Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mayor Jenderal (Purn) German Hoediarto
DIA ditunjuk Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan memimpin sidang memutus perkara Soeharto melawan majalah Time. Dilahirkan di Bandung, 24 November 1941, German tidak dengan tiba-tiba menggeluti bidang hukum. Kariernya dimulai dengan menjadi serdadu. Saat bintang dua menempel di pundak, ia angkat kaki dari markas militer bertolak menjadi hakim agung.
Meski tak lagi di barak, jabatan German di lembaga peradilan masih berbau militer. Ia menjabat Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Peradilan Militer. German tergolong pelit bicara, apalagi menyangkut keputusan hukum yang mengundang kontroversi. Ia tak mau main-main. "Saya clean betul," ujarnya.
Sudah 17 tahun German bergulat di bidang hukum. German pernah membuat geger seisi kantor MA lantaran mundur sebagai ketua majelis peninjauan kembali kasus Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto pada Mei 2005. Saat itu Tommy, yang terlibat kasus pembunuhan hakim agung Syaifuddin Kartasasmita, tengah menjalani vonis 15 tahun penjara. Mundurnya German, juga dua hakim agung lain, menurut Ketua MA Bagir Manan, "Karena isu suap bertebaran dan banyak 'calo' mencoba menghubungi hakim." Tim hakim peninjauan kembali akhirnya dibentuk lagi di bawah Bagir Manan langsung.
Bagi German, kasus Soeharto melawan majalah Time mungkin menjadi perkara terakhirnya sebelum meninggalkan gedung MA. Dua tahun lalu, Bagir Manan telah memperpanjang usia pensiun German. Perpanjangan itu kini memasuki bulan-bulan terakhir yang mesti dilalui pria berusia 66 tahun tersebut.
Bahauddin Qaudry
MENJADI hakim agung sejak 14 September 2004, Bahauddin langsung berhadapan dengan tumpukan perkara terorisme. Namun mantan Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Barat ini tak mau hantam kromo. Ia tercatat menolak permohonan peninjauan kembali Amrozi, terhukum mati dalam kasus Bom Bali 2002. Terpidana Ahmad Rafiq Ridho, Iqbal Husaini, Enceng Kurnia, dan Purnama Putra termasuk pula narapidana kasus bom yang dia tolak permohonan peninjauan kembalinya. Para terpidana kasus bom Atrium Senen dan bom Kedutaan Besar Australia di Kuningan tetap dihukum antara tujuh dan delapan tahun penjara. Tapi Bahauddin memutuskan meringankan hukuman Amir Majelis Mujahidin Indonesia Abu Bakar Ba'asyir.
Kini pria kelahiran Sumenep, Madura, 15 September 1941, itu bersiap memasuki masa pensiun.
Muhammad Taufik
IA baru kali pertama menangani perkara yang melibatkan institusi pers selama tiga tahun menjadi hakim agung. Namanya mulai mencuat dalam perkara sembilan warga Australia yang terlibat penyelundupan 8,2 kilogram heroin di Bali atau yang dikenal sebagai kelompok Bali Nine. Tujuh orang anggota Bali Nine dijatuhi hukuman mati. Hanya dua orang terpidana yang diganjar hukuman seumur hidup oleh pria kelahiran Lampung ini, yakni Michael William Czugan, 21 tahun, dan Martin Eric Steven, 31 tahun. Taufik memilih menguatkan putusan Pengadilan Negeri Denpasar karena kedua orang tersebut hanya menjadi kurir.
Taufik juga menjadi anggota majelis hakim perkara korupsi dana Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia. Ganti rugi yang diputuskan terhadap Adiwarsita Adinegoro, sang Ketua APHI, saat itu sempat memancing perhatian publik. Hakim kasasi memutus hukuman enam tahun penjara bagi Adiwarsita dan ia harus membayar uang pengganti Rp 43,54 miliar serta denda Rp 30 juta.
Dalam perkara Time, Taufik setuju dengan kedua hakim agung lain: majalah itu telah mencemarkan nama baik Soeharto.
Tergugat
Lain di Pengadilan, Lain di MahkamahPengadilan negeri dan Mahkamah Agung menerapkan hukum berbeda dalam "kasus Time".
Perkara Time | Pengadilan Negeri | Mahkamah Agung |
---|---|---|
Dasar hukum | UU tentang Pers | KUHP Perdata |
Gambar Soeharto dalam sampul majalah | Bukan penghinaan | Pencemaran nama baik |
Kekayaan Soeharto dalam laporan Time | Berguna untuk penyidik | Tak akurat, bukan dari sumber primer |
Tentang hak jawab | Menyarankan hak jawab | Tak perlu hak jawab |
Maria Hasugian, Elik Susanto Sumber: wawancara dan riset
Setelah Enam Tahun Mengendap
Perseteruan antara Soeharto dan majalah Time Asia menjelma kembali setelah enam tahun mengendap. Bermula dari pengajuan gugatan kubu Soeharto ke Mahkamah Agung pada 8 April 2001 soal laporan investigasi majalah itu menyangkut kekayaan yang diduga hasil korupsi Soeharto. Hasilnya: majalah Time Asia dinyatakan bersalah.
1999
24 Mei 1999 Majalah Time Asia volume 153 nomor 20 menurunkan laporan khusus berjudul Suharto Inc. Kekayaan Soeharto dilaporkan mencapai Rp 142 triliun dalam bentuk tanah, bangunan, uang, dan barang seni. Selain itu, US$ 9 miliar mengalir dari Swiss ke Austria.
31 Mei 1999 Kejaksaan Agung memeriksa Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut, Sigit Harjojudanto, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, Siti Hutami Endang Adiningsih alias Mamiek, dan Siti Hediati Harijadi Prabowo alias Titiek atas laporan Time Asia tentang kekayaan mereka.
2000
12 April 2000 Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggelar sidang gugatan pencemaran nama baik oleh Soeharto terhadap majalah Time Asia dan enam awak redaksinya.
6 Juni 2000 Majelis hakim yang dipimpin Sihol Sitompul dengan anggota Endang Sumarsih dan Endang Sri Mulawati memutuskan menolak seluruh gugatan Soeharto terhadap majalah Time Asia.
6 Maret 2001 Majelis hakim banding diketuai Gde Soedharta dengan anggota Ismoen Abdul Rochim dan Ignatius Subianto W. memperkuat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
2007
28 Agustus 2007 Majelis hakim kasasi memutuskan majalah Time Asia terbukti bersalah mencemarkan nama baik Soeharto. Time dihukum membayar Rp 1 triliun dan meminta maaf melalui sejumlah media massa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo