Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

RAPBN 1994/95 plus bantalan pengaman

RAPBN 1994/95 agak istimewa, karena laba minyak ditargetkan cukup besar. sebaliknya, anggaran iptek sangat terkendali. kendati anggaran belanja membesar, peran pemerintah untuk pembangunan semakin berkurang. tab.

15 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ATRAKTIF, kontraktif, tapi mendebarkan. Itulah kesan utama, setelah menyimak dengan saksama isi pidato Presiden Soeharto pada pembukaan masa persidangan para wakil rakyat di DPR-RI, 6 Januari lalu. Dalam pidato tersebut, Kepala Negara mengusulkan Rancangan Anggaran Pembangunan & Belanja Negara 1994/95 serta Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) VI yang akan berlangsung 1994/95 - 1998/99. Yang atraktif adalah lunturnya kesan umum sepanjang tahun lalu, bahwa Kabinet Pembangunan yang baru akan sangat dipengaruhi Menristek B.J. Habibie. Ternyata, RAPBN 1994/1995 dan Repelita VI tersebut tidak mencerminkan besarnya peranan Habibie. Anggaran pembangunan untuk Repelita VI (1994/95 - 1998/99), seperti diungkapkan dalam buku Data Dasar Dan Sasaran Pokok Pembangunan, yang diterbitkan Bappenas, bernilai Rp 175,9 triliun atau naik sekitar 74% dibandingkan dengan Pelita V. Jika ditinjau bidang-bidang yang akan meningkat anggaran pembangunannya adalah sektor pos dan telekomunikasi, agama, pengairan, hukum, penerangan dan komunikasi, pembangunan daerah, kesejahteraan sosial/wanita/kesehatan, aparatur negara, perdagangan, pariwisata, energi, kependudukan, dan transmigrasi. (Lihat tabel 2). Yang aneh adalah anggaran pembangunan di sektor pengembangan sumber daya manusia (pendidikan) serta ilmu pengetahuan dan teknologi hampir-hampir tidak menunjukkan kenaikan. Padahal, "Ini kan sektor-sektor yang berada di bawah payung Menteri Ristek B.J. Habibie," kata Dr. Sjahrir. Serentak dengan itu, anggaran pembangunan untuk sektor-sektor riil mengalami penurunan drastis dibandingkan dengan Pelita V. "Anggaran untuk sektor industri susut 17%, pertambangan susut 53%, pertanian dan kehutanan susut 28%," demikian pemantauan Dekan FEUI, Prof.Dr. Arsyad Anwar. Yang mencolok barangkali dalam Repelita VI adalah anggaran untuk bidang yang dibawahkan oleh Harmoko. "Barangkali karena Pak Harmoko adalah Ketua Golkar, maka anggaran pembangunan penerangan dan komunikasi meningkat tinggi dalam Repelita VI," kelakar Arsyad. Menteri Penerangan Harmoko tampak kaget, kemudian tertawa ketika ditanyakan soal itu. Apakah kenaikan anggaran Departemen Penerangan karena Menpen sekarang Ketua Golkar? "Ndaaak... ndaak ... nggak ada hubungannya," jawab Harmoko, sambil terus tertawa di hadapan beberapa pemimpin redaksi yang mengikuti penjelasan RAPBN di gedung Deppen, pekan lalu. "Untuk apa dananya, itu sudah tertulis dalam daftar anggaran sub-sektor. Saya nggak hafal, tapi kita memang akan memperluas jangkauan radio dan televisi," ujarnya kepada Rihad Wiranto dari TEMPO. "Kalau diperhatikan, maka Repelita VI akan memberi fokus pada pembangunan prasarana, desentralisasi, dan pemerataan," kata Mari Pangestu. "Ini agaknya sejalan dengan anjuran Bank Dunia dalam sidang CGI tahun 1993," tambahnya. Tapi, yang mendebarkan dalam RAPBN 1994/1995 adalah karena harapan pemerintah dari beberapa pos penerimaan terkesan kurang meyakinkan. Patokan penerimaan dari pajak minyak, misalnya. Kendati harga minyak di pasaran dunia pada bulan Januari ini cuma berkisar US$ 13, pemerintah berani memasang harga minyak US$ 16 per barel, untuk sepanjang tahun anggaran dari April 1994 sampai dengan Maret 1995. Patokan harga minyak yang dianggap kelewat tinggi ini telah menimbulkan kehawatiran di kalangan pengusaha, jangan-jangan sejarah tahun 1986 akan kembali berulang. Harga minyak jatuh, disusul devaluasi. Jadi, apakah ada kemungkinan devaluasi? "Sekarang ini kalau devaluasi, maka anggaran pemerintah yang akan bertambah parah," kata pakar ekonomi Arsyad Anwar. Soalnya, menurut Arsyad, pos pembayaran utang luar negeri disisi kanan lebih besar daripada pos penerimaan pajak minyak dan gas di sisi kiri. "Kalaupun harga minyak jatuh rata-rata 2 dolar di bawah perkiraan RAPBN, sakitnya tidaklah separah tahun 1986, ketika harga minyak dipatok US$ 21, sedangkan kenyataannya jatuh sampai US$ 10 per barel," kata Dr. Mari Pangestu, pengamat ekonomi dari CSIS. Apalagi sekarang ini, pemerintah masih menyimpan CAP (cadangan anggaran pembangunan) lebih dari Rp 3 triliun yang diperoleh pada tahun 1991 dan 1992 ketika harga minyak lebih tinggi dari APBN. Selain itu, pemerintah juga sudah mempersiapkan bantal penerimaan dari penjualan BBM (bahan bakar minyak) dalam negeri. Yang penting diingat juga ialah, bahwa ketergantungan APBN dari minyak kini sudah sangat berubah. "Pada tahun 1986, 70% penerimaan negara dari minyak," kata Menteri Koordinator Ekonomi dan Keuangan, Prof. Dr. Saleh Afiff. Dewasa ini volume bersih ekspor migas sekitar 380 juta barel. Sehingga, kalau misalnya harga minyak turun 3 dolar, maka penerimaan pemerintah dari pajak migas akan susut kira-kira Rp 2,3 triliun (380 juta X 3 X Rp 2.100). Tapi, menurut Menko Eku, pemerintah yakin harga minyak tidak akan anjlok sebegitu drastis. "Saya kira OPEC tidak akan diam saja dengan harga US$ 14 per barel," Afiff meramalkan. Kendatipun harga minyak di pasaran dunia kini rendah, harga BBM di dalam negeri tampaknya tak akan diturunkan. Ini pun akan merupakan bantalan bagi target pendapatan minyak. Pertamina diharapkan akan untung besar dan menyetor laba bersih minyak sebesar Rp 2,5 triliun. Sedangkan di sisi pengeluaran, pemerintah sejak tahun lalu sudah tak perlu menyiapkan anggaran subsidi BBM. Jadi untuk soal harga minyak ini pengusaha tak perlu risau, dan pemilik duit tak perlu berdebar-berdebar bahwa nilai rupiah akan anjlok drastis. Prof. Arsyad bahkan berpendapat, bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar tahun ini mestinya diperlemah. Menurut perhitungan TEMPO, nilai rupiah terhadap dolar Amerika tahun 1992 cuma melemah sekitar 2,18%. "Jika Indonesia masih tetap mengandalkan ekspor nonmigas, maka nilai tukar rupiah masih perlu diperlemah sekitar 5% per tahun," kata Arsyad. "Depresiasi rupiah 5% itu sudah berlebihan. Nanti yang akan kena adalah biaya produksi. Jadi yang wajar ya sekitar 3%. Tapi itu baru perkiraan. Kita perlu memantau perkembangan negara lainnya," ujar Menko Eku menanggapi pendapat Prof. Arsyad. Menurut Afiff, dewasa ini tidak relevan untuk melakukan devaluasi. Devaluasi tahun 1986 itu bukan karena jatuhnya pendapatan pemerintah dari minyak, tapi karena kurs dolar di pasar internasional yang bergerak. "Ketika itu nilai rupiah terhadap dolar sudah over valued sehingga tidak kompetitif bagi eksportir kita. Devaluasi itu jarang sekali digunakan untuk membiayai anggaran. Devaluasi dilakukan mendorong ekspor," kata Afiff. Prof. Arsyad juga melihat kejanggalan lain dalam target penerimaan pemerintah dari pajak di dalam negeri. "Kalau kita main dengan angka-angka pajak, semua buku teks tak akan jalan," kata Dekan FEUI ini. Ia memperkirakan bahwa perdagangan dalam negeri serta permintaan impor akan meningkat cukup pesat tahun ini. "Jadi, mestinya penerimaan pemerintah dari PPN (pajak pertambahan nilai) dan BM (bea masuk) mestinya bisa diharapkan akan naik tinggi," kata Arsyad. Tapi yang mengherankan, target kedua pos tersebut tidak diharapkan bakal naik besar. PPN diharapkan naik 13,3 % dan BM naik 10,9%. Pemasukan dari PPh (pajak penghasilan) justru akan digenjot secara dahsyat, dengan target naik sampai 26,9%. Konon ada kekeliruan dalam penyusunan RAPBN tadi. Semula PPN yang diharapkan naik lebih tinggi dari PPh (pajak penghasilan). Namun, pemerintah boleh jadi sengaja memutar target penerimaan PPN dan PPh. Dengan target PPn rendah sedangkan kalau realisasinya tinggi, maka RAPBN itu setidaknya sudah mempunyai peredam kejutan kalau harga minyak jatuh. Selain itu, dengan menargetkan penerimaan PPh lebih tinggi, maka aparat pajak di bawah komando (Dirjen Pajak) Fuad Bawazir akan terpacu untuk bekerja keras. Kalau dilihat penerimaan PPh yang baru 6,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB), sementara di negara-negara tetangga sudah lebih tinggi, maka peluang memang ada. "Potensi memang ada. Saya kira 20% penduduk Indonesia sudah mampu membayar PPh," kata Arsyad. Dengan syarat, tambah Arsyad, "Perlu perbaikan aparat perpajakan, pembukuan dunia usaha dirapikan, serta lawenforcement" Pos-pos penerimaan pemerintah yang tampak memprihatinkan adalah pajak ekspor dan pajak lainnya. Pajak ekspor diperkirakan turun 45,3%, pajak lainnya turun 22,6%. Sedangkan cukai tampaknya mulai kehilangan daya sedotnya. Dalam RAPBN mendatang, cukai dipungut dari kalangan perokok dan penenggak minuman beralkohol diharapkan cuma akan naik 5%. Rendahnya target kenaikan cukai itu boleh jadi karena lesunya industri kretek akibat harga cengkeh yang mahal sejak dimonopoli BPPC. Menko Eku Saleh Afiff mengakui bahwa setoran cukai industri kretek pada umumnya, kecuali Gudang Garam, tahun lalu mengalami penurunan. Industri minuman bir, sebaliknya tampak sedang berbusa. Keuntungan PT Multi Bintang Indonesia, misalnya. Laba perusahaan ini tahun 1993 naik 60% dibandingkan dengan tahun 1992. Menurut Tanri Abeng, Presiden Komisaris PT MBI, itu karena pada tahun 1992 terjadi penurunan konsumsi bir. "Tahun 1993 tidak ada perubahan harga sehingga produk naik 17%," kata Tanri lagi. Konsekuensinya, laba MBI melonjak yang tentu saja diikuti kewajiban membayar pajak serta cukai yang naik sampai di atas 50%. Tahun 1992 PT MBI membayar pajak dan cukai Rp 80 miliar, sedangkan tahun 1993 sebesar Rp 120 miliar. Tahun 1994 ini MBI menargetkan kenaikan 6% saja. Tapi kalau pemerintah mau, sebenarnya penerimaan cukai minuman beralkohol masih bisa diperbesar. "Minuman beralkohol di luar bir itu tidak kena cukai. Padahal kadar alkoholnya 3-4 kali bir," ungkap Tanri. Itu semua tadi segi-segi yang mendebarkan dalam RAPBN. Bahwa bujet ini bersifat kontraktif, memang bukan hal baru lagi. Sejak beberapa tahun berselang, pajak serta cukai yang dipungut pemerintah dari masyarakat sudah lebih besar dari anggaran yang dicucurkan kembali di dalam negeri. Target penerimaan pemerintah dari dalam negeri (dalam bentuk pajak, cukai, serta penerimaan pajak lainnya) berjumlah Rp 46,8 triliun. Sedangkan dana yang akan dicucurkan pemerintah di dalam negeri jumlahnya hanya Rp 40 triliun lebih. Kendati RAPBN tadi bersifat kontraktif, kalangan pengusaha, khususnya mereka yang menjadi rekanan kontraktor proyek dan pemasok barang untuk instansi-instansi pemerintah, boleh bersukacita. Sebab anggaran pengeluaran sebesar Rp 40 triliun jelas merupakan pasar yang tidak kecil. Itu terdiri dari pos-pos belanja pegawai dan belanja barang serta subsidi bagi daerah otonom, kesemuanya mencapai Rp 23,5 triliun. Sedangkan anggaran pembangunan yang berbentuk pembiyaaan rupiah sebesar Rp 17,3 triliun. Kendati kue RAPBN itu sangat besar, perannya dalam investasi untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi ternyata semakin kecil. Menurut Dono Iskandar, Kepala Badan Analisa Keuangan dan Moneter dari Departemen Keuangan , ketergantungan ekonomi kita terhadap APBN makin kecil. Hal itu bisa dilihat dari peran APBN terhadap Produk Domestik Bruto. Kendati tabungan pemerintah dari tahun ke tahun terus memuai, andilnya terhadap investasi negara juga semakin mengecil (lihat tabel). Di tengah angka-angka Repelita VI yang meliputi triliunan rupiah tadi timbul pertanyaan, apakah semuanya akan tersalur secara wajar? Sejak tahun lalu, berbagai pengamat APBN kaget dengan pernyataan begawan ekonomi Prof. Dr. Sumitro Djojohadikoesoemo bahwa 30% dari anggaran pemerintah selama ini bocor. Banyak orang lalu menyimpulkan, kalau begitu korupsi masih begitu dahsyat. Tapi dari mana angka 30% itu diperoleh Sumitro, sampai sekarang belum terungkap. Arsyad Anwar sebagai sesama ekonom di UI memperkirakan, apa yang dimaksud Sumitro bukan cuma soal korupsi satu-satunya. "Bisa saja karena kesalahan pemilihan investasi sehingga tak ada hasil (output). Yang kedua, mungkin saja karena ada hambatan dalam pembangunan proyek atau investasi tak selesai," katanya. Prof. Dr. Saleh Afiff juga mengatakan demikian. Ia mengaku, ketika masih menjabat Ketua Bappenas, sudah mendengar pernyataan Sumitro tentang kebocoran 30% itu. Dari mana angka itu, tak dijelaskan. "Perkiraan saya, pengertian kebocoran itu adalah proyek dilaksanakan tidak secara efisien. Misalnya proyek yang mestinya selesai 5 tahun, molor jadi 7 tahun," kata Afiff. Tak mungkin dari korupsi? "Mas, dana pembangunan sebesar Rp 27 triliun kalau bocor 30% (Rp 8 triliun), pembangunan tak akan jalan," ujar Menko Eku memperingatkan. Kalau begitu, hubungannya barangkali ke ICOR (incremental capital output ratio) atau perbandingan tambahan modal terhadap pertambahan produksi. ICOR yang semakin tinggi pertanda ekonomi tidak efisien. Oleh karena itulah, maka Presiden mencanangkan efisiensi harus terus ditingkatkan. Contoh-contoh inefisiensi pembangunan dipaparkan seorang pejabat pemerintah sebagai berikut. Misalnya pembangunan proyek pembangkit listrik Paiton. Desain mesinnya tiba-tiba diubah oleh pimpinan proyek (pimpro) sehingga menjadi lebih mahal. Akibatnya, konsorsium kreditur tak bersedia mencairkan dananya, bahkan konon sudah mengancam akan menuntut pimpinan proyek di pengadilan. Contoh lain ialah terhambatnya sejumlah proyek PTP. "Bahwa banyak proyek pembangunan molor, itu juga tercermin pada piutang pemerintah di BUMN-BUMN," kata seorang pejabat. Masalahnya, kata sumber tadi, tanggung jawab inefisiensi ini di tangan siapa?Max Wangkar, Bambang Aji, Bina Bektiakti TB 1 ------------------------------------------------------------- . Perbandingan Sumber Pembiayaan . Dalam Repelita I s/d Repelita V -------------------------------------------------------------- . R E P E L I T A -------------------------------------------------------------- . I II III IV V -------------------------------------------------------------- . Jumlah 1.420 9.239 43.097 145.225 239.100 (miliar rupiah) -------------------------------------------------------------- Peran: Tabungan Pemerintah 15,9% 45,4% 29,3% 34,1% 19,7% Tabungan Masyarakat 25,4% 43,2% 49,3% 42,7% 56,8% Dana LN (netto) 58,7% 11,4% 21,4% 23,2% 23,5% -------------------------------------------------------------- . SUMBER: REPELITA TB 2 ---------------------------------------------------- . Prioritas Pembangunan Untuk . Untuk Repelita IV ---------------------------------------------------- Yang naik di atas rata-rata 1. Pos & Telekomunikasi 375% 2. Agama 304% 3. Pengairan 215% 4. Hukum 207% 5. Penerangan & Komunikasi 150% 6. Pembangunan Daerah 128% 7. Kesejahteraan Sosial, Wanita, Kesehatan 119% 8. Aparatur Negara 108% 9. Perdagangan 106% 10. Pariwisata 105% 11. Energi 86% 12. Kependudukan 77% 13. Transmigrasi 76% Yang naik tapi masih di bawah rata-rata 74% 1. Pendidikan 63% 2. Ilmu Pengetahuan & Teknologi 41% Yang turun 1. Industri 17% 2. Pertanian & Kehutanan 28% 3. Pertambangan 53% ---------------------------------------------------- . SUMBER: NOTA KEUANGAN RAPBN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus