ITULAH ratapan sedih seorang penyair wanita Punjab pada tahun 1947, 37 tahun yang silam. Kini syair itu kembali berdarah layaknya, dan kaum tua dari generasi 1947 bagai memutar kembali rekaman pertunjukan horor. Punjab kembali dibakar kericuhan. Dan masih dengan lagu lama: pemberontakan Kaum minoritas Sikh, yang bukan cuma sengketa politik tapi melibatkan pula ketegangan antar ras dan pertentangan agama - Hindu dan Sikh. Punjab dan sekitarnya - permukiman kaum Sikh terbesar di India - sampai kini masih dicekam rasa takut. Betotan nyawa bisa datang setiap saat. Diburu kecemasan, orang-orang Hindu di perbatasan India itu merasa lebih baik menyingkir ke pedalaman Haryana. Bahkan orang Sikh merasa lebih aman angkat kaki dari kampung halaman. Situasi panas mencapai titik didihnya pertengahan April yang silam, ketika sekelompok pemberontak Sikh - umumnya mahasiswa - turun ke jalan-jalan. Pemerintah India berusaha menekan kericuhan itu dengan kekerasan. Maka jatuhlah korban, yang celakanya diikuti dengan serentetan teror, pembantaian dan pembunuhan yang sudah tidak jelas siapa pelakunya. Pemerintah setempat sendiri sudah tak berdaya mengatasi keadaan, seperti ditulis Shekhar Gupta dalam Indian Today terbitan April lalu. Di kota suci Sikh, Amristar, seorang pemimpin sebuah organisasi Hindu, Harbans Lal Khana namanya, tewas - dibantai, bersama dua polisi pengawalnya. Di Nirankari, empat wanita juga binasa terkena pecahan granat. Sementara itu di Rayya sejumlah besar korban jatuh akibat bom. Pemberontakan terasa kian panas ketika pemimpin Sikh di ibu kota New Delhi, Harbans Singh Machanda, terbunuh - padahal ia dikawal ketat. Huru-hara pun terasa kian kalut, ketika enam peluru menghunjam tubuh penyair dan tokoh Punjab, Dr. Visha Nath Tiwari, di Chandigarh. Sastrawan kenamaan ini diduga dibunuh kaum ekstrem Sikh. Selain diketahui "berkonfrontasi" dengan para mahasiswa (dalam soal ujian), ia dianggap pula terlalu menyanjung Perdana Menteri Indira Gandhi. Oleh sejumlah Sikh ia dianggap penjilat. Tiwari seorang penyair-pengajar dibya yang diakui namanya di seluruh negeri, khususnya di bidang telaah kesusastraan. Dalam konflik Punjab, tokoh moderat ini sebenarnya dikenal sebagai pencipta paham Punjabiat, sebuah konsep baru yang intinya menyarankan keserasian hidup di tengah etos Punjab - yang memiliki berbagai unsur kepercayaan yang berbeda. Konsep ini tentunya tak disukai kaum ekstrem. Pertentangan Tiwari dengan kaum ekstrem jadi lebih tajam ketika pemerintah India melarang organisasi mahasiswa militan Sikh, AISSF. Sebagai balasan atas pelarangan itu, kaum ekstrem mengimbau penggagalan ujian di tiga universitas negeri di Punjab. Tiwari pun terjepit. Ia sama sekali tidak curiga ketika bel di rumahnya berbunyi pada pagi 3 April lalu. Juga ketika dua orang muda Sikh melangkah masuk. Istrinya, Amrit - Kepala Departemen Bedah Gigi Institut Riset dan Pasca-Sarjana Kedokteran - berkata, bukan hal baru mahasiswa dari tempat-tempat jauh datang untuk minta bantuan. Pagi maut itu Tiwari keluar dari kamar tidurnya di lantai pertama. Ia menyapa riang anak-anak muda itu, dan merangkul mereka dengan cara khas Punjab. Tapi apa yang kemudian terjadi? Lima butir peluru menembus tubuhnya. Dan ketika para tetangga memburu masuk, mobil Fiat abu-abu melejit di luar sana, meninggalkan korban. Tiwari penulis Punjab kedua yang tewas di tangan kaum ekstrem. Sebelumnya ada Sumit Singh, redaktur berkala Punjab, Preet Lari. Tapi Tiwari-lah yang membekaskan kesan yang lebih mendalam pada orang Punjab, baik Hindu maupun Sikh Berkata Pengarang Sujan Singh, orang Sikh, "Para teroris bahkan telah mendurhakai ibunya sendiri." Tetapi, para pembunuh itu bagaimanapun telah mencapai maksud mereka - memamerkan bahwa Resimen Dashmesh bukan sekadar macan kardus. Polisi sendiri mulai mendapatkan petunjuk bahwa rentetan pembunuhan itu digerakkan AISSF. Sehari sebelum pembunuhan Tiwari, orang-orang AISSF memang membocorkan soal ujian - mengirimkannya pada para wartawan di Amritsar. Serentak dengan itu mereka juga membakar bagian penyelenggaraan ujian Universitas Guru Nanak Dev (kalangan Sikh) di Amritsar. Di Moga, mereka bertahan selama bermingguminggu. Ketika itu lebih dari 5.000 pengikut AISSF mengadakan aksi pemacetan lalu lintas, dalam upaya menuntut pembebasan enam anggotanya yang ditahan. Tuntutan mereka berhasil. Juga di Baghapurana, polisi terpaksa menukarkan dua tahanan dengan dua agen polisi yang disandera kaum perusuh. Di samping itu tiga universitas negeri di Punjab terpaksa menyerah dan menunda pelaksanaan ujian. Satu-satunya tantangan datang dari perserikatan mahasiswa kiri. Berkata Bant Singh Brar, salah seorang pemimpin mahasiswa kiri, "Kami sudah siap menghadapinya. Tapi Pemerintah sendiri malu-malu." Para pembunuh memang berhasil meraih sasaran tertentu yang bagi mereka penting itu - mengganyang lambang konsep harmoni Punjabiat, yang diperjuangkan mati-matian oleh orang macam Tiwari. Tiwari sering berkata, "Saya bukanlah pengkhotbah lancung kerukunan Hindu-Sikh. Perkawinan saya dengan wanita Sikh adalah sebuah bukti." Tapi ia toh harus mati. *** Sekarang, ketidakmampuan pemerintah India mengendalikan kerusuhan di Punjab dan sekitarnya memang sudah mencapai puncaknya. Mekanisme hukum dan ketertiban umum porak poranda. Tidak pernah, sejak India merdeka, kegawatan negeri begitu menyita perhatian langsung perdana menterinya. Dan tanggapannya, saat mengadakan kunjungan enam hari ke beberapa negara Eropa, bernada murung. "Menyedihkan. Ketika seorang putra India dengan gagah melayang-layang di angkasa luar (dalam pesawat Uni Soviet), beberapa gelintir orang menggelandang di jalan-jalan dalam aksi pembunuhan," ujar Ny. Indira Gandhi. Tapi di Punjab memang hanya sedikit yang mempedulikan lenguhan kebanggaan putri Jahawarlal Nehru kepada astronotnya itu. Ketika Rakesh Sharma, sang astronot, siap meluncur ke angkasa, sebagian besar kota-kota di negara bagian ini sedang dikenai jam malam. Dan di Amritsar sekitar 20 ribu pelayat Hindu justru melanggar jam malam - untuk mengantar jenazah Harbans Lal Khanna ke krematorium kota. Dan itu membuahkan bentrokan dengan polisi . Mendiang Harbans Lal Khanna, yang ini di pihak Hindu, dikenal sebagai tokoh yang acap melontarkan kecaman tajam ke arah Partai Akali Dal (Sikh) yang berpusat di Amritsar. Tak leran jika ia sangat populer di antara para pengikutnya. Yang menarik, petang 2 April itu kedua kelompok yang bermusuhan "merayakan" jam malam di Amritsar. Yakni dengan bermain kartu dan mengadakan langar, semacam pesta - bersama-sama! Tetapi esok paginya, orang Hindu mulai mengelompok di antara mereka sendiri. Sedang yang Sikh - minoritas di Amritsar - hanya menonton dari balkon rumah masing-masing dengan ketakutan. Ketika semua pekabung Hindu sudah berkumpul, tampak mereka bergerak, gelombang demi gelombang, menuju tempat perabuan Lal Khanna. Dan ketika tiba di kawasan Jalan Lawrence yang modern, tembakan mulai terdengar dari taman terdekat. Tembakan sporadis berlanjut - diikuti teriakan ramai bahwa polisilah yang menembak. Belakangan diketahui, polisi memang terpaksa membuang tembakan ke atas untuk menghalau mereka yang konon ingin menyerang pos penjagaan yang ada di dalam taman. Amarah pun meluap. Korban pertamanya adalah Achhar Singh, Banpol lalu lintas yang tidak bersenjata. Hamba hukum yang Sikh itu mati di keroyok . Keadaan tambah gawat ketika pihak Sikh mulai ambil bagian. Ketika arak-arakan Hindu itu sampai di Jembatan Bhandari, mereka disambut tembakan staccato. Para penembak gelap ini mangkal di atap-atap bangunan hingga mereka mendapat sasaran paling empuk. Di sisi lain, gerombolan tak bersenjata yang ditembaki terperangkap bulat-bulat di medan terbuka. Suasana pun menjurus ke perang sungguhan. Pasukan polisi mengambil posisi di belakang pohonpohon, di balik gundukan-gundukan tanah, membiarkan kereta-kereta dorong dan peti-peti tukang sepatu bergeletakan di pinggir jalan. Moncong senapan mesin atau sten-gun yng berada dalam keadaan siap tembak diarahkan ke jajaran bangunan. Tentara, yang mengawasi situasi dari bagian Kota Lama, tampak waspada di dalam sejumlah kendaraan lapis baja. Di tengah keadaan itu dua korban yang diserempet peluru ditemukan di pasar dekat jembatan yang kacau-balau. Sementara polisi mengintai para penembak gelap, peristiwa lain terjadi di Gerbang Lahori. Para penembak gelap membedil kepala arak-arakan yang sedang bergerak. Kelompok pekabung, yang tampaknya siap dengan golok, tombak, pentung, bahkan obeng menyerang dua anggota polisi Punjab yang sedang berjaga-jaga di dekat sebuah bangunan. Ketika dua polisi yang malang itu mencoba mengendalikan kepala arak-arakan, mereka justru ringsek terlanda. Seorang langsung meninggal, dan rekannya diangkut ke rumah sakit dalam keadaan sekarat. Dan apa yang kemudian berlanjut benar-benar huru-hara yang tak terkendalikan. Gerombolan yang bagai kesurupan menyerbu barisan pagar betis polisi Punjab yang berusaha mencegah massa masuk lebih jauh ke dalam kota melalui Hall Gate. Dalam keadaan terdesak, polisi menggunakan bom-bom gas air mata, juga tembakan-tembakan. Massa yang menghindar dalam panik masih sempat melihat mobil yang membawa dua perwira polisi Sikh, Pritam Singh Bindar dan Sube Singh. Mobil itu dilempari, dan dua perwira itu keluar dari kendaraan. Untung seseorang dengan cepat menyorong mereka kembali ke dalam mobil. Korban pun tak bertambah. *** KEGUSARAN massa terhadap polisi Punjab adalah karena kegagalan beruntun mereka menghadapi kaum ekstrem. Yang paling menonjol adalah ketika para ekstremis Sikh menembaki penduduk di Kahnuwan kota distrik Gurdaspur, Februari silam. Konon, polisi justru mengunci diri di tangsi. Juga di Amritsar, pihak polisi tak berdaya menghadapi aksi-aksi pembunuhan. Ini membuat golongan Hindu menyandarkan diri pada pasukan pemerintah pusat, CRPF, dan organisasi kerasnya sendiri. Juga kekuatan komunal. Pada 3 April yang genting, pasukan CRPF dan Polisi Bersenjata Punjab (PAB) malah terlibat baku tembak. Hari berikutnya, ketika perwira kedua pihak hendak mendamaikan anak buah masing-masing, keadaan justru semakin parah: pasukan PAB yang ditempatkan di Desa Kathunangal, dekat Amritsar, menyerang habis-habisan CRPF yang mereka anggap angkuh dan bertindak sewenang-wenang terhadap rekan-rekannya. Di Amritsar, sementara itu, berlangsung pertemuan antara pimpinan tertinggi CRPF dan polisi negara, untuk mendapat pengarahan dari Surendra Nath, penasihat gubernur bidang hukum dan kamtibnas. Dan tindakan-tindakan cepat segera diambil. Pertama-tama mengembalikan keharmonisan di kalangan penduduk, terutama kedua golongan yang bermusuhan. Masih dalam satu rangkaian, pasukan PAB ditarik dari Amritsar. Tetapi kekhawatiran utama pemerintah adalah luasnya teror ke desa-desa yang selama ini bebas dari huru-hara. Pemerintah negara bagian setempat dibanjiri laporan tentang pengungsian orang Hindu dari desa-desa perbatasan. Pemerintah mencoba membujuk para pengungsi ini kembali ke desa masing-masing, tapi tampaknya sulit. Bukan saja karena kesukaran medan - menempuh perjalanan panjang dari Amritsar melintasi desa-desa sepanjang perbatasan ke Khamkaran, ke arah selatan dan ke arah barat di Gurdaspur. Untuk menempuh kembali rute itu, dengan jaminan ketertiban yang rapuh, tentunya harus dipikir panjang-panjang. Kebanyakan orang India akrab dengan nama-nama Khamkaran, Khalra, Bhikhiwind, Amarkot, dan Lopoke. Di tempat-tempat itulah terjadi pertempuran hidup-mati antara Tentara India dan Tentara Pakistan dulu. Dan bila ada sesuatu di desa-desa ini, nama-nama desa itu akan segera kembali menjadi berita koran. Kini menjadi lebih peka karena kawasan ini merupakan tempat dimulainya migrasi orang Punjab ke luar wilayah. Terutama Desa Amarkot. Hampir seperempat penduduknya orang Hindu, umumnya pedagang padipadian dan tukang warung kecil-kecilan. Tadinya mereka hidup aman damai dengan orang Sikh yang bertani. Kedamaian itu baru mulai terusik Februari lalu - ketika sekelompok pembunuh masuk ke desa itu di rembang petang. Tanpa ba atau bu, mereka mengambil beberapa orang Hindu dan menembakinya. Enam orang tewas, dan lebih banyak lagi yang luka-luka. Sekarang ini Amarkot bagaikan kota hantu," lapor Shekhar Gupta, reporter (Indian Toda dari Amritsar. Hampir 70% toko dan warung tutup, sementara pemiliknya yang Hindu mencoba memulai usaha baru di Haryana. Jalan-jalan Amarkot yang sempit tampak lengang, rumah demi rumah digembok. Salah sebuah di antaranya kini dipakai sebagai pemondokan pasukan CRPF, yang datang ke sana setelah pembantaian itu. Merajalelanya teror dapat dilihat dari pintu gerbang besi berjeruji tebal yang dipasang di jalan masuk dua bank di Punjab. Perampokan memang bisa terjadi di setiap saat kini, baik siang maupun malam. *** Rajinder Kumar adalah salah seorang dari segelintir Hindu yang masih terlihat di Amarkot. Ia menderita luka parah dalam serangkaian serbuan para ekstremis. Sambil membuka penutup kepala yang menunjukkan bekas luka kena pisau dan peluru, la berkata, "Tidak, Tuan, tidak ada lagi istilah menetap kembali di Amarkot. Saya datang hanya untuk menjual toko, membayar utang, dan mengangkut yang tersisa ke Jagadhri (di Haryana). Di sana saya punya kerabat. Tidak sulitkah memulai kembali usaha dari awal? Dengan getir ia menjawab, "Yah, tapi siapa yang mau menjamin keselamatan saya di sini?" Sejumlah penduduk desa Sikh - beberapa di antaranya pernah cedera dalam serangan kaum teroris - berusaha menghibur dan mencegah Kumar. Berkata Satnam Singh Zaildar, petani Sikh yang ramping, tetangganya, "Tidak ada satu jalan pun bagi kami untuk meyakinkan mereka sekarang." Di Khalra, desa tetangga lainnya yang dekat dengan perbatasan, seorang anggota perkumpulan Hindu Panchayat bernama Tirath Ram Sharma membeberkan jumlah orang yang sudah hengkang."Hampir semua penduduk Amarkot, tiga kepala keluarga dari Khamkaran, dan 5-6 orang dari Bhikhiwind," ujarnya. Menurut dia, sungguh bebal untuk berharap mereka akan sudi kembali dalam situasi begini. Bahkan ketika seorang petani Sikh membongkar muatan karung-karung cabai merah, hasil pertanian utama Khalra, di depan tokonya, Sharma berbicara dalam nada putus asa, "Orang-orang Sikh ini sahabat kami. Kami saling tergantung. Tapi ada pihak tertentu yang menginginkan kami pergi, dan demi kebaikan kami harus meninggalkan tempat ini." Ketika Sharma mempersiapkan kepergiannya, ia merasa hatinya sangat berat harus meninggalkan tempat yang sudah menjadi kampung halamannya. "Kami meninggalkan Pakistan pada 1947. Pada 1962, ketika pecah perang dengan Cina, tentara meminta pengosongan kawasan perbatasan. Pada perang 1965, Khalra adalah pangkalan Tentara India untuk maju ke sektor Lahore, dan kembali kami disuruh pergi. Pada 1971, Pakistan praktis menduduki desa ini, dan kami harus enyah selama 21 bulan penuh. Kami selalu kembali. Tapi kini kami tidak tahu, apakah kami bisa kembali." Unek-unek yang sama disuarakan oleh Baij Nath, penyalur bahan pakaian. "Saya sebenarnya tidak melihat keretakan masyarakat. Tapi selalu waswas ketika seseorang mampir ke toko. Dari mana saya bisa tahu, ia datang untuk membeli sesuatu atau untuk membunuh? Apalagi mengharapkan bantuan polisi bagai menunggu maling menangkap pencuri," ujar pedagang itu. Dengan sedikit variasi, kisah yang sama terjadi pula di beberapa desa di tepi perbatasan lainnya. Di kota industri Batala, para usahawan berbicara tentang niat pindah ke Panipat atau ke daerah terpencil Kajasthan. Di kota kecil Kahnuwan, tempat sembilan orang Hindu pada 20 Februari dibedil kaum ekstremis, sejumlah keluarga sudah mulai pindah dan banyak lainnya merencanakan melakukan hal yang sama. Mota Ram, yang luka tembaknya baru saja sembuh, berkata, "Kami merencanakan pindah ke Hardwar. Tidak ada masa depan di sini. Tak seorang pun berada di pasar setelah petang, dan pada malam hari tempat ini menjadi bagai kuburan." Pawan Kumar, yang seorang saudara laki-lakinya terbunuh, berkata pula, "Saya tak dapat melupakan dia. Dan seperti ingin cepatcepat pergi." Melihat gelagat orang-orang Hindu itu, tetangga mereka yang Sikh mencoba meyakinkan ini, "Mengapa kalian khawatir? Bukankah kita meninggalkan Rawalpindi bersama-sama, dulu? Kita bersaudara," kata Dalip Singh Bhatia. Tapi para "saudara Hindu" tetap tak dapat diyakinkan. Alasan kewaswasan diberikan oleh Mota Ram, "Persoalannya bukanlah di antara sesama saudara. Kami tahu Anda sekalian saudara kami, tapi apa yang dapat Anda kerjakan jika mereka datang dengan bedil?" Rasa optimistis kadang-kadang muncul, begitu terdengar berita bahwa sejumlah orang Hindu telah kembali ke desa permukiman semula - untuk mencoba tinggal beberapa lama. Tapi beberapa hanya datang kadang-kadang untuk memulihkan agrahi begitu panen tiba. Agrahi adalah sejenis ijon. Para pedagang yang umumnya Hindu memberikan pinjaman besar kepada para petani Jat-Sikh dengan "jaminan" tanaman di sawah atau ladang. Pinjaman berikut bunga dikembalikan setelah panen. Untuk petani Sikh, pindahnya pedagang Hindu tentu saja bukan sesuatu yang diharapkan. Mereka merupakan dua sisi dari satu mata uang logam. sejauh tata ekonomi negeri itu menghendakinya. Selain itu, kaum Hindu juga datang sebagai tenaga buruh dari Bihari dan Utar Pradesh - di Punjab disebut Bhaiwa. Dan tahun ini praktis tak ada seorang Bhaiyya pun yang datang. Harchand Singh, petani di Bhikhiwind, berkata, "Saat ini ada kemungkinan tak seorang pun dari mereka akan tiba. Limpahan tenaga dari pabrik bata yang biasanya ada, sudah tiada. Mereka pada kabur. " Keadaan ini memaksa para petani memanen sendiri rabi mereka dengan mesin pemotong - yang karena sulit ditemukan di toko-toko di Amritsar dan Gurdaspur menjadi komoditi pasar gelap. Para petani akhirnya sudah tak dapat menolak membayar ongkos panen Rs 300 per akre. Padahal, dulunya, kurang lebih separuhnya. Harga barang-barang pun mulai bergerak naik, dan begitu panen tiba langsung melonjak . * * * Kehancuran ekonomi merupakan satu dari sekian banyak konsekuensi yang diderita Punjab sebagai akibat migrasi penduduknya. Yang lebih parah adalah perasaan-perasaan yang timbul di antara orang-orang yang selama ini hidup dalam keserasian. Dengan semakin hilangnya kepercayaan mereka kepada Pemerintah, kedua kekecewaan itu bisa menjadi kombinasi yang berbahaya. Jalan keluar dari segala kerumitan ini mungkin bisa berupa kesepakatan yang masuk akal dengan kaum moderat - yang belum lagi ada. Kemudian diikuti dengan tindakan tegas terhadap para penjahat, yang akhir-akhir ini menjadikan Punjab sebagai daerah tak bertuan. Entah oleh siapa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini