Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sebuah langkah menuju otonomi daerah

Anggaran pembangunan daerah tercatat paling besar dibandingkan dengan anggaran sektor lain. isyarat desentralisasi? tapi ini tak akan banyak artinya bila uu perimbangan keuangan pusat dan daerah tak segera disiapkan. tab

15 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LANGKAH pemerintah pusat untuk membagi kekuasaannya kepada daerah kini semakin jelas. Hal itu terungkap dalam pidato Presiden ketika mengantarkan RAPBN (Rancangan Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara) 1994/1995 kepada DPR, Kamis pekan lalu. Dalam anggaran mendatang memang tercermin bahwa pembangunan lebih tercurah pada proyek-proyek daerah. Meskipun dana Inpres untuk tahun anggaran 1994/95 cuma naik 10,6% menjadi Rp 5,3 triliun, Inpres Dati I dan II menunjukkan peningkatan yang lumayan besar. Menurut Presiden, hal itu terjadi karena mulai tahun anggaran pertama Repelita VI, empat program Inpres -- Inpres Penghijauan dan Reboisasi, Inpres Pasar, Inpres Jalan Dati I, dan Inpres Dati II -- dihapuskan dan dananya dialihkan kepada Inpres Dati I dan Dati II. "Hal itu menunjukkan kepercayaan yang besar terhadap aparat di daerah," kata Pak Harto. Inpres Dati I, umpamanya, dalam tahun anggaran mendatang meningkat 55% menjadi Rp 1,2 triliun. Peningkatan itu antara lain karena ada hibah dari Inpres Reboisasi dan Inpres Peningkatan Jalan Provinsi masing-masing sebesar Rp 21 miliar dan Rp 405 miliar. Sementara itu, Inpres Dati II meningkat cukup besar sekitar 135% menjadi Rp 2,4 triliun. Penambahan yang cukup besar itu berasal dari sumbangan Inpres Pembangunan Perumahan Pedesaan (Rp, 18,6 miliar), Inpres Pemugaran Pasar Kecamatan (Rp 5 miliar), Inpres Penghijauan (Rp 82 miliar), Inpres Rehabilitasi SD dan Madrasah Ibtidaiyah (Rp 250 miliar), dan Inpres Jalan Kabupaten (Rp 967,6 miliar). Yang tak kalah menarik, seperti yang dikatakan oleh Ketua Bappenas Ginanjar Kartasasmita, pemberian desentralisasi anggaran itu diikuti pula oleh pemberian wewenang pengelolaan dana yang lebih besar kepada daerah. "Langkah itu memang untuk mengembangkan otonomi daerah," kata Ginanjar Kartasasmita. Namun, menurut Menko Eku & Wasbang Saleh Afiff, bukan berarti peranan pusat sudah habis. Untuk pembangunan jalan yang menghubungkan antara daerah sentra produksi dan pasar, umpamanya, pemerintah pusat masih melakukan pembinaan. "Agar kaitan teknisnya ada, dan pembangunannya sinkron dengan daerah lain," kata Saleh Afiff. Meskipun peranan pusat belum hilang, terobosan ini merupakan lompatan yang luar biasa. Dengan desentralisasi anggaran daerah (provinsi dan kabupaten) maka proyek-proyek di daerah diperkirakan akan lebih efisien. Soalnya, menurut Affif, dengan desentralisasi anggaran, daerah kini dapat mengatur rumah tangganya sendiri hanya dengan sedikit capur tangan pusat. Sebagai contoh, Affif mununjuk Kanwil (kantor wilayah) departemen yang ada di daerah harus mengalami penyesuaian pula. Mereka, kata Afiff, harus berperan sebagai tenaga ahli departemen yang difungsikan membantu gubernur. Artinya, yang akan terjadi adalah penghematan yang cukup besar. Kantor wilayah, yang biasanya sarat dengan pegawai, diharapkan lebih ramping. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Kepala Biro Perencanaan dan Pengkajian Ekonomi Makro Bappenas, Tirta Hidayat. Menurut Hidayat, dengan desentralisasi anggaran, pemerintah daerah dapat menentukan sendiri prioritas pembangunannya. "Dampaknya sangat positif, karena mereka sekarang lebih leluasa menentukan prioritasnya," kata Tirta. Adanya bantuan tambahan itu tentunya akan meniupkan angin segar buat daerah, yang memang sangat tergantung kebijaksanaan pusat. Namun, pakar ekonomi regional, Iwan Jaya Azis, tak merasakan hal yang sama. Diakuinya, secara absolut memang terjadi kenaikan. Tapi, menurut Iwan, yang penting adalah bagaimana sistem alokasi dana itu ke daerah-daerah. "Ini yang belum tercermin dalam RAPBN 1994/95," tandas Iwan. Benar, alokasi bantuan akan dibagikan secara proporsional kepada 27 provinsi berdasarkan luas wilayah. Irian Jaya, yang luasnya 20% wilayah Indonesia, tentu akan menerima tambahan yang paling besar. Selain itu juga, dalam menentukan besar kecilnya bantuan Dati I dan Dati II, pemerintah masih memakai patokan kepadatan penduduk. Dalam pandangan Iwan, jawaban itu mestinya ada dalam Undang- undang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Tanpa undang- undang itu, tidak akan lahir satu sistem pembagian alokasi yang dapat diterima. Soalnya memang, tanpa kepastian mereka mendapatkan uang, bisa dibayangkan betapa sulitnya pemerintah daerah membuat perencanaan. "Bagaimana rencana harus dibuat, tanpa ada kepastian," Iwan kembali mempertanyakan. Selain itu, kemampuan para pejabat dan pegawai daerah juga masih diragukan. Kecenderungan sentralisasi selama ini, dengan dana pembangunan sebagian besar dari subsidi pusat, telah membuat Pemda hanya bertindak sebagai pelaksana. Ini, menurut Iwan Jaya Azis, mengakibatkan aparat Pemda kurang kreatif. "Bahwa ada seribu orang yang dilatih, itu kan cuma di kelas," kata Iwan. Menurut Ketua Pusat Antar-Universitas FE-UNI ini, yang diperlukan aparat daerah adalah pengalaman lapangan. "Jadi, memang harus ada risiko keruwetan," tuturnya. Cuma masalahnya, menurut pakar regional ini, sekarang Pemda belum siap jika diserahi mengelola sumber keuangan atau mengontrol. Karena itu, ia menyarankan agar ada proses belajar kerja untuk para aparat Pemda, yang tentunya bukan cuma di dalam ruangan. Namun, dipihak lain, mampukah pemerintah daerah (terutama Dati II) menjadi daerah otonom sesungguhnya? Terlepas mampu atau tidak, yang jelas, pembangunan di masa yang akan datang memang tampaknya akan makin rumit. "Kompleksitas ini mengharuskan banyak keputusan didelegasikan ke daerah," ujar Emil Salim. Bekas Menteri KLH ini menyinggung banyak hal, termasuk soal kerja sama antara pemerintah daerah dan negara lain. Apa yang dikatakan Emil memang sebagian sudah terbukti. Contohnya Kerja Sama antara Provinsi Riau dan Singapura dan Malaysia (Sijori) atau Provinsi Aceh dengan Malaysia dan Thailand. "Sekarang, sentralisasi bukan lagi soal yang in," lanjut Emil. Maksudnya, jika daerah ingin berkembang, maka jangan hanya terkurung dalam pagar Indonesia. Sebenarnya, soal desentralisasi anggaran ini sudah pula dibahas panjang lebar dalam laporan Bank Dunia untuk CGI 1993. Di situ dikatakan bahwa desentralisasi anggaran secara bertahap sudah diterapkan di Indonesia sejak 1983 dan lebih dimantapkan lagi dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45/1993. Hanya saja, bila dibandingkan dengan negara lain, Indonesia memang agak ketinggalan. Menurut laporan Bank Dunia, secara umum distribusi pertangungjawaban untuk jasa publik masih tetap sebagian besar di tangan pemerintah. Pada tahun 1990/1991, 78% dari pengeluaran pemerintah diatur oleh pusat. Padahal sejak tahun 1988, pemerintah daerah di RRC sudah bisa lepas dari campur tangan pemerintah pusat (lihat tabel). Begitu pun India. Dalam soal desentralisasi, ternyata India lebih maju ketimbang Indonesia. Sampai tahun 1986, negara yang tergolong berpenghasilan rendah ini justru lebih maju karena pemerintah pusat cuma mengendalikan 40% anggaran daerah. Sedangkan 27 provinsi di Indonesia, seperti dikatakan Bank Dunia, sebagian besar anggarannya masih bergantung pada bantuan pusat. Bantuan pemerintah pusat selama ini memang merupakan porsi terbesar keuangan daerah. Kini rata-rata 46% -- malah ada yang 60% -- Anggaran Pemda (APBD) dibantu pusat. Bantuan ini berasal dari sumbangan dan bantuan pemerintah pusat. Sumber penghasilan daerah umumnya datang dari pajak, misalnya, pajak kendaraan bermotor, PBB, bea balik nama kendaraan bermotor, serta berbagai pungutan lainnya. Namun, pemerintah pusat telah melarang pemerintah daerah memungut retribusi untuk komoditi nonmigas, misalnya karet. Padahal, dengan situasi harga minyak seperti sekarang ini (US$ 14 lebih per barel), kemampuan keuangan pemerintah pusat jelas berkurang, yang pada suatu saat akan mempengaruhi besarnya subsidi buat daerah. Jakarta dan beberapa daerah mungkin kekecualian. Ada daerah kaya karena sumber alamnya, mendapat subsidi besar dari pemerintah, tak lain karena pendapatan dari sumber itu masuk ke pemerintah pusat. Ambil contoh Aceh. Bantuan yang diterima provinsi penghasil minyak dan gas alam ini pada tahun anggaran 1992/1993 mencapai 51% dari total APBD-nya (lihat tabel). Sebenarnya, peluang daerah untuk mengumpulkan lebih banyak pendapatan masih cukup besar. "Misalnya lewat intensifikasi pemasukan retribusi daerah," kata seorang pakar ekonomi. Sebab, menurut pakar ini, pemasukan dari sektor tersebut belum intensif, paling-paling hanya mencapai setengah dari yang direncanakan. Nah, terlepas dari segala kekurangannya, desentralisasi anggaran ini setidaknya akan mendampingi desentralisasi yang sudah diberikan oleh Paket Oktober 1993. Dan, seperti yang dikatakan Emil Salim, desentralisasi-desentralisasi ini ibarat gula, yang kelak pasti akan diserbu semut.Bambang Aji, Dwi S. Irawanto, dan Ricardo Indra TB 1 ----------------------------------------------------------- . Perbandingan Anggaran . Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ----------------------------------------------------------- . Andil Daerah . terhadap Total Perbandingan --------------------------------------- Pendapatan & . Penerimaan Pengeluaran Pengeluaran . Pemerintah Pemerintah Daerah ----------------------------------------------------------- INDONESIA 22% 7% 30% RRC 64% 64% 100% KOREA 38% 18% 48% INDIA 54% 35% 60% ----------------------------------------------------------- Indikator tersebut berlaku di Indonesia pada tahun 1990/91, . di RRC tahun 1988, dan di India dihitung rata-rata . tahun 1974-1966 ----------------------------------------------------------- . SUMBER: BANK DUNIA TB 2 ----------------------------------------------------------- . Perbandingan APBD dengan . Penerimaan Subsidi Otonom dari RAPBN . Untuk Provinsi Kaya Sumber Alam . (Khususnya minyak dan kayu) ----------------------------------------------------------- . (Dalam Miliar Rupiah) ----------------------------------------------------------- . 1991/92 1992/93 ----------------------------------------------------------- . APBD SUBSIDI APBD SUBSIDI ----------------------------------------------------------- . 147 49% ACEH 168 51% . 206 7% RIAU 229 7% . 173 26% KAL-TIM 203 27% . 129 59% KAL-SEL 162 57% . 130 28% IR-JA 163 23% ----------------------------------------------------------- . SUMBER: NOTA KEUANGAN RAPBN -----------------------------------------------------------

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus