan Senat tantangan
kelayakan pencalonan Kenneth L. Adelman -- seorang pejabat yang
tanpa pengalaman khusus di bidang pengawasan senjata -- sebagai
kepala Lembaga Pengawasan dan Perlucutan senjata.
Ketika pemerintahan Harding dulu menyiapkan posisi AS untuk
konperensi, mereka memperagakan campuran ketulusan itikad
perlucutan senjata dengan kehendak mengalihkan tanggung jawab
kegagalan kepada negara lain. "Untungnya, Menteri Luar Negeri
Hughes yang menanganinya," tulis Smith di akhir ulasannya.
Perbawa intelektualnya dan integritas moralnya konon membawa
pengaruh baik di hari-hari perundingan. "Pelajaran pertama:
Kepada siapa presiden mempercayakan tanggung jawab pengawasan
persenjataan, membawa perubahan," kata Smith.
Menurut Smith, perjanjian pembatasan yang pertama itu menemui
kegagalan karena para pemerintah tidak memanfaatkan kesempatan
itu sebaik-baiknya. Mereka juga tidak menyadari bahwa
persetujuan pengawasan persenjataan harus terus menerus
dikembangkan dan ditingkatkan. "Ini juga pelajaran berharga dari
perjanjian perlucutan senjata yang pertama," katanya.
Sejarawan berkewajiban mengulas pelajaran dari sejarah yang
tidak diberikan oleh sejarah itu sendiri, masih menurut Smith.
"Analogi yang sederhana dan digampangkan, berbahaya," katanya.
Misalnya, membandingkan seenaknya antara Hitler dengan
kepemimpinan Uni Soviet sekarang ini. Atau mempersamakan antara
peredaan dan kampanye pembekuan senjata.
"Salah dan menyesatkan untuk menyatakan bahwa perlucutan senjata
pertama, 1922, sebagai pedoman yang sekarang. Di pihak lain,
juga keliru untuk menyatakan perjanjian perlucutan senjata 1922
itu sebagai sama relevan atau sama pentingnya. Atau sebagai
satu-satunya contoh ketololan pengawasan persenjataan."
Ia lalu menilai, bahwa perlucutan senjata yang pertama itu
adalah suatu prestasi -- dari segi isi maupun caranya. "Itu
adalah contoh soal pertama proses cara kerja yang demokratis di
bidang pengawasan persenjataan. Itu suatu hal yang pantas untuk
diingat dan dipelajari".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini