SEAKAN sudah mutlak bahwa target penerimaan pajak tiap tahun harus naik. Dalam RAPBN 1994/1995, penerimaan dari pajak mencapai Rp 40 triliun lebih (hampir 70% dari anggaran), atau naik 18,4% dari anggaran sebelumnya. Tapi bagaimana mencapainya? Tentu, Dirjen Pajak Fuad Bawazier akan diuji kemampuannya. Seperti para pendahulunya, Fuad ternyata tak kehabisan ide untuk menggali potensi pajak yang masih cukup besar. "Dengan segala keterbatasan, kita akan menggali potensi itu," katanya. Bagaimana kiat-kiat menggali potensi pajak, terungkap dalam wawancaranya dengan Bambang Aji dari TEMPO, Jumat pekan lalu. Kutipan wawancara itu: Apakah target pajak kali ini tidak terlalu ambisius? Bagaimana mencapainya? Ada tiga hal yang mendukung target itu. Pertama, data selama ini menunjukkan bahwa penerimaan pajak kita dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi. Data ini kita ambil hampir lima Pelita. Penerimaan pajak mempunyai korelasi yang sangat kuat dengan pertumbuhan ekonomi. Korelasinya positif dengan elastisitas kira-kira satu. Jadi, kalau ekonomi tumbuh 7%, kira-kira tambahan penerimaan pajak sebesar itu juga. Variabel lainnya? Penerimaan pajak juga mempunyai korelasi dengan tingkat inflasi. Dalam inflasi di sini terkandung juga ekspansi kredit (penambahan suplai uang). Inflasi mempunyai elastisitas 1 terhadap pajak. Jika inflasi, misalnya 10%, pengaruhnya terhadap pajak juga sekitar itu. Variabel lain, coverage ratio -- kepatuhan Wajib Pajak (WP), aparat, pemahaman peraturan -- di kita paling tinggi cuma 60%. Dari ketiga variabel tadi, apa yang bisa disimpulkan? Kalau pertumbuhan ekonomi bagus, penerimaan pajak bisa diharapkan bagus. Tanpa pertumbuhan ekonomi, penerimaan pajak akan kacau. Jika penerimaan pajak kacau, unsur untuk pemerataan dan keadilan akan semakin sulit. Jadi, bila ada yang mengatakan bahwa tidak perlu pertumbuhan asalkan ada pemerataan, itu nonsens. Kita perlu pertumbuhan untuk dijadikan alat bagi pemerataan. Tadi dikatakan coverage ratio hanya 60%. Bagaimana meningkatkannya? Coverage ratio akan kita tingkatkan dengan penyuluhan dan meningkatkan law enforcement. Selain itu, akan kita tingkatkan pula pemeriksaan, baik audit maupun pull audit. Kita akan memperluas coverage ratio dengan withholding. Artinya, WP dipungut pajaknya ketika ia sedang menerima uang. Katakanlah, ketika ia lagi senang. Apakah semua itu bisa dilakukan tanpa mengubah UU Perpajakan? Benar. Semuanya bisa dilakukan tanpa mengubah undang-undang. Tapi, seperti Anda ketahui, Menteri Keuangan dengan DPR sudah sepakat untuk menyempurnakan undang-undang pada tahun anggaran 1994/1995. Termasuk penyempurnaan tarif. Jawaban Anda ini seperti aba-aba bahwa tarif pajak akan dinaikkan. Terus terang saja, kita tidak berpikir untuk menaikkan pajak. Yang akan kita lakukan adalah mempertajam, antara lain, cara pemungutan. Contohnya, withholding yang akan diberikan cantolan lebih kuat. Mengapa? Karena pertumbuhan ekonomi dalam 10 tahun terakhir ini agak fantastis. Sehingga undang-undang yang relatif baru, termasuk perpajakan, kedodoran. Apa yang mendesak sehingga perlu menyempurnakan UU Perpajakan? Untuk lebih menjamin pemungutan capital gain, baik dari hasil penjualan saham maupun tanah dan bangunan. Sejalan dengan perkembangan dunia usaha, perdagangan saham di pasar modal meningkat, begitu pula transaksi tanah dan bangunan. Maka diperkirakan, potensi penerimaan PPh dari capital gain cukup besar dan prospeknya dalam jangka panjang cukup cerah. Saya kira di Indonesia saat ini ada sekitar 100.000 transaksi tanah dan gedung. Pemungutan pajaknya akan kita coba di muka. Apa nanti tidak akan terjadi pajak berganda? Oh, tidak. Seperti saya jelaskan, withholding tax merupakan pembayaran pajak di muka. Kalau menunggu sampai 31 Maret, ya, WP bisa macam-macam. Di Amerika, sistem withholding mencapai 95% dari penerimaan pajak. Jadi, kita perlu mempertajam sistem ini. Kita sudah lakukan di Bulog, misalnya. Para penyalur gula dan tepung terigu, ketika menebus barangnya di Bulog, langsung dikenai PPh. Mengapa? Karena keuntungannya sudah kelihatan. Kalau dilihat perbandingan PPh dengan GDP, sekitar 6,2%, potensinya memang masih ada. Tapi, apakah aparat Ditjen Pajak siap untuk menggali potensi itu? Memang, kendala intern masih ada. Tapi dengan kendala itu, kita tetap ingin berusaha sebaik-baiknya. Terus terang saja, kita kekurangan tenaga audit. Kita juga masih kekurangan peralatan, seperti komputer. Jangan dikira, Ditjen Pajak mendapat fasilitas khusus. Oleh karena itu, sambil berjalan semuanya ini akan kita lengkapi. Misalnya? Kita akan menambah 20-an kantor pelayanan pajak (KPP), terutama di kota-kota besar. Komputerisasi selambat-lambatnya 1 April sudah mulai jalan. Kini tenaganya ada 1.000 orang, sedang dilatih. Setengah dari tenaga itu akan kita tempatkan di Jakarta, sisanya disebar ke daerah-daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini