UNTUK Prof. David P. Billington dari Universitas Princeton, AS, Negeri Belanda adalah contoh yang bagus tentan betapa teknologi mengambil bagian sangat penting dalam membentuk sebuah kultur. "Masyarakat ini hidup dari keterampilan mengendalikan air," ujar guru besar arsitektur dan reka yasa (engineering) itu. Orang Belanda hidup di tengah lanskap buatan. Dengan memahami teknologi bendungan dan kincir angin mereka, kita bisa menerangkan kecenderungan mereka untuk hidup bersih, politik desentralisasi mereka, bahkan teologi Calvinistis yang mereka terma dengan mudah. Petikan keterangan di atas merupakan bagian kuliah Billington, yang berusaha mendekatkan teknologi kepada para mahasiswa noneksakta. Dan sasaran pertama tampaknya, adalah para mahasiswa bahasa dan sastra, sejarah, dan filsafat - jurusan yang di Barat lazimnya dikelompokkan ke dalam apa yang disebut liberal arts. Semangat memasyarakatkan teknologi ke tengah kaum noneksakta inilah yang sekarang kelihatannya bangkit di beberapa perguruan tinggi Amerika Serikat. "Kami menerangkan puisi dan musik untuk memperkaya hidup manusia," tuturJohn G. Truxall dari State University of New York, Stony Brook. Tetapi, "Bila mereka memahami apa yang terjadi di dalam sebuah komputer atau pesawat televisi, mereka pasti lebih berbahagia." Di Universitas Syracuse, para mahasiswa liberal arts diwajibkan memilih serangkaian di antara tia mata kuliah tentang "gagasan dan konsep yang berhubungan dengan reka yasa". Program seperti ini meliputi topik yang mulai dari dampak sosial televisi, sampai dampak teknologl di Dunia Ketiga. Billington juga mencontohkan menara Eiffel untuk mendukung asumsinya bahwa "rekayasa" berhubunan dengan segala hal yang sekarang kita namakan liberal arts". Dengan menggunakan matematika tingkat SMA, mula-mula profesor itu menerankan prinsip ilmiah yang mendasari sosok menara. Ia secara khusus mencatat prinsip "penyangga vertikal", yang membuat menara Elffel lebih kuat menahan pukulan angin. Berbeda dengan struktur batu berat, seperti misalnya pada Monumen Washington. Kemudian ia mendiskusikan aspek sosial menara itu, termasuk kesulitan pembiayaannya. Terakhir, ia membicarakan pertanyaan-pertanyaan di sekitar nilai menara itu. mulai dari yang estetis sampai yang falsafi. Tokoh-tokoh besar, misalnya de Maupassant dan Dumont, sempat mengirimkan petisi dan protes mengenai "binatang teknologi yang mengerikan" itu. Kini, dengan komputer dan pelbagai produk teknologi yang mengepung kehidupan modern, para guru besar itu yakin bahwa seseorang yang berpendidikan tak lagi cukup sekadar mempelajati ilmu sosial dan kemanusiaan. Kita dituntut untuk juga memahami metode, nilai-nilai, dan proses pemikiran rekayasa dan ilmu terapan. "Perguruan tinggi mempunyai kewajiban baru untuk mempersiapkan mahasiswa memasuki masyarakat yang dilibat teknologi," kata James D. Koerner, Ketua Yayasan Alfred P. Sloan. Yayasan ini menyediakan dana hampir US$ 5 juta untuk sejumlah fakultas liberal arts AS yang mempromosikan teknologi. Di samping itu, para guru besar sendiri sibuk menekankan bahwa teknologi sebetulnya jauh lebih mudah ketimbang ilmu. "Teknologi seluruhnya dirancang oleh manusia," kata Truxall. Sebuah sistem komunikasi, misalnya, betapapun ruwetnya dan terdiri dari ribuan bagian, tetap dirancang dan dirakit di atas hukum yang sederhana dan berurutan. "Sistem fisiologi manusia jauh lebih rumit dari semua yang pernah kita rancang," kata Truxall. Di Universitas Syracuse, program kuliah teknologi untuk mahasiswa fiberal arts digalakkan untuk menunjukkan "interkoneksi" ilmu dengan dunia yang kita diami". Mata kuliah ini dimulai dengan pengetahuan basis, meningkat ke salah satu bidang rekayasa, dan diakhiri dengan efek teknologi : pada hidup manusia. Di Universitas Stanford, kuliah seperti ini dibarengi dengan kegiatan lapangan, misalnya pemanfaatan energl matahari, atau perancangan jaringan energi dalam skala luas. Namun, usaha awal ini bukannya tidak mengalami problem. Materi kuliah masih terbatas, demikian pula fasilitas fakultas bersangkutan. Sebagian besar perguruan tinggi yang disponsori Yayasan Sloan, tentu saja, belum memiliki departemen rekayasa. Bahkan perguruan tinggi yang memiliki departemennyapun tidak mempunyai pengalaman menunjukkan teknologi kepada para mahasiswa noneksakta. Untuk keperluan itu, kemudian dibentuk Dewan Pemahaman Teknologi untuk Masalah Kemanusiaan. Dengan bantuan Sloan, dewan yang terdiri dari para ahli ini melakukan pelbagai usaha untuk memasyarakatkan teknologi, antara lain dengan menerbitkan berbagai brosur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini