TIDAK ada yang lebih tepat untuk mengomentari RAPBN 1994-1995, kecuali bahwa anggaran kali ini memenuhi semua syarat fungsi anggaran yang dikenal dalam buku teks. Menurut fungsi anggaran, penerimaan pemerintah akan berdampak kontraksi karena berkurangnya kemampuan masyarakat untuk mengkonsumsi dan menabung. Bagi perusahaan, kontraksi berlangsung karena berkurangnya potensi investasi dan keuntungan perusahaan. Kini lebih dari dua pertiga penerimaan anggaran dari pajak dan pungutan pemerintah lainnya. Ketika kita mengawali APBN anggaran berimbang, kita sudah ditolong utang luar negeri yang tak mempunyai efek kontraktif dalam pasar domestik. Tentu, ketika utang dibayar dalam bentuk pembayaran cicilan dan bunga, anggaran belanja negara terbebani, tapi itu sekadar pengurangan dampak ekspansi dari anggaran. Memang, sejak era deregulasi dampak kontraktif anggaran sudah berlangsung karena struktur anggaran semakin mengacu pada bergesernya penerimaan migas pada penerimaan di luar migas. Tapi, belum pernah persentase penerimaan migas serendah tahun anggaran 1994-1995. Satu lagi dari buku teks, pengeluaran pemerintah yang bersifat ekspansif akan meningkatkan kapasitas konsumsi masyarakat. Dalam RAPBN 1994-1995, meski pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri meningkat setinggi 7,5%, dampak domestik anggaran yang bersifat ekspansif meningkat jumlahnya. Ini terjadi karena rasio utang luar negeri terhadap pengeluaran rutin menurun dari 44% menjadi 41%. Hal lain, data pengeluaran pembangunan menunjukkan beralihnya peran pemerintah dalam bentuk government direct investment. Kini dalam pengeluaran pembangunan APBN yang naik sebanyak 8,6%, terdapat cukup banyak dana disediakan untuk pembangunan infrastruktur, termasuk pengairan dan prasarana jalan yang meningkat 28,2%. Juga terlihat tekanan khusus pada peningkatan penerimaan pemerintah daerah yang ditunjukkan oleh kenaikan program Inpres daerah tingkat II yang melonjak amat besar: dari Rp 1.029,6 miliar menjadi Rp 2.417,8 miliar. Begitu juga Inpres daerah tingkat I, melonjak tajam dari Rp 783 miliar menjadi Rp 1.218,7 miliar. Ditambah penerimaan dari pajak bumi dan bangunan yang meningkat 23,4%, provinsi maupun daerah tingkat II kini amat mungkin mengelola pemerintahan regional secara jauh lebih baik. Dengan begitu Paket Oktober 1993, yang memberikan desentralisasi kepada pemda, diperkukuh prasarananya oleh besarnya alokasi dana dari RAPBN. Menurut buku teks, Pemerintah seyogianya menghindari intervensi langsung melalui penyertaan modal maupun subsidi yang berlebihan dalam berbagai komoditas. Dengan kata lain, bila kita melihat secara terisolasi, RAPBN 1994-1995 adalah perwujudan yang amat baik dari kemampuan teknis ekonomis yang diimplementasikan dalam bentuk kebijaksanaan anggaran. Tapi "cerita" ini tak bisa berdiri sendiri. Artinya, RAPBN ini pun harus dilihat dalam konteks berbagai instrumen kebijaksanaan lain, juga dalam kondisi sistem dan struktur ekonomi Indonesia secara menyeluruh. Dilihat dari ini, yang dianggap terbaik oleh buku teks belum tentu yang terbaik secara politis. Misalnya, peningkatan pajak penghasilan setinggi 26,9% bisa dinilai terlalu tinggi. Hingga semester I tahun anggaran yang sedang berlangsung, target penerimaan pajak penghasilan belum dipenuhi. Memang, melihat potensi pajak yang ada, masih amat mungkin terjadinya lonjakan peningkatan. Namun, di sinilah buku teks keuangan negara mempunyai keterbatasan: tak bisa bergerak sesuai dengan pandangan masyarakat terhadap pemerintah. Tingkat kerelaan masyarakat (individu maupun perusahaan) dalam membayar pajak tergantung sampai seberapa jauh masyarakat menilai pemerintah -- adil, bersih, dan tidak memihak. Sulit dibantah, kendati banyak kemajuan dalam aparat birokrasi kita, pelayanan jasa pemerintahan masih banyak dikritik, oleh masyarakat desa maupun kota. Bahkan, yang disebut sebagai jasa keamanan masih sering disalahartikan sebagai jasa yang mengandung dua makna: dalam arti sebenarnya, dan, ini yang dikhawatirkan oleh masyarakat, bila mereka "diamankan". Ini yang oleh banyak kalangan dikatakan sebagai masalah politik anggaran, yang mencakup upaya melihat hubungan antara pajak dan proses demokratisasi. Kalau ada penilaian tentang demokratisasi di Indonesia saat sekarang, barangkali amat sulit menghubungkan proses demokratisasi, kalau itu ada, dengan peningkatan pembayaran pajak. Dilihat dari instrumen kebijaksanaan yang lain, instrumen anggaran yang demikian baiknya tidaklah bisa "memaksa" peniadaan distorsi yang dimunculkan melalui berbagai macam larangan impor, larangan ekspor, tarif yang amat tinggi di bidang ekspor dan impor, monopoli dan oligopoli, serta penetapan harga sepihak oleh pemerintah dalam berbagai macam produk barang dan jasa. Dalam konteks masih berlangsungnya inefisiensi yang antara lain ditunjukkan oleh tingginya tingkat konsentrasi industri di sektor manufaktur (54% pasar industri manufaktur dikuasai oleh empat kelompok usaha, ini menurut studi Bank Dunia, Juli 1993), serta tingginya tarif efektif proteksi di industri manufaktur (50%, juga menurut studi yang sama), maka APBN seyogianya tidak bersikap "netral". Kisah APBN ini, ujung-ujungnya, adalah satu kata kunci yang tak kunjung pupus: deregulasi. Kalaupun RAPBN 1994-1995 memenuhi harapan dalam tingkat implementasi, dan kalaupun kita bisa mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi 6-7%, janganlah itu diartikan bahwa prospek ekonomi Indonesia menjadi semakin baik di masa depan. Distorsi yang tak kunjung hilang dan telah ditoleransi berpuluh tahun tetap akan menjadi benih yang merusakkan sistem ekonomi. Itu bila kita tidak berhati-hati dan tidak berniat sungguh-sungguh menangani bergeraknya kekuatan dahsyat ekonomi rente yang terus mengakumulasi aset dan penghasilan melalui pasar proteksi. Ekonomi rente mempunyai satu kelemahan: berlangsungnya ketidakefisienan proses pengalokasian faktor produksi dalam sistem ekonomi yang berbenturan dalam gerak ekonomi rente tersebut. RAPBN yang baik ini seyogianya dilihat sebagai langkah awal menuju penghapusan kegiatan ekonomi rente. Tapi bila itu hanya dilihat sekali lagi sebagai upaya "mencuri" napas dan menunda kegiatan distortif, cepat atau lambat berbagai kesulitan ekonomi akan muncul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini