Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DISERGAP angin enam derajat Celsius, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menjalankan tugas berat. Pada 12-19 Maret lalu dia melawat ke Washington DC, AS, untuk satu misi: mencairkan hubungan militer Indonesia dan AS yang sempat lama membeku.
Sejak 1992 Amerika Serikat menghentikan program Internasional Military Education and Training (IMET) bagi Indonesia. TNI dinilai terlalu brutal dalam insiden Santa Cruz di Dili, 12 November 1991, yang mengakibatkan tewasnya 56 warga Timor Timur. Citra itu ternyata terus lengket meski Indonesia sudah berubah, rezim Soeharto lengser dan reformasi menggusur peran politik tentara. "Kita sedang masuk ke perang citra," ujarnya.
Bagi Juwono, 63 tahun, mengubah citra TNI adalah cita-citanya. Sebagai bekas Wakil Gubernur Lemhannas, dia merasa tak adil memojokkan TNI sementara tak ada upaya meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan prajurit. Menurut dia, dengan angkatan bersenjata yang serba minim itu, masih untung Indonesia masih bisa bersatu sampai sekarang.
Dua kali Juwono menjadi Menteri Pertahanan. Sekali pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, sekali lagi sekarang ini. Mungkin karena pergaulan yang luas dengan kalangan militer, Juwono dikenal sebagai sipil yang punya empati tinggi terhadap militer. Saat reformasi Mei 1998 ia mengatakan Indonesia masih butuh kepemimpinan militerpandangan yang menuai cercaan demonstran. Kini, di tengah partai politik dan politisi sipil yang masih bertikai satu sama lain, ia pun berkeyakinan kepemimpinan militer masih dibutuhkan. "Buktinya, pemilu lalu rakyat memilih presiden dari militer," katanya.
Wartawan Tempo Nezar Patria, Arif Zulkifli, dan fotografer Bernard Chaniago menemui Juwono pada Kamis pekan lalu di Departemen Pertahanan. Mengenakan jas warna cokelat, bekas Dekan FISIP UI itu masih tampanseperti ketika ia jadi dosen dan menjadi idola para mahasiswi. Bedanya ia kini tampak lebih letih. Beberapa tahun lalu ia pernah terserang stroke. Berikut petikan wawancara dengannya selama dua jam.
Persisnya apa yang Anda lakukan di AS?
Saya menjelaskan kedudukan TNI dalam proses konsolidasi demokrasi di Indonesia. Saya katakan, TNI ini, khususnya Angkatan Darat, berperan sangat penting, meskipun secara resmi dia tak boleh lagi terlibat politik. Kerangka umum kehidupan politik di Indonesia ini masih lemah, terutama di partai politik, masyarakat sipil, LSM dan pers.
Bagaimana tanggapan mereka?
Mereka memahami bahwa kehadiran TNI di belakang layar itu masih perlu, karena TNI satu-satunya lembaga yang bisa hadir secara nasional.
Ada isyarat ke arah pencabutan embargo senjata?
Sekarang tahap pertama IMET dulu, karena itu hanya masalah pendidikan dan pelatihan. Saya katakan perwira TNI yang dikirim ke sana tidak perlu mencapai gelar. Barangkali dari tingkat bintara sampai perwira pertama diberi waktu maksimum lima bulan agar karier mereka tidak terganggu.
Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice sudah memberi pengumuman pengaktifan IMET sebelum Anda ke AS. Jadi, kehadiran Anda hanya untuk menegaskan saja?
Pernyataan Condoleezza itu baru persetujuan eksekutif yang masih perlu dukungan DPR dan Senat. Saya temui dua senator paling kritis dari Partai Demokrat, Senator Patrick J. Leahy dari Negara Bagian Vermont dan Senator Russell Feingold dari Wisconsin. Keduanya paling kritis, tapi juga paling tidak tahu keadaan di sini. Saya jelaskan prajurit Indonesia itu gajinya tak lebih dari US$ 70 sebulan. Anggaran kita cuma separuh dari yang kita butuhkan secara minimal. Hanya US$ 2,1 miliar. Padahal, kita butuh US$ 5,2 miliar setahun. Saya menyebutkan TNI sebagai the best underpaid defense forces.
Dari eksekutif, Anda bertemu siapa saja?
Saya bertemu Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, Wakil Menteri Pertahanan Paul Wolfowitz, dan Wakil Menteri Luar Negeri Robert B. Zoellick.
Apa saja yang dikritik parlemen AS?
Dua hal: pertama masih soal Timor Leste tahun 1999, apa yang mereka anggap sebagai pelanggaran HAM berat oleh TNI, khususnya enam perwira tinggi. Lalu, kedua, kasus penembakan di Timika, Agustus 2002, di mana dua warga AS tewas di sana.
Soal insiden Timor Leste, apa penjelasan Anda?
Pertama, proses peradilan itu saya bilang bukan impunity karena kelima perwira sedang dalam proses naik banding. Untuk menghormati sistem hukum kita, saya tak bisa campur tangan.
Soal Timika?
Saya katakan sudah ada perintah penangkapan dari Kapolri terhadap Antonius Wamang (anggota Organisasi Papua Merdeka yang diduga melakukan pembunuhan terhadap dua warga AS). Kita juga sudah bekerja sama dengan FBI. Sekarang tinggal menangkap orang itu. Saya katakan, medannya susah karena Wamang diperkirakan pelintas batas antara RI dan PNG.
Selama ini Patsy Spiers, istri korban insiden Timika, yang kerap bersuara keras terhadap Indonesia.
Dia sudah menyatakan menerima dan menghargai upaya dari Presiden Yudhoyono untuk pelacakan kasus ini. Saya juga ditugaskan untuk menyerahkan surat Presiden SBY untuk Patsy. Tapi karena dia sedang di luar negeri surat itu saya titip ke Kedutaan RI.
Selain persoalan HAM, ada lagi yang disorot parlemen AS?
Mereka minta transparansi soal koperasi dan yayasan milik TNI. Saya bilang, saya sekarang sedang mendata kembali semua bisnis TNI. Saya sudah dua kali bertemu dengan Menteri Hukum dan HAM untuk menata bisnis dan yayasan tentara. Kita akan lihat segi hukumnya dan Menteri Keuangan akan mengevaluasi penerimaannya buat negara. Bersama saya, kedua menteri akan menyusun pola pendataan sampai Oktober nanti. Nanti kalau sudah didata, Menteri BUMN akan melihat mana yang layak diteruskan sebagai bisnis, mana yang tidak.
Selama proses ini berlangsung, bisnis TNI berjalan seperti biasa?
Ya. Jadi, belum di bawah wewenang BUMN. Setelah itu baru dibentuk semacam holding company di bawah Menteri BUMN dengan mendengar masukan dari departemen lain. Mudah-mudahan Oktober nanti sudah bisa dirilis.
Sepanjang sejarahnya Kementerian BUMN tak bisa lepas dari kepentingan partai politik. Anda tak khawatir bisnis TNI ikut jadi bancakan (rebutan)?
Dengan tim interdepartemen, Kementerian BUMN akan diimbangi oleh Dephan dan Departemen Keuangan. Menteri Keuangan bertanggung jawab sebagai bendahara negara. TNI kan aset negara. Secara hukumnya, Menteri Kehakiman Hamid Awaluddin yang akan mengaturnya.
Selama ini bisnis TNI dinikmati jenderal dan bukan prajurit?
Selama ini memang keuntungan bisnis tentara masih heavy ke atas. Makanya, harus cari dokumen hukumnya. Kita cek penugasan (para jenderal yang menjadi pimpinan bisnis) itu.
Ada resistensi dari TNI?
Sejauh ini belum ada yang terbuka. Mungkin, kalau ada, karena belum mengerti rencana dari tim interdepartemen ini.
Kembali ke soal AS, Apa alasan mereka tak mencabut embargo senjata?
Dalam perang citra, TNI sudah kadung itu dipojokkan dalam media. Citra TNI semua kejam, represif, dan brutal. Saya jelaskan, itu beberapa satuan, segelintir orang saja. Tidaklah fair menghakimi keseluruhan TNI.
Di AS Anda memberi pernyataan tentang LSM Kristen yang harus segera menyingkir dari Aceh karena di sana mayoritas warga beragama Islam. Bagaimana ceritanya?
Saya ditanya waktu itu oleh wartawan Washington Post dan Washington Times. Saya kira pernyataan saya itu hanya benar yang dikutip Washington Times. Yang saya jelaskan adalah Pak Alwi Shihab (Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat) bertugas menata kembali jumlah dan mandat tiap LSM dalam dan luar negeri agar tak semrawut.
Lalu, ada apa dengan LSM berbasis gereja itu?
Sebagai provinsi yang kuat Islamnya, tentu perlu diperhitungkan sensitivitas lokal atas LSM yang berbasis gereja. Kalau tidak, bisa menjadi persoalan politik dalam negeri karena pemerintah bisa dianggap membiarkan kristenisasi. Saya katakan, selain bantuan negara Barat, kita juga mendatangkan bantuan dari Pakistan, Arab Saudi, dari Qatar. Jadi, umat beragama yang peduli pada Aceh itu berimbang.
Isu yang berkembang: Anda dilobi Front Pembela Islam (FPI) agar mengusir LSM gereja?
Saya katakan salah satu dirjen dalam Departemen Pertahanan memang bertugas menata relawan lokal di Aceh, termasuk FPI. Saya dipertanyakan pers AS apakah membiarkan kelompok-kelompok Islam radikal untuk ke Aceh. Saya bilang tidak. Ada kebingungan (bagi pers AS) soal penamaan kelompok-kelompok relawan yang disalurkan Dephan dan yang datang sendiri.
Soal Aceh, apa yang Anda sampaikan kepada parlemen AS?
Saya bilang heli dan rumah sakit lapangan dari AS sangat membantu sekali. Ada gambar foto marinir AS menyelamatkan seorang ibu sambil memeluknya. Itu gambar luar biasa dampaknya, menyatukan dua kultur berbeda. Satu Islam, yang lain Barat dan Kristen. Mereka senang sekali. Jadi, tsunami itu ada berkahnya bagi kita. Bencana bisa menampilkan citra bagus tentang TNI dan pertemuan Barat dan Timur, Indonesia dan Amerika.
Dari kunjungan Anda ke AS, adakah harapan embargo senjata terhadap kita bisa dipulihkan?
Semua sangat tergantung pertumbuhan ekonomi kita.
Maksud Anda, kalaupun embargo dicabut, sebetulnya kita tidak punya uang untuk membeli suku cadang persenjataan dari AS?
Iya. Anggaran kita sangat kecil. Saya harus berbagi dengan departemen lain. Tapi saya sudah berbicara dengan Panglima dan Kepala Staf TNI tentang perlunya menghidupkan kembali alutsista (alat utama sistem senjata) yang terkena embargo itu. Kalau sudah dicabut, kita bisa menambah pesawat tempur tiap tahun dua unit, sehingga tercapai satu skuadron dalam lima tahun.
Bagaimana nasib pesawat tempur yang pernah dibeli dari AS?
Dulu kita beli 12 unit pesawat tempur jet F-16, dua di antaranya sudah jatuh. Yang bisa terbang sekarang hanya empat. Jadi, yang enam harus kita pertahankan dan dihidupkan lagi. Kalau masih terbentur di Kongres AS, kita akan berpaling ke Sukhoi. Begitu juga dengan kapal. Kita akan pindah ke Belanda, Korea, atau Jepang.
Kayaknya sengketa Ambalat itu membuka mata orang: kalau perang terjadi, kita tak bisa berbuat apa-apa?
Betul. Krisis selama 6,5 tahun ini, orang mulai membaca kesiapan TNI memang sangat rendah. Kesiapannya itu 40 persen dari kesiapan minimum yang harus dicapai.
Bagaimana Anda melihat prajurit kita sekarang?
Saya membayangkan prajurit kita diberi bekal cukup dan baik. Tapi, dengan anggaran separuh, kita tentu tak bisa berharap bisa yang ideal. Saya katakan, satu prajurit yang baik itu sama nilainya dengan seribu orang pintar. Kalau satu prajurit itu performanya baik, maka seribu orang pintar itu tak akan menggugatnya melakukan pelanggaran HAM. Tapi, kalau dia terlibat satu peristiwa saja, maka seribu orang akan berbicara di mana-mana, dari Indonesia sampai ke Kongres AS, sampai ke parlemen Eropa.
KSAD bilang mau tambah lagi komando teritorial dari 12 menjadi 22?
Selama masa transisi diduga akan banyak gejolak. Ada banyak masalah kemiskinan yang bisa memicu gejolak. Jadi, teritorial ini perlu untuk membentengi masalah-masalah keamanan dalam negeri. Seperti pengalaman di Poso dan Ambon, kadang-kadang masyarakat sipil dan polisi tak cukup sehingga perlu didatangkan pasukan TNI.
Dephan setuju dengan pengembangan teritorial itu?
Saya setuju prinsipnya, meskipun ini tidak populer bagi kalangan akademisi dan LSM. Tapi, saya bilang, Anda bisa mempersoalkan hal itu kalau perangkat sipilnya sudah bagus. Kalau sipil sudah bisa mengatasi, TNI pasti akan menyerahkannya ke sipil.
Anda tak khawatir dengan eksesnya?
Itu permintaan dari kalangan sipil sendiri. Ini soal ayam dan telur. Kalau ayamnya belum berkembang, telurnya belum bisa melahirkan pimpinan sipil yang berwibawa. Maka, satu-satunya yang diharapkan adalah tentara. Itu pun dengan kehadiran yang terukur.
Dalam konteks pengurangan peran militer, bagaimana Anda melihat pimpinan TNI sekarang? Apakah digantinya bekas KSAD Jenderal Ryamizard Ryacuduyang dikenal kental dengan pikiran "militer"cukup membantu?
Ryamizard itu orang nasionalis, yang sangat bangga dengan tugasnya menjaga bangsa. Dia pernah mengatakan kepada saya, dia tak anti-AS, tapi tak suka hegemoni AS. Saya jelaskan bahwa itu tak cuma di Indonesia, di Inggris saja banyak yang tak suka AS. Jenderal Joko, KSAD yang baru, juga nasionalis.
Kalau Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto?
Dia itu orangnya realistis, begitu dia bilang sama saya. Jenderal Tarto dan saya sepakat mendorong sipil, tapi sipil juga harus beres. Yang paling penting tidak mengubah dasar negara. Kan terbukti, Jenderal Tarto dilamar parpol waktu mau pemilu 2004, dia tolak. Terbukti dia menghargai supremasi sipil.
Dibanding Anda, Jenderal Sutarto lebih optimistis soal supremasi sipil?
Kelihatannya dia lebih optimis. Dia punya harapan supremasi itu bisa tercapai, tapi butuh kesabaran.
Mengapa anda terkesan sangat mendukung militer?
Kita lihat bukti paling nyata pemilu kemarin: SBY menang. Saya kira terpilihnya SBY adalah kesan dari masyarakat bahwa setelah hiruk-pikuk demokrasi selama 6,5 tahun, kita butuh orang yang bisa menghadirkan ketenangan, wibawa, dan kestabilan.
Juwono Sudarsono
Lahir
- Ciamis, Jawa Barat, 5 Maret 1942
Pendidikan
- Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Jurusan Publisistik UI, Jakarta (1965)
- Institute of Social Studies, Den Haag, Belanda (1969)
- Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat (MA, 1970)
- London School of Economics, Inggris (PhD, 1978)
- Universitas Georgetown, Washington DC, AS (1985)
Karier
- Guru Besar Universitas Indonesia (1988-sekarang)
- Wagub Lemhannas (1995-1998)
- Menteri Negara Lingkungan Hidup Kabinet Pembangunan VII Presiden Soeharto (1997-1998)
- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Reformasi (1998-1999)
- Menteri Pertahanan Kabinet Persatuan Nasional (Oktober 1999-Agustus 2000)
- Dubes RI untuk Inggris (2003-2004)
- Menteri Pertahanan (2004-sekarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo